Edhy Prabowo Minta Hakim Pertimbangkan Kebutuhan Kasih Sayang Keluarga
Dalam nota pembelaannya, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan tak pernah menginisiasi penerimaan suap untuk izin ekspor benih lobster. Ia meminta majelis hakim membebaskannya dari semua dakwaan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus suap izin ekspor benih lobster, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, membantah terlibat menginisiasi tindak pidana korupsi menerima suap (janji/hadiah) terkait dengan ekspor benih lobster. Majelis hakim diminta mempertimbangkan kebutuhan kasih sayang anak dan istri dari seorang ayah.
Sebelumnya, Edhy dituntut lima tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan, pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp 9,6 miliar, dan 77.000 dollar AS dikurangi uang yang sudah dikembalikan terdakwa. Selain itu, jaksa juga meminta majelis hakim mencabut hak politik Edhy untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Atas tuntutan jaksa tersebut, Edhy menilai tuntutannya sangat berat. ”Apalagi tuntutan tersebut didasarkan atas dakwaan yang sama sekali tidak benar dan fakta-fakta yang sangat lemah,” ujarnya saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Albertus Usada, Jumat (9/7/2021).
Menurut dia, di usianya yang mencapai 49 tahun, tuntutan itu sangat berat karena ia sudah menanggung beban yang sangat berat. Apalagi ia masih memiliki seorang istri dan tiga anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah.
”Saya memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang mengadili perkara ini agar berkenan membebaskan saya dari semua dakwaan dan tuntutan penuntut umum. Namun, apabila majelis hakim berpendapat lain, dengan kerendahan hati, saya bermohon kiranya berkenan memberikan putusan yang seringan-ringannya,” ucap Edhy.
Berdasarkan fakta persidangan, dirinya merasa tidak pernah melakukan inisiasi tindak pidana korupsi menerima suap (janji/ hadiah) terkait dengan ekspor benih lobster. Sebab, proses penerbitan perizinan terkait lobster yang meliputi surat penetapan calon eksportir, surat keterangan telah melakukan pembudidayaan, berita acara pelepasliaran, sampai dengan surat penetapan waktu pengeluaran dilakukan oleh pejabat eselon I.
Saya memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang mengadili perkara ini agar berkenan membebaskan saya dari semua dakwaan dan tuntutan penuntut umum.
Pejabat yang dimaksud ialah Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, serta Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan mengharapkan kepada pejabat eselon I untuk dapat memproses perizinan tersebut secara obyektif dan sesuai ketentuan yang ada.
”Saya tidak mengetahui tuduhan soal uang suap yang diberikan pelaku usaha kepada salah satu staf saya. Saya juga tidak mengetahui dan tidak terlibat sedikit pun dalam urusan perusahaan kargo bernama Aero Citra Kargo (ACK). Tuduhan bahwa saya terlibat mengatur dan turut menerima aliran dana adalah sesuatu yang amat dipaksakan dan keliru,” katanya.
Edhy pun membantah pernah menerima pemberian uang secara langsung dari pemberi suap, Suharjito. Ia mengakui melakukan pertemuan dengan Suharjito, tetapi pertemuan itu merupakan bentuk pemberian ruang kepada setiap masyarakat kelautan dan perikanan yang akan menemui dan mengajaknya berdiskusi demi kemajuan kelautan dan perikanan di Indonesia.
Terkait perintah kepada eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur untuk menyetor uang ke rekening bank garansi sebesar Rp 1.000 per ekor BBL, hal itu dilakukan untuk mengakomodasi potensi penerimaan negara bukan pajak atau PNBP ekspor benih lobster. Hal itu sebagai terobosan untuk membebankan pelaku usaha yang akan melakukan ekspor agar dapat memberikan penerimaan negara atas pengelolaan sumber daya lobster yang telah dilakukan.
”Perlu saya tegaskan sekali lagi bahwa bank garansi tersebut diperuntukkan sebagai penerimaan negara, bukan semata-mata untuk kepentingan saya pribadi ataupun jajaran di KKP,” ujar Edhy.
Dalam kesempatan tersebut, Edhy juga meminta maaf secara khusus kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang telah memberikan kepercayaan dalam menduduki sejumlah jabatan politik.
”Bila beberapa waktu lalu sempat ada berita bahwa ’Edhy adalah orang yang diambil Prabowo dari comberan’, saya katakan bahwa itu benar. Beliaulah (Prabowo) yang menyelamatkan saya di saat kondisi sedang terpuruk dan di saat harga diri sedang terdegradasi,” kata Edhy.
Edhy juga meminta maaf secara khusus kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang telah memberikan kepercayaan dalam menduduki sejumlah jabatan politik.
Sidang selanjutnya dengan agenda pembacaan putusan dijadwalkan pada Kamis (15/7/2021). ”Memerintahkan terdakwa hadir secara daring dengan memperhatikan Jakarta sedang dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat,” kata hakim ketua Albertus Usada yang didampingi hakim anggota Suparman Nyompa dan Ali Muhtarom.