Empat lembaga swadaya masyarakat memohon kepada Mahkamah Konstitusi menunda pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang menjadi dasar pembangunan komponen cadangan.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pemohon memperkuat argumen dan alat bukti dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara atau UU PSDN terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi pada Rabu (4/8/2021).
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, kuasa hukum pemohon Muhammad Busyrol Fuad menyampaikan tambahan alat bukti. Selain itu, disampaikan pula beberapa argumen tambahan untuk meminta putusan sela.
Putusan sela yang diminta para kuasa hukum adalah agar MK memerintahkan kepada pemerintah untuk menunda sementara pelaksanaan UU PSDN sepanjang masih dalam proses uji materi pada MK.
Penundaan tersebut dinilai mendesak karena Kementerian Pertahanan telah memulai proses pendaftaran komponen cadangan pertahanan negara sejak Juni 2021. Penyiapan komponen cadangan merupakan bagian dari pelaksanaan UU PSDN yang di antaranya mengatur komponen cadangan dari unsur warga negara. Komponen cadangan disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar kekuatan dan kemampuan komponen utama menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
Pentingnya pembangunan komponen cadangan disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada rapat pimpinan Kementerian Pertahanan dan TNI, 23 Januari 2020. Saat itu, Prabowo menyampaikan rencana pemerintah kembali akan menggunakan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Dengan demikian, TNI sebagai komponen inti akan didukung oleh komponen cadangan dan pendukung.
Pemohon telah mengajukan enam bukti baru untuk memperkuat permohonan mereka.
Atas permintaan itu, sebelumnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, dalam permohonan pemohon belum terlihat adanya penjelasan yang bersifat mendesak terkait pentingnya putusan sela. Arief khawatir penundaan pelaksanaan UU PSDN akan mengakibatkan kekosongan hukum dalam pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan di tengah kondisi yang tidak menentu karena Covid-19.
Karena itu, menurut Busyrol, para pemohon merevisi dan menambah argumen agar MK mengeluarkan putusan sela. Selain itu, para pemohon telah mengajukan enam bukti baru untuk memperkuat permohonan mereka. Selain beberapa faktor teknis seperti istilah, para pemohon telah memastikan legal standing mereka dengan merujuk pada AD/ART dari organisasi para pemohon.
Para pemohon yang hadir dalam sidang antara lain Muhammad Busyrol Fuad, Hussein Ahmad, Ahmad Fathanah, Adelita Kasih, Gufron. Mereka mewakili empat LSM, yaitu perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. Ada pula pemohon pribadi, yakni Justika Fardani Yusuf dan Leon Alvinda Putra. Bukti-bukti baru yang diajukan pemohon pun diterima hakim Daniel Yusmic.
Ketidakpastian hukum
Pada saat membacakan permohonan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada 22 Juli lalu, Busyrol mengungkapkan adanya sejumlah pasal yang menimbulkan ketidakpastian hukum, misalnya Pasal 4 Ayat (2) Huruf c yang mengatur tentang jenis-jenis ancaman mulai dari ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida. Rumusan ancaman dalam pasal tersebut juga berbeda dengan rumusan yang ada di dalam UU Pertahanan Negara yang hanya mengidentifikasi ancaman militer dan nonmiliter.
Ketentuan berikut dalam UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara menambahkan adanya ancaman hibrida yang sebenarnya lebih menekankan pada aspek ideologi negara dan bukan kedaulatan negara sebagai inti dari pertahanan negara. ”Permasalahan inilah yang kemudian menjadi pangkal kekaburan dari definisi dan jenis ancaman yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum akibat lahirnya UU a quo,” ujar Busyrol.
Pemohon juga mempersoalkan identifikasi unsur sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung dan sebagai komponen cadangan seperti diatur pada Pasal 17 dan Pasal 28 UU No 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Konstitusi menyebutkan, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem hankam rakyat semesta di mana TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
”Bahwa penyebutan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal a quo telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana diatur di Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 yang bersifat limitative,” ujar Busyrol.
Dipersoalkan pula, ketentuan pendaftaran komponen cadangan oleh warga negara yang bersifat sukarela tetapi pengaturan komponen cadangannya selain manusia, yakni sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana serta prasarana lain, yang tidak mengenal prinsip kesukarelaan. Terlebih lagi, aturan main penetapan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana-prasarana lain sebagai komponen cadangan tidak rigid sehingga berpotensi melanggar HAM, khususnya terkait hak atas properti yang tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang.
Hal tersebut juga berpotensi menimbulkan terjadinya pengambilalihan sumber daya alam, buatan, serta prasarana dan sarana lain milik warga oleh negara secara sewenang-wenang. Potensi konflik sumber daya alam dan konflik agraria antara negara dan masyarakat meningkat. Di Indonesia, konflik pertanahan antara militer dengan masyarakat pernah dan masih terjadi di beberapa tempat. Konflik tersebut diawali dari pengambilalihan tanah untuk alasan kepentingan pertahanan negara seperti terjadi di Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur; dan Urut Sewu, Kebumen Jawa Tengah.
Pemohon juga mempersoalkan prinsip kesukarelaan yang berlaku dalam pendaftaran warga menjadi komponen cadangan, tetapi menjadi bersifat wajib pada saat mobilisasi (Pasal 77). Hal tersebut dinilai bertentangan dengan hak untuk conscientious objection yang melindungi setiap orang untuk menolak dilibatkan di dalam kedinasan militer, baik sebelum atau sesudah bergabung dengan angkatan bersenjata. Ini ditegaskan oleh Komisi HAM PBB untuk segera mengintegrasikan hak untuk conscientious objection dalam proses legislasi negara-negara ICCPR.