Jampidmil Diharapkan Dorong Keterbukaan dan Penuntasan Kasus HAM
Untuk pertama kalinya Indonesia akan memiliki Jaksa Agung Muda Pidana Militer. Jaksa Agung akan melantik seorang perwira aktif, Laksamana Madya Anwar Saadi, sebagai Jampidmil pada hari Rabu esok.
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer di Kejaksaan Agung dinilai dapat mengakselerasi penanganan perkara yang melibatkan anggota militer. Lebih khusus, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer diharapkan dapat turut mendorong penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin akan melantik Laksamana Madya Anwar Saadi sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) Kejaksaan Agung, Rabu (14/7/2021) besok. Pelantikan tersebut didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 75/TPA Tahun 2021 tertanggal 28 Mei 2021.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, ketika dihubungi pada Selasa (13/7/2021), mengatakan, Jampidmil sebagai struktur baru di Kejaksaan Agung diharapkan akan mengakselerasi penanganan kasus yang melibatkan anggota militer yang selama ini sulit diakses masyarakat, diproses dalam waktu lama, serta tidak transparan. Kasus yang tercatat di YLBHI antara lain kasus kekerasan terhadap perempuan dan kasus kekerasan terhadap masyarakat sipil, termasuk penggusuran.
Selain itu, lanjut Asfinawati, keberadaan Jampidmil diharapkan dapat memperjelas penanganan perkara koneksitas. Sebab, selama ini,perkara koneksitas yang seharusnya diadili di peradilan umum malah seakan diharuskan diadili di peradilan militer. Hal ini penting dicermati karena, menurut dia, dasar pembentukan Jampidmil tidak secara jelas mengatur hal tersebut.
”Kalau Jampidmil menjadi satu atap untuk penuntutan, baik tindak pidana umum maupun tindak pidana kemiliteran, maka itu menjadi langkah reformasi peradilan yang bagus dan perlu permanen. Tapi, kalau tugas Jampidmil adalah mengakselerasi tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI, maka itu berarti langkah mundur. Sebab, militer yang melakukan tindak pidana umum harusnya langsung diadili di peradilan umum,” papar Asfinawati.
Ia beralasan, Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah memberikan mandat untuk melakukan reformasi peradilan militer. Salah satunya dengan menyusun UU tentang peradilan militer yang baru, tetapi sampai saat ini tak kunjung terealisasi. Dengan demikian, pembentukan Jampidmil bisa jadi merupakan kompromi dari keengganan menjalankan reformasi peradilan militer.
Perkara HAM berat
Di sisi lain, menurut Asfinawati, keberadaan Jampidmil dapat dimanfaatkan untuk mendorong upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang diduga terkait dengan militer. Meski demikian, kasus pelanggaran HAM berat merupakan perkara yang diduga dilakukan secara sistematis dan mencakup dengan adanya jalur komando hingga ke pucuk pimpinan. Dengan begitu, penuntasannya kemungkinan akan sulit dilakukan oleh Jampidmil yang dalam struktur TNI bukan termasuk pucuk pimpinan.
”Secara teoretis orang yang jabatannya lebih rendah tidak mungkin menuntut pihak yang jabatannya lebih tinggi. Ini problematis. Namun, untuk kejahatan yang sifatnya kecil, TNI tampak sudah profesional dengan memberikan sanksi kepada anggotanya,” katanya.
Hingga saat ini terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat yang masih belum tuntas. Dari ke-13 berkas kasus tersebut, sembilan perkara merupakan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan empat kasus terjadi setelah UU tentang Pengadilan HAM terbit.
Secara terpisah, Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab berpandangan, keberadaan Jampidmil diharapkan dapat membuat peradilan militer lebih terbuka. Sebab, akan ada koordinasi antara Jaksa Agung dan Panglima TNI dalam hal penuntutan di peradilan militer.
Terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat, Amiruddin mengingatkan bahwa kasus yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan semestinya diposisikan sebagai kelanjutan dari kebijakan negara atau pemerintah. Oleh karena itu, penegakan hukumnya pun dilakukan secara khusus, dilakukan langsung oleh Jaksa Agung. Dengan demikian, kelanjutan proses kasus pelanggaran HAM berat sangat tergantung dari Jaksa Agung.
”Apakah Jaksa Agung memiliki komitmen terhadap hak asasi manusia, itu tergantung Jaksa Agung. Terkait Jampidmil, Jaksa Agung dapat memanfaatkan Jampidmil untuk menjelaskan ke pihak militer tentang pentingnya pengadilan HAM sebagai sebuah proses hukum. Namun, hal itu kembali kepada kemauan Jaksa Agung,” ujarnya.
Menurut Amiruddin, pemberian pemahaman dan pengetahuan kepada militer mengenai pengadilan HAM itu penting. Dalam pengadilan HAM, yang penting untuk diklarifikasi adalah siapa pemberi perintah dan hal apa yang diperintahkan. Selama proses hukum itu tidak berjalan, kasus pelanggaran HAM berat tidak akan lebih maju dari asumsi.
Fachrizal Afandi, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, mengatakan, penunjukan Jampidmil bisa menjadi momentum awal revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Akan tetapi, hal ini juga bisa jadi langkah mundur menuju keterlibatan militer lebih jauh ke ranah sipil seperti terjadi pada masa Orde Baru.
Fachrizal mengatakan suudah banyak undang-undang terkait reformasi TNI yang direvisi, kecuali UU Peradilan Militer. Padahal, undang-undang itu rentan menimbulkan impunitas ketika ada prajurit TNI melakukan pelanggaran hukum, terutama pelanggaran HAM.
“Semua tergantung Jaksa Agung, sejauh mana kekuatan politik dan keinginannya,” kata Fachrizal.
Menurutnya, ketika Jaksa Agung tidak menggunakan momentum ini, ada resiko yang lebih besar yaitu langkah mundur ke jaman Orde Baru. Ia menggarisbawahi, di masa Orde Baru, secara tidak tertulis ada kesepakatan bahwa posisi Jaksa Agung Muda Intelijen diisi oleh militer. Bahkan, lima dari delapan Jaksa Agung di masa Orde Baru berasal dari tentara. Oleh karena itu, menurutnya, harus diwaspadai juga apakah ada arah ke situ.
“Jadi ada harapan, ada kewaspadaan,” kata Fachrizal.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, agenda yang harus diperjuangkan masyarakat sipil saat ini adalah revisi UU Peradilan Militer. Momentum ini harus digunakan di mana oditur tidak lagi berada di bawah Panglima TNI, tetapi ada langsung di bawah Jaksa Agung.
Posisi Jampidmil yang menjadi koordinator antara Kejaksaan Agung dan TNI dinilai Fachrizal adalah langkah maju. Akan tetapi, momentum ini harus ditindaklanjuti agar perubahan yang terjadi bersifat sistematis. “Kalau tidak hati-hati malah bisa lebih parah,” tandasnya.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, pelantikan Jampidmil akan dilangsungkan pagi hari di Gedung Kejagung. Acara pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan akan diikuti seluruh jajaran kejaksaan secara virtual.