Menjaga Kebebasan Sipil, Mendorong Literasi Digital
Ujaran kebencian dan informasi sesat menjadi masalah. Di sisi lain, kebebasan sipil di Indonesia perlu dijaga.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo berharap literasi digital tumbuh di Indonesia. Masyarakat mampu memanfaatkan internet untuk kegiatan edukatif dan produktif. Tantangan di ruang digital dinilai Presiden Jokowi semakin besar saat ini. Konten-konten negatif dan kejahatan di ruang digital terus bermunculan.
”Hoaks, penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian, dan radikalisme berbasis digital perlu terus diwaspadai karena mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya dalam peluncuran Program Literasi Digital Nasional, Kamis (20/5/2021).
Karena itu, untuk meminimalkan konten negatif dan membanjiri ruang digital dengan konten positif, diperlukan kecakapan digital semua masyarakat. Dengan demikian, perlu lebih banyak diciptakan konten-konten yang mendidik, menyejukkan, dan menyerukan perdamaian.
Program literasi digital nasional disebut sebagai bagian upaya percepatan transformasi digital khususnya terkait pengembangan sumber daya manusia digital. Salah satu gerakan yang diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika adalah Siberkreasi. Gerakan nasional literasi digital ini diharap mendorong lebih banyak konten positif di media sosial, alih-alih ujaran kebencian dan informasi bohong.
Perbaikan kualitas masyarakat dalam berinteraksi secara digital memang perlu. Akan tetapi, kebebasan sipil di ruang digital juga perlu dijaga. Sebagai negara demokrasi, prinsip kebebasan sipil dan hak azasi manusia semestinya tetap bisa dijamin termasuk di ruang digital.
Anita Wahid Co Founder Public Virtue Institute dalam diskusi bertajuk Penyempitan Ruang Kebebasan Internet - Peretasan Pemblokiran dan Penutupan Internet di Era Jokowi, Minggu (6/6/2021), menyebut Indonesia mengalami regresi demokrasi. Ruang publik untuk berbicara menyempit beberapa tahun terakhir ini.
Indonesia mengalami regresi demokrasi. Ruang publik untuk berbicara menyempit beberapa tahun terakhir ini. (Anita Wahid)
Dalam laporan Freedom House mengenai Status Kebebasan Global (Global Freedom Status) tahun 2021, Indonesia hanya masuk dalam kategori partly free alias separuh bebas. Skor keseluruhan Indonesia 59 dari total 100 untuk negara yang betul-betul menjaga kebebasan sipil. Beberapa negara yang mendapat skor 100 adalah Finlandia, Norwegia, dan Swedia.
Skor keseluruhan tersebut terdiri atas nilai kebebasan politik dan nilai kebebasan sipil. Indonesia mendapatkan 30 dari nilai tertinggi 40 untuk kebebasan politik. Untuk kebebasan sipil, Indonesia hanya mendapatkan 29 dari nilai tertinggi 60.
Direktur Eksekutif The Indonesia Institute Adinda Tenriangke Muchtar dalam diskusi bertajuk “Perlindungan dan Implementasi Kebebasan Berekspresi”, Rabu (23/6/2021) menjelaskan temuan riset kualitatifnya yang berisi rentannya pemidanaan kepada warga yang kritis karena relasi kuasa antara pemerintah dan warga.
Dalam riset TII sepanjang Januari sampai Mei 2021, ditemukan bahwa salah satu faktor yang memperumit adalah masyarakat yang terbelah akibat pilkada dan pemilu. Akibatnya, masyarakat mulai takut bersuara.
Penyempitan ruang-ruang digital ini, menurut Anita Wahid, salah satunya dilakukan melalui operasi informasi. Strategi-strategi ini dipergunakan untuk menciptakan tujuan tertentu seperti perubahan perilaku atau persepsi penerima pesan, penurunan partisipasi dari kelompok yang berseberangan, atau berkurangnya kualitas ekosistem komunikasi.
”Ada banyak strategi dan taktik yang dipergunakan secara massif di Indonesia, juga di dunia seperti penggunaan fitnah, doxing, cracking, pembocoran dokumen,” tuturnya.
Banyaknya isu talibanisme dan radikalisme yang dikaitkan dengan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu cara untuk membentuk persepsi tertentu. Selain itu, pengambilalihan akun-akun media sosial para pegawai KPK dan aktivis pemberantasan korupsi menjadi contoh serangan yang terjadi.
Jadi, selain membanjiri dunia maya dengan narasi yang diinginkan, strategi serangan yang terjadi antara lain kampanye untuk menjelekkan orang lain, mengintimidasi, membocorkan data dan dokumen, sampai peretasan akun.
Selain membanjiri dunia maya dengan narasi yang diinginkan, strategi serangan yang terjadi antara lain kampanye untuk menjelekkan orang lain, mengintimidasi, membocorkan data dan dokumen.
Untuk itu, kata Anita, keresahan menyempitnya kebebasan di ruang digital ini perlu disuarakan. Dengan demikian, pengambil kebijakan mampu mendengarnya. Tak hanya itu, semakin banyak orang akan berusaha melihat substansi masalah.
Salah satu cara untuk betul-betul melindungi kebebasan sipil, menurut Adinda, adalah dengan merevisi pasal-pasal multitafsir dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan demikian, aparat penegak hukum mampu menjalankan hukum tanpa interpretasi sendiri.
Sementara pemerintah memproses rencana revisi aturan perundangan tersebut, pedoman implementasi untuk pasal-pasal yang dinilai bermasalah diterbitkan pada Rabu (23/6/2021). Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE ditandatangani Menkominfo Johny G Plate, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung Santiar Burhanuddin serta disaksikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di kantor Kementerian Koordinator Polhukam, Jakarta.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo dalam diskusi daring yang diselenggarakan The Indonesia Institut, pada Rabu (23/6/2021) lalu, mengatakan, selain pedoman tersebut, Kemenkominfo menyiapkan program-program untuk mendorong aparat penegak hukum memiliki perspektif hak azasi manusia (HAM). Contohnya, bersama Kejaksaan Agung, Kemenkominfo akan mengadakan program tersebut untuk 19.000 jaksa.
Kendati langkah tersebut patut diapresiasi, mengawal proses revisi UU ITE menjadi agenda berikut. ”Sebaiknya tidak berhenti di SKB (Surat Keputusan Bersama tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE), tetapi revisi UU ITE harus dikawal. Sisanya, mendorong pemahaman dan perspektif HAM di aparat penegak hukum,” tutur Adinda.