Darurat Militer dalam Penanganan Pandemi Dinilai Tak Tepat dan Berbahaya
Sejak awal, pemerintah memang melibatkan TNI dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun, penggunaan istilah ”darurat militer” untuk menunjukkan situasi penanganan Covid-19 dikhawatirkan timbulkan trauma bagi masyarakat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan istilah darurat militer untuk menangani pandemi Covid-19 dinilai tidak tepat dan berbahaya. Selain menimbulkan konsekuensi hukum yang relatif berat, penggunaan itu pun bisa menimbulkan trauma bagi masyarakat di wilayah yang pada masa lalu pernah menjadi daerah operasi militer. Masyarakat sipil mendesak istilah darurat militer tak digunakan dalam penanganan pandemi Covid-19.
Istilah darurat militer dalam penanganan pandemi Covid-19 pertama kali dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam sebuah acara diskusi di Yogyakarta, Jumat (16/7/2021). Saat itu, Muhadjir menyebut bahwa Indonesia kini tengah berada dalam situasi darurat militer dalam penanganan pandemi Covid-19. Menurut dia, perang melawan Covid-19 adalah situasi memerangi musuh yang tak terlihat. Walaupun pemerintah tidak mendeklarasikan situasi tersebut, sebenarnya yang terjadi adalah keadaan darurat militer.
Berselang sehari setelah pernyataan itu, Sabtu (17/7/2021), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan klarifikasi kepada media. Menurut Mahfud, darurat militer yang dimaksud Menko PMK bukan dalam arti stipulasi atau persyaratan suatu kesepakatan hukum.
Jadi, yang dimaksud Pak Muhadjir (Menko PMK) itu adalah diikutsertakannya militer dalam mengatasi darurat kesehatan. Itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Mahfud menjelaskan, situasi yang terjadi sekarang adalah kedaruratan kesehatan. Namun, militer ikut turun tangan dalam mengatasi kedaruratan itu sehingga bisa disebut sebagai darurat militer. Adapun darurat militer dalam konteks stipulasi hukum artinya adalah militer turun tangan dalam menghadapi pemberontakan bersenjata dari dalam negeri.
”Jadi, yang dimaksud Pak Muhadjir (Menko PMK) itu adalah diikutsertakannya militer dalam mengatasi darurat kesehatan. Itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,” katanya.
Mahfud menambahkan, menurut hukum, keadaan darurat itu ada tiga. Pertama, darurat sipil ketika ada kejadian yang menyebabkan pemerintahan di suatu wilayah lumpuh, misalnya karena ada kerusuhan. Kedua, darurat militer yaitu jika ada pemberontakan bersenjata melawan negara. Ketiga, darurat perang yaitu jika ada serangan dari negara lain atas kedaulatan negara.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menuturkan, penggunaan istilah darurat militer sangat berbahaya. Sebab, konsekuensi hukum dari darurat militer sangat berat. Dalam situasi darurat militer, misalnya, penguasa dapat meminta aparat penegak hukum menggeledah tempat tanpa harus meminta izin ke pengadilan. Pemerintah juga dapat mengontrol informasi dan pemberitaan publik misalnya di kantor radio, televisi, media cetak, dan online.
”Contoh mudahnya, saat diberlakukan darurat militer, kalau ada orang dipukuli militer karena melanggar aturan PPKM darurat, misalnya, akuntabilitas pertanggungjawabannya tidak jelas. Sebab, pelaku hanya akan diadili dengan mekanisme pengadilan militer,” kata Asfinawati.
Selain konsekuensinya yang berbahaya, penggunaan istilah darurat militer juga tidak tepat. Sebab, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam dengan status kedaruratan kesehatan. Seharusnya orang yang berwenang mengendalikan status darurat kesehatan adalah menteri kesehatan atau orang yang memiliki kompetensi di bidang penanganan virus dan kesehatan masyarakat. Namun, anehnya, di Indonesia penanganan pandemi Covid-19 justru dipercayakan kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
”Pernyataan Muhadjir ini selain tidak tepat juga berbahaya karena menunjukkan logika berpikir pemerintah. Mengapa penanganan Covid-19 di Indonesia tidak dipimpin oleh ahli kesehatan masyarakat tetapi justru dari kalangan TNI? Ini cara berpikir ke belakang, di mana situasi darurat hanya dikaitkan dengan masalah keamanan,” ujar Asfinawati.
Padahal, menurut dia, dari sisi regulasi Indonesia sudah termasuk maju dalam membedakan situasi darurat. Indonesia sudah memiliki UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dasar hukum itu menunjukkan bahwa secara ketatanegaraan, Indonesia mengenal situasi kedaruratan karena bencana dan penyakit. Tidak hanya situasi darurat karena gangguan keamanan seperti perang. Penggunaan istilah itu juga akan menimbulkan trauma bagi wilayah yang pernah menjadi daerah operasi militer, seperti Aceh dan Maluku.
Dicabut
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menambahkan, ucapan Muhadjir dan Mahfud soal situasi darurat militer dalam penanganan pandemi harus segera dicabut dan diklarifikasi. Sebab, penggunaan istilah itu sangat berbahaya bagi masyarakat terutama konsekuensi hukumnya. Konsekuensi darurat militer adalah pemerintah dapat mengambil semua hak dasar masyarakat.
Hal itu menunjukkan bahwa dalam penanganan pandemi pemerintah melihat masyarakat bertindak rusuh dan sulit diatur. Padahal, dengan durasi pandemi yang sudah berjalan selama hampir dua tahun, masyarakat membutuhkan peran negara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat akan patuh dengan aturan PPKM daruat jika kebutuhan mereka dipenuhi. Sekarang, masyarakat terpaksa tidak patuh karena harus keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ini terutama dialami pekerja informal yang mengandalkan penghasilan harian.
”Kalau sampai darurat militer, artinya akan ada pengendalian informasi. Penguasa bisa mengetahui percakapan publik, mengendalikan informasi dan pemberitaan di media seperti radio, televisi, media cetak, dan online. Itu sudah terlihat dari pernyataan Luhut Panjaitan yang kerap menyangkal fakta penanganan pandemi yang diungkap publik dan media,” kata Usman.
Usman juga menambahkan, situasi yang terjadi sekarang, warga tidak sedang berkonflik atau berperang sehingga membutuhkan pendekatan koersif. Warga justru membutuhkan uluran bantuan dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan mereka selama PPKM darurat.
PPKM darurat selama tiga pekan terakhir ini sungguh memukul kehidupan masyarakat terutama yang mengandalkan penghasilan harian. Pemerintah seharusnya menjalankan kewajibannya untuk memberi makan warga.
Jika pemerintah konsisten menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah berkewajiban memberi makan warga hingga hewan ternak selama karantina wilayah. Namun, pemerintah tidak mau menggunakan UU itu. Di sisi lain, dalam aspek penegakan hukum, pemerintah menggunakan UU tersebut agar penerapannya lebih tegas di lapangan.
”PPKM darurat selama tiga pekan terakhir ini sungguh memukul kehidupan masyarakat terutama yang mengandalkan penghasilan harian. Pemerintah seharusnya menjalankan kewajibannya untuk memberi makan warga,” kata Usman.
Membingungkan
Pernyataan-pernyataan dari menteri yang berbeda satu sama lain juga menunjukkan pemerintah tidak punya kebijakan koheren untuk menanggulangi wabah. Pernyataan itu selain blunder juga membingungkan masyarakat. Klarifikasi yang dilakukan oleh Mahfud juga tidak mendudukkan persoalan, tetapi malah menciptakan kebingungan baru.
Dengan situasi penularan Covid-19 yang semakin meluas, pemerintah diharapkan segera mengubah paradigma penanganan pandemi. Pemerintah harus mengedepankan pendekatan kebijakan berbasis keahlian, penelitian ilmiah, dengan melibatkan ahli kesehatan masyarakat, ahli vaksin dan ahli virus. Pemerintah juga harus menyosialisasikan penanganan pandemi Covid-19 dengan jelas, tegas, tanpa membingungkan masyarakat. Caranya, tentu saja bukan dengan kebijakan darurat militer.