Pandemi Covid-19, Pejabat Publik, dan Sensitivitas Komunikasi
Di masa pandemi Covid-19, masyarakat menghadapi ketidakpastian dan ketidaknyamanan tinggi. Maka, pejabat publik diingatkan untuk memiliki sensitivitas serta empati yang tinggi.
Jagat Twitter, Kamis (15/7/2021) malam, ramai memperbincangkan cuitan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, Mahfud mencuit kegiatannya menonton sinetron Ikatan Cinta.
Cuitan itu dinilai sebagian pengguna Twitter menunjukkan rendahnya sensitivitas pejabat publik di tengah pandemi Covid-19 yang meluas. Apalagi, sebelumnya anggota DPR meminta rumah sakit khusus pejabat. Namun, ada pula yang membela, menganggap biasa cuitan Mahfud.
Pada Kamis pukul 21.10, Mahfud mencuitkan dua unggahan di akun Twitter @mohmahfudmd. Cuitan pertama berbunyi ”PPKM memberi kesempatan kepada saya nonton serial sinetron Ikatan Cinta. Asyik juga nih, meski agak muter-muter. Tp pemahaman hukum penulis cerita kurang pas. Sarah yg mengaku dan minta dihukum krn membunuh Roy langsung ditahan. Padahal pengakuan dlm hukum pidana itu bukan bukti yang kuat”.
Unggahan kedua menjelaskan jalan cerita sinetron. Mahfud menulis ”Pembunuh Roy adl Elsa, Sarah, ibu Elsa, mengaku sbg pembunuhnya dan minta dihukum demi melindungi Elsa. Lah, dlm hukum pidana tak sembarang org mengaku lalu ditahan. Kalau bgt nanti bnyk org berbuat jahat lalu menyuruh (membayar) org utk mengaku shg pelaku yang sebenarnya bebas”.
Hingga, Sabtu (17/7/2021), cuitan itu telah dibagikan ulang 2.138 retweet, 6.374 retweet dengan kutipan, dan disukai oleh 8.235 pengguna.
Baca juga : Membaca Jejak ”Kicauan” Para Menteri Jokowi
Tak pelak, warganet pun mengomentari cuitan Twitter tersebut. Pengguna akun @DavidYusnita mencuit; ”Astaghfirullah pak @mohmahfudmd rakyat di bawah sudah banyak yang gak makan karena mata pencahariannya diobok-obok sama aparat dan Satpol PP dengan alasan PPKM. Kok anda bisa ya nonton sinetron ”Ikatan Cinta” dan itu mengasyikkan buat anda. Ya Allah Ya Rabb.”
Pengguna @niaakanedy juga mencuit, ”PPKM memberi kesempatan kepada saya merenungi nasib suami saya seorang trainer swimming tidak bisa kerja lagi akibat kolam renang ditutup pak. Jadinya, saya bantu suami jualan bakmi online sama kue kering. Bapak mau beli? Lumayan buat cemilan sambil nonton ikatan cintanya pak.”
Baca juga : Para Menteri dan Cuitan Twitter-nya
Ada pula pengguna Twitter yang membela Mahfud. Pemilik akun @Rizka_Edmanda mencuit; ”Mungkin kita lupa, Pak Mahfud MD juga manusia biasa, butuh hiburan sesekali di sela-sela kesibukan beliau sebagai menteri. Beliau pun mungkin jenuh, stress, tertekan di masa-masa pandemi kayak gini. Kalau sesekali diposting ya ga masalah, bukti bahwa figure menteri hanyalah manusia biasa.”
Selain itu, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luqman Hakim dalam keterangan tertulisnya, menuturkan, tidak ada yang salah dengan cuitan Mahfud soal ia menonton sinetron Ikatan Cinta. Sebab, hal itu sama sekali tidak mengurangi waktu Mahfud menjalankan tugasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
”Sinetron itu tayangnya malam hari, bukan siang hari pada jam kerja. Nah, kalau Pak Mahfud nongkrong di kafe ketika PPKM darurat masih berlaku sekarang ini, tentu masalah besar,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR itu.
Sensitivitas
Cendekiawan muslim Azyumardi Azra berpendapat, elite politik baik nasional maupun lokal wajib memperlihatkan sense of crisis di masa sulit ini. Ada banyak cara untuk melakukannya, misalnya menggerakkan aparat birokrasi membantu rakyat. Misalnya, menggalang solidaritas sosial-ekonomi masyarakat, membantu korban Covid-19, dan keluarga mereka.
Menjalin komunikasi sosial yang baik dengan ormas dan lembaga filantropi yang sudah banyak membantu mitigasi korban Covid-19. Menghindari simpang siur dan kegaduhan pernyataan di depan publik. Memperlihatkan sikap empati yang alami kepada korban Covid-19 dan keluarga serta rakyat yang terdampak secara sosial ekonomi dan agama.
”Ekspos perbuatan pribadi seperti menikmati sinetron yang menunjukkan sikap tidak atau kurang empati ke publik harus dihindari,” kata Azyumardi.
Di tengah ancaman penularan virus yang meluas, Azyumardi tak menampik bahwa semua orang membutuhkan pelarian untuk menjaga kesehatan mental. Di sela-sela kegiatan mengajar dan webinar, sebagai Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi juga mengaku menonton film di Netflix. Namun, dia tidak lantas mengunggah kegiatannya itu di media sosial. Dia menilai, rasanya tidak sensitif jika kegiatannya itu diungkap ke publik.
Sebelumnya, dua politikus dari Partai Amanat Nasional juga menjadi sorotan publik karena ucapan dan tindakannya dinilai bertentangan dengan upaya penanganan pandemi Covid-19. Wakil Sekretaris Jenderal PAN Rosaline Irene Rumaweuw meminta pemerintah untuk membuat rumah sakit khusus bagi pejabat. Menurut dia, pemerintah lupa bahwa harus menyediakan fasilitas kesehatan untuk pejabat negara.
Anggota DPR lain dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus, juga menolak menjalani karantina seusai dari perjalanan dinas ke Kirgistan. Ia telah ditegur oleh Fraksi PAN dan dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan karena pelanggaran protokol kesehatan perjalanan internasional, (Kompas.id, 8 Juli 2021).
Baca juga : Menolak Karantina, Anggota DPR Guspardi Gaus Diadukan ke MKD
Manajemen privasi komunikasi
Pengajar komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto, berpandangan di masa pandemi, masyarakat menghadapi ketidakpastian dan ketidaknyamanan tinggi sehingga pejabat publik harus memiliki sensitivitas serta empati yang tinggi. Dalam konteks komunikasi publik pejabat, di masa sulit seperti ini seharusnya ada manajemen privasi dan kemampuan untuk memilah informasi yang akan disampaikan ke publik.
Dia menilai, secara konten tidak ada masalah dalam cuitan Mahfud MD terkait kegiatan menonton sinetron. Namun, perlu dipertanyakan apa manfaatnya informasi itu diunggah di publik di masa sulit seperti ini. Informasi itu cukup disimpan untuk konsumsi pribadi dan orang terdekat. Sebab, jika diunggah ke publik, tidak ada gunanya. Justru, malah akan memicu perdebatan tidak penting yang dapat merusak kohesi sosial bangsa. Masyarakat bisa terpolarisasi hanya karena perbedaan pendapat yang tidak substantif.
Gun Gun berpendapat, jika konten informasi yang diunggah berpotensi memicu polemik, seharusnya dihindari. Jika memang komentar dirasa tidak bermanfaat, lebih baik bersikap diam.
”Pejabat publik, tokoh agama, atau tokoh ormas yang menjadi panutan di masyarakat membutuhkan manajemen privasi komunikasi. Mereka harus mampu meraba situasi yang memilukan ini. Di situasi banyak orang sakit, ditinggal keluarga, dan ekonomi kekurangan, masyarakat merasa tidak nyaman. Jangan sampai ucapan justru melukai mereka atau memicu perdebatan publik,” kata Gun Gun.
Gun Gun juga sepakat bahwa ucapan dan tingkah laku pejabat publik akan menjadi role model dalam penanganan pandemi Covid-19. Selain ucapan, tindakan mereka juga akan dicontoh dan dijadikan teladan masyarakat.
Perilaku politikus PAN Guspardi Gaus yang menolak isolasi mandiri setelah perjalanan luar negeri, sangat disayangkan. Perilaku itu dinilai di luar kepatutan dan keadaban komunikasi. Guspardi dinilai abai terhadap protokol kesehatan. Ini tidak boleh dilakukan karena bisa dicontoh masyarakat.
Selain itu, permintaan untuk membuat RS khusus pejabat juga dinilai hanya memperteguh stratifikasi sosial dan feodalisme pejabat. Masih ada anggapan bahwa pejabat harus mendapatkan fasilitas terdepan dibanding warga biasa. Ini sangat melukai perasaan publik di saat mereka kesulitan mencari oksigen, donor darah, hingga ruangan rawat di rumah sakit. Perilaku itu juga disebutnya sebagai bentuk melukai kemanusiaan.
Baca juga : Minta RS Khusus Pejabat, Elite Politik Abaikan Empati Publik
”Dalam keadaan sulit seperti ini, tidak hanya dibutuhkan etika atau keadaban komunikasi, tetapi juga empati dari pejabat publik. Di saat orang mengantre mendapatkan perawatan di RS, dia malah mengeluarkan pernyataan yang melukai kemanusiaan,” kata Gun Gun.
Donasi gaji pejabat
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Junimart Girsang, menyampaikan, di masa pandemi pejabat publik harus menunjukkan dan merealisasikan bentuk rasa empati dan senasib sepenanggungan. Menurut dia, para wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah harus bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Wakil rakyat adalah personifikasi rakyat sehingga harus berbicara atas nama rakyat. Wakil rakyat juga harus berbuat sesuatu untuk konstituennya. ”Nilai-nilai Pancasila harus ditunjukkan dan diimplementasikan di masa pandemi ini,” kata Junimart melalui keterangan resmi, Sabtu.
Menurut dia, ada dua masalah yang harus disentuh terkait dengan penanganan pandemi Covid-19. Pertama, bagaimana wakil rakyat bisa memberikan solusi membantu mengatasi ratusan ribu masyarakat yang kurang mampu yang sedang menjalani isolasi mandiri.
Kedua, bagaimana memberikan daya tahan ekonomi terhadap masyarakat terdampak PPKM darurat. Masyarakat yang dibatasi mobilitasnya untuk mencari nafkah seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pekerja yang mengandalkan pendapatan harian.
”Salah satu solusi untuk membantu pasien isoman serta warga kecil yang terdampak ekonominya adalah memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari mereka. Wakil rakyat, menteri, dirjen, dan kepala daerah, mari menyisihkan, mengambil 50 persen gajinya selama dua bulan terhitung sejak Juli-Agustus 2021 untuk membantu warga,” terang Junimart.
Junimart menegaskan, di masa darurat ini sudah tidak dibutuhkan lagi orang yang banyak bicara, tetapi harus berbuat nyata. Oleh karena itu, dia mendorong agar donasi 50 persen gaji pejabat publik itu dapat diatur secara teknis di tingkat kesekjenan masing-masing, maupun di tingkat pemerintahan daerah.