PPKM Darurat, Hakim Agung Wajib Bekerja dari Rumah
Berdasarkan data Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), dalam sepekan terakhir terdapat 8 hakim yang meninggal dunia setelah terpapar Covid-19. Selain itu, ada 175 aparat pengadilan di MA yang terpapar Covid-19.
Oleh
SUSANA RITA KUMALA SANTI, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung atau MA mewajibkan semua hakim agung dan hakim agung ad hoc untuk bekerja dari rumah. Kebijakan ini dikeluarkan Ketua MA Mohammad Syarifuddin mengingat para hakim agung dan hakim agung ad hoc berada dalam kategori usia rentan tertular Covid-19.
Perkecualian hanya bagi para hakim agung dan hakim agung ad hoc yang harus menghadiri sidang musyawarah ucapan dalam hal terdapat perbedaan pendapat yang perlu dimusyawarahkan lebih lanjut.
Hal itu tertuang di dalam Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengaturan Pola Kerja bagi Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc pada MA pada masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang diterbitkan 5 Juli ini. Seperti diketahui, PPKM darurat Covid-19 berlangsung sejak 3 Juli lalu hingga 20 Juli mendatang.
Berdasarkan data Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), dalam sepekan terakhir terdapat 8 hakim yang meninggal dunia setelah terpapar Covid-19. Selain itu, ada 175 aparat pengadilan di MA yang terpapar Covid-19.
Selain mengatur pola kerja hakim agung, MA juga menerbitkan Surat Edaran MA No 1/2021 tentang Penerapan PPKM Darurat di lingkungan MA dan badan peradilan di bawahnya. Di dalamnya disebutkan, hakim dan aparat pengadilan yang bertugas di wilayah Jawa-Bali dengan status level 3 dan 4 berdasarkan Instruksi Mendagri No 15/2021 melaksanakan bekerja dari kantor maksimal 25 persen dari keseluruhan hakim dan aparat pengadilan.
”Menunda semua kegiatan yang bersifat mengumpulkan orang di lokasi tertentu dan perjalanan ke luar kota, baik dinas maupun nondinas, selama periode PPKM darurat, kecuali yang bersifat mendesak dengan mendapatkan izin terlebih dulu dari pimpinan satuan kerja,” demikian tertulis dalam Surat Edaran MA yang ditandatangani Sekretaris MA Hasbi Hasan pada 5 Juli.
Para pemimpin satuan kerja diwajibkan melakukan pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan secara ketat terhadap hakim atau aparat yang bekerja dari kantor.
Kebijakan dipertanyakan
Salah satu pengurus pusat Ikahi, Djuyamto, mengatakan, Surat Edaran MA tersebut sayangnya belum menjawab bagaimana praktik bekerja dari rumah bagi hakim dalam konteks persidangan dikaitkan dengan Peraturan MA mengenai sidang pidana online. Apalagi, pengadilan termasuk ke dalam sektor kritikal dalam PPKM darurat yang memberikan pelayanan kepada publik.
”Pertanyaan mendasarnya adalah apakah boleh hakim sidang dari rumah? Kalau menurut Perma (Peraturan MA), sidang kan tidak boleh dari rumah. Kalau sidang tidak boleh dari rumah, konsekuensi berikutnya, kan, hakim yang sidang di kantor perlu supporting unit untuk menyiapkan ruang sidang dan sebagainya. Artinya, pegawai non-hakim juga harus WFO (bekerja dari kantor),” ujarnya.
Djuyamto yang juga dari Humas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara (Jakut) mengungkapkan, sejak 1 Juli, hakim dan pegawai PN Jakut melaksanakan WFH mengingat ada 13 aparat pengadilan, termasuk dua hakim, terpapar Covid-19. PN Jakut menunda semua layanan pengadilan, kecuali untuk perkara pidana yang masa penahanan terdakwanya hampir habis. Untuk perkara-perkara yang demikian, sidang tetap digelar sesuai dengan jadwal.
”Sidang tetap di ruang sidang pengadilan khusus untuk perkara pidana yang masa penahanannya sudah mau habis. Sedangkan perkara pidana yang masa penahanannya masih panjang ditunda,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Bambang Nurcahyono dari Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengatakan, SEMA No 1/2021 sudah diterima pada Senin sore. Namun, belum ada arahan khusus dari Ketua PN Jakpus terkait dengan aturan teknisnya. Kemungkinan, Ketua PN akan membuat surat edaran keputusan pengaturan kerja selama PPKM darurat 3-20 Juli 2021, Selasa (6/7/2021).
”Namun, sejak penetapan PPKM darurat kemarin oleh Presiden, Ketua PN memberikan kesempatan kepada hakim yang menangani perkara untuk mengatur jadwal persidangan. Sebab, yang paling mengetahui perkara, termasuk sisa masa penahanan, adalah majelis hakim yang menangani,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, selama kebijakan PPKM darurat berlangsung, hakim berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengatur ulang jadwal persidangan. Untuk perkara yang masa penahanannya masih lama, sidang ditunda sampai PPKM berakhir.
Bambang juga sepakat bahwa SEMA memang mengatur pembagian kerja hakim dan pegawai di pengadilan maksimal 25 persen. Namun, secara teknis, hal itu sulit dilakukan. Sebab, ketika hakim tetap bersidang di pengadilan, ada banyak pihak yang dilibatkan untuk jalannya agenda, yaitu jaksa, terdakwa, kuasa hukum, panitera, hingga pegawai teknis di pengadilan. Ketika sidang berkaitan dengan tokoh publik atau isu kepentingan publik, kerumunan pun tak dapat dihindarkan.
”Untuk teman pegawai yang di bagian administrasi atau pelayanan publik, sudah diatur pembagian 25 persen bekerja dari rumah (WFH) dan 75 persen bekerja dari kantor (WFO),” kata Bambang.