Polri Lengkapi Berkas Dugaan Penyebaran Hoaks Covid-19 oleh dr Lois
Polri memastikan dugaan penyebaran hoaks Covid-19 oleh dokter Lois Owien terus berjalan. Kini, Polri fokus melengkapi berkas perkara. ”Proses berjalan, melengkapi berkasnya,” kata Kepala Bareskrim Komjen Agus Andrianto.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri tengah melengkapi berkas perkara penyebaran kabar bohong atau hoaks Covid-19 dengan tersangka dokter Lois Owien. Masyarakat diimbau selalu memverifikasi informasi yang diterima agar tak mudah terpengaruh kabar bohong.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, yang dihubungi dari Jakarta, Senin (19/7/2021), memastikan dugaan penyebaran hoaks Covid-19 oleh dokter Lois Owien terus berjalan. Saat ini pihaknya fokus melengkapi berkas perkara. ”Masih berjalan, melengkapi berkasnya,” ujarnya.
Agus mengakui, konten yang dibuat oleh Lois juga diamplifikasi oleh pemengaruh lain di media sosial. Namun, ia tidak menegaskan saat ditanya apakah pihak-pihak yang turut menggaungkan konten tersebut bisa ditindak pidana.
Ia justru mengimbau kepada masyarakat agar tidak menggunakan kompetensi yang dimiliki untuk menjerumuskan orang lain. Adapun mengenai penyebar hoaks Covid-19, selain Lois, akan diteliti secara selektif oleh kepolisian.
Agus juga mengingatkan masyarakat agar tidak memercayai begitu saja informasi Covid-19 yang didapatkan dari media sosial. Kabar yang didapat sebaiknya ditelaah kembali.
Menurut dia, penyangkalan terhadap Covid-19 sudah tidak relevan karena penyebaran penyakit ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh negara. Pada semua negara, jumlah korban meninggal karena terpapar virus korona baru pun tidak sedikit.
Lois Owien ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyebaran kabar bohong sehingga membuat keonaran menyangkut Covid-19 sejak Senin (11/7/2021). Sebelumnya, ia yang menyandang gelar dokter gencar mengunggah konten berisi informasi palsu di tiga platform media sosial.
Salah satu unggahannya yang menjadi viral mengungkapkan bahwa kematian pasien Covid-19 bukan disebabkan oleh virus, melainkan interaksi berbagai macam obat. Dalam sebuah acara talkshow dia juga menyatakan tidak percaya Covid-19.
Atas tindakan tersebut, kata Agus, Lois diduga melakukan pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasar atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Ia juga diduga menyiarkan kabar atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menimbulkan keonaran di masyarakat.
Agus menambahkan, Lois juga diduga sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah dan/atau tindak pidana menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap. Sementara itu, ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.
Oleh karena itu, Lois dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 Ayat (1) Undang Nomor 4 Tahun 1984 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dari sejumlah pasal tersebut, hukuman maksimal yang bisa dikenakan pada Lois adalah 10 tahun penjara. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Slamet Uliandi mengatakan, setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Lois mengakui pandangannya merupakan opini pribadi yang tidak didasarkan penelitian. Pernyataannya tidak memiliki pembenaran dari otoritas kedokteran. Selain itu, perbuatannya juga diakui tidak dapat dibenarkan dalam kode etik profesi kedokteran.
Dari pengakuan itu, polisi menyimpulkan bahwa Lois tidak akan mengulangi perbuatannya. Ia pun dinilai tidak akan menghilangkan barang bukti dan melarikan diri. Oleh karena itu, Lois dipulangkan dan tidak ditahan.
Jaga kebebasan berekspresi
Dihubungi secara terpisah, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network Nenden Sekar Arum mengatakan, peredaran hoaks Covid-19 tidak hanya melibatkan pihak penyebar, tetapi juga pihak yang memproduksinya. Idealnya, aparat tidak sekadar menangkap orang-orang yang diduga menyebarkan hoaks, tetapi juga membongkar produsen disinformasi.
Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa penangkapan harus dilakukan dengan prosedur yang jelas. Selama ini masyarakat tidak mengetahui seperti apa prosedur operasi standar yang digunakan kepolisian. Aparat disebutnya justru cenderung represif dalam menangkap orang-orang yang diduga menyebarkan kabar bohong.
Selain itu, aparat juga kerap menyematkan label hoaks pada sejumlah informasi tanpa penjelasan. Hal itu rawan dilakukan pada seluruh informasi yang tidak sejalan dengan pemerintah.
”Tanpa ada proses verifikasi yang layak, kemudian pihak kepolisian semudah itu melabeli informasi dengan hoaks, ini bisa jadi ada tendensi untuk melabeli semua hal yang bertentangan dengan pemerintah sebagai hoaks, dan implikasinya tentu pada kebebasan berekspresi,” kata Nenden.