Trik Komunikasi Digital Istana demi Menangkal Covid-19
Presiden Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Namun, saat kondisi negara genting seperti masa pandemi Covid-19, menyapa rakyat saja tidaklah cukup. Ketegasan dalam menegakkan aturan juga penting.
Masa pandemi Covid-19 mendorong masyarakat bermigrasi lebih intens ke komunikasi digital. Mau tidak mau, komunikasi digital lantas juga menjadi inti dari komunikasi politik di Istana Kepresidenan pada masa pandemi. Guna memantapkan perintah di tengah keterbatasan gerak fisik, gaya komunikasi Presiden pun diharapkan lebih mengarah ke gaya komunikasi yang menekankan pada tegaknya aturan.
Sepekan setelah penetapan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat untuk wilayah Jawa dan Bali yang berlaku dari 3 Juli hingga 20 Juli, Presiden Joko Widodo beberapa kali masih melakukan kunjungan ke lapangan untuk meninjau penanganan pandemi secara langsung. Namun, kebanyakan dari kegiatan Presiden Jokowi, seperti gelaran rapat terbatas, tetap mengandalkan pertemuan secara daring.
Ketika meninjau konversi asrama haji menjadi rumah sakit bagi penanganan pasien Covid-19 pada Jumat (9 /7/2021), Presiden Jokowi hanya datang berdua didampingi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Tak ada rombongan besar tim kepresidenan yang biasanya menyertai Presiden Jokowi tiap kali melakukan kunjungan kerja. Kegiatan peninjauan Rumah Sakit Asrama Haji di Pondokgede, Jakarta Timur, itu pun segera disiarkan secara langsung di kanal Youtube Sekretariat Presiden.
Selama lebih dari 1,5 tahun masa pandemi di Indonesia, kegiatan Presiden Jokowi memang rutin diunggah ke media sosial, terutama di kanal Youtube Sekretariat Presiden, akun Twitter @jokowi, hingga Instagram @jokowi. Kanal Youtube Sekretariat Presiden memiliki pengikut hingga 1,46 juta, akun Twitter @jokowi dengan 15,8 juta pengikut, sedangkan Instagram @jokowi diikuti 40,3 juta akun. Setiap kanal media sosial tersebut selalu aktif membagikan agenda harian ataupun sapaan pribadi dari Presiden.
Baca juga : Aktivitas Presiden-Wapres Kala PPKM Darurat Diterapkan
Mengingat keterbatasan fisik, pengajar Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, menyebut bahwa komunikasi digital melalui multiplatform bisa menjadi solusi di masa pandemi. Namun, pemerintah tetap harus mengefektifkan konektivitas media yang menghubungkan media baru dengan media konvensional. Meskipun jumlah pengguna sosial media cukup tinggi, yakni 63,8 persen dari total populasi, masih cukup banyak warga yang lebih condong ke media konvensional.
Selain itu, harus ada kejelasan dalam peran informasi (role information). ”Pernyataan official, resmi yang sifatnya otoritatif dari istana, harus benar-benar terseleksi sehingga bisa dipilah masyarakat, mana yang official, presidensial, untuk menjadi rujukan panduan masyarakat. Para admin di medsos harus jadi gate keeper yang efektif. Mereka akan menjadi mata telinga Presiden di media sosial. Peran informasi harus optimal, jangan sampai banyak salah data atau informasi seperti sebelumnya,” tutur Gun Gun.
Pemerintah juga harus membangun komunikasi multiarah karena karakteristik komunikasi medsos adalah komunikasi yang interaktif. Efektivitas komunikasinya, antara lain, bisa dilihat dari engagement atau komunikasi dua arah yang dibangun. Untuk menghindari communication by accident, komunikasi di medsos harus diperkuat dengan hadirnya tim diseminator dan tim kontra-propaganda.
”Sering kali manajemen komunikasi politik, terutama di medsos, masih tergopoh-gopoh dalam sebuah protokol dari institusi yang kemudian punya karakter official direktif, apalagi levelnya lembaga kepresidenan. Bahasa boleh cair, tapi data clear dan narasinya harus benar-benar dijaga,” ucap Gun Gun.
Tegaknya aturan
Keriuhan di kolom komentar media sosial tiap kali Presiden Jokowi siaran langsung di kanal Youtube sering kali hampir terasa serupa ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja langsung di lapangan. Seperti pada kunjungan kerja terakhir sebelum mengumumkan PPKM darurat, kala itu, Presiden Jokowi meninjau pelaksanaan vaksinasi Covid-19 massal yang digelar di halaman Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara, Kota Kendari, Rabu (30/6/2021).
Ketika berbincang dengan peserta vaksinasi yang antre suntikan vaksin CoronaVac dari Sinovac, Presiden Jokowi lantas melepas jaket berwarna coklat yang dipakainya. Dengan senyuman, Jokowi tak hanya memberikan, namun juga membantu memakaikan jaket tersebut kepada seorang anak muda milenial bernama Steven.
Antrean vaksinasi sempat riuh ketika beberapa peserta turut berlari berusaha mendekati rombongan Presiden Jokowi untuk memperoleh suvenir yang dibagikan. ”Ini suatu kegembiraan luar biasa bagi saya. Semua harus vaksin, saya sebagai anak milenial harus vaksin. Vaksin langkah terbaik cegah virus korona,” ujar Steven yang terlihat pas memakai jaket kain coklat pemberian Presiden Jokowi.
Keakraban dan kehangatan yang selalu disuguhkan di depan masyarakat oleh Presiden Jokowi, menurut Gun Gun, merupakan gaya komunikasi politik yang selama ini dominan ditunjukkan oleh Presiden. Gaya kepemimpinan egalitarian yang cenderung disukai oleh masyarakat Indonesia ini ternyata tak cukup untuk menjawab permasalahan, terutama ketika negara memasuki masa genting pandemi Covid-19.
”Harus ada gaya yang diadaptasi oleh Presiden ke the structuring style, gaya komunikasi yang menekankan pada tegaknya aturan. Basisnya adalah struktur berpikir yang runut dan komprehensif, termasuk memastikan bahwa bukan hanya orang tidak sekadar senang, tapi juga program kebijakan pemerintah bisa dimengerti, dipahami, dan jalan,” ujar Gun Gun.
Pandemi merupakan kejadian luar biasa sehingga membutuhkan ketegasan pemerintah terkait bagaimana mengelola kebijakan menyangkut pandemi agar tidak berlama-lama dengan pandemi ini. ”Bukan sekadar hangat dan saling menyenangkan, tapi juga the structuring style: runut, sistematis, komprehensif, menyangkut apa yang akan diambil atau tidak diambil oleh pemerintah sehingga sampai pada situasi Covid-19 bisa dikendalikan oleh pemerintah,” tambahnya.
Ketegasan dalam cara berkomunikasi Presiden ini dinilai masih belum optimal. Dalam beberapa hal, banyak paradoks yang dilakukan pemerintah. Dalam penentuan kebijakan pelarangan mudik, misalnya, pemerintah tetap mengizinkan pembukaan destinasi wisata. Kepercayaan publik juga bisa hilang ketika menyaksikan keran masuknya tenaga kerja asing yang tetap dibuka di masa pembatasan mobilitas masyarakat.
Ketegasan mengefektifkan simpul-simpul komunikasi menjadi semakin penting pada masa PPKM darurat. ”Jangan sampai organ komunikasi itu dianggap pinggiran dalam proses implementasi dalam komunikasi kebijakan, terutama di saat hari ini menjadi krusial, contoh PPKM Jawa-Bali, banyak pemerintah daerah yang kemudian tidak support kebijakan. Ini akan riskan, terutama di tingkat daerah,” ucap Gun Gun.
Baca juga : Penegakan Aturan PPKM Darurat Tidak Seragam
Ketegasan komunikasi jangan hanya diwujudkan dari pernyataan tegas di media yang ditunjukkan perwakilan pemerintah, seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Namun, hal itu harus semakin ditunjukkan dalam dimensi-dimensi penting dalam sosok Presiden Jokowi. ”Ambiguity itu sangat riskan sekali. Komunikasi harus clear, apa yang diambil atau tidak diambil pemerintah,” ujarnya.
Dua kaki
Sebelumnya, Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono menyebut bahwa agenda Presiden Jokowi selama masa PPKM darurat memang akan lebih banyak daring. Juru Bicara Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi, bahkan menyatakan bahwa Wapres Amin tidak akan melakukan kunjungan lapangan sama sekali dan akan sepenuhnya daring.
”Jikapun ada offline tentu tidak lebih dari lima orang, sementara kunjangan kerja mungkin akan dikurangi. Jika daring sebenarnya lebih rumit, kami harus memastikan semua titik daring bisa berjalan dengan baik, seperti stabilisasi sinyal, suara dan pencahayaan di masing-masing lokasi di luar istana,” ujar Heru.
Gun Gun mengingatkan bahwa banyak persoalan krusial yang tidak bisa semata-mata diselesaikan di media sosial, tetapi membutuhkan performa komunikatif. Aparat pemerintahan harus benar-benar melek komunikasi organisasi, terutama di komunikasi organisasi birokrasi yang sifatnya hierarkis. Gelembung (bubble) isu ataupun bubble politik di media sosial harus diatasi dengan cara komunikasi yang sifatnya komprehensif.
Selain aktif di media sosial yang menyasar khalayak luas untuk diseminasi, membangun diskursus, sekaligus melakukan banyak klarifikasi, pemerintah tetap harus memperkuat komunikasi organisasi melalui jalur birokrasi kementerian, lembaga, dan daerah. ”Saya agak khawatir kalau komunikasi selalu jadi pinggiran, termasuk juga riset-riset evaluasi komunikasi kebijakannya tidak dilakukan. Kita enggak pernah tahu bolong-bolong itu kemudian menjadi bahan findings, conclusions, and recommendations (FCR) atau enggak,” ujarnya.
Komunikasi kebijakan yang tidak optimal bisa menjadi pemicu dari ledakan pandemi. Terkait kelompok masyarakat yang menolak vaksinasi, misalnya, harus ada riset persepsi, pertemuan ahli di daerah, hingga pengumpulan data dengan instrumen birokrasi di daerah sehingga komunikasi terjahit antara pusat dan daerah. Efektivitas koordinasi komunikasi birokrasi pada masa pandemi ini tetap bisa dijalin secara daring.
”Hanya, masalahnya tradisi birokrasi dari sejak dulu inginnya dianggap aman sehingga cenderung menyenangkan pimpinan. Itu yang berbahaya bagi kita. Enggak bisa tracing persoalan di bawah karena potretnya sudah diburamkan sehingga kemudian butuh cross-check, terutama dari jangkar komunikasi yang nanti akan memberi input data ke Presiden,” kata Gun Gun.
Direktur Digital Media & Communication Research Center (Decode) Departemen Ilmu Komunikasi UGM Muhamad Sulhan menambahkan bahwa proses komunikasi antara elite pemerintah dan warga selama ini selalu dimaknai dalam konteks seremonial. Kapasitas seremonial itulah yang kemudian dibabat habis oleh komunikasi dengan medsos.
”Terjadi implikasi serius. Mendengarkan pidato Presiden di layar yang kadang enggak live, tingkat penghayatan menjadi beda. Dia membutuhkan tekanan lebih besar untuk menjadi kepatuhan. Ketika proses komunikasi itu termediasi, maka tingkat kepatuhan warga tidak sama,” ujar Sulhan.
Perpaduan antara komunikasi dalam konteks seremonial dan komunikasi lewat media sosial dinilai bisa menjadi cara ampuh dalam komunikasi politik pemerintah. Komunikasi dalam konteks seremonial tetap dilakukan untuk menjaga marwah institusi dan menciptakan kepatuhan. Di sisi lain, medsos memungkinkan pemimpin menyapa rakyatnya secara personal.
Ketika harus ada satu suara yang memiliki kekuatan mutlak, itu harus datang dari negara. Negara harus hadir. Dia hadir secara lengkap baik dalam konteks narasi pemberitaan, hadir dalam konteks keberadaaan representasi, maupun dalam keadaban penggunaan bahasa yang akan terus kait-mengkait. Dengan komunikasi efektif yang menciptakan kepatuhan, diharapkan pandemi bisa segera berlalu dari negeri ini.