Cegah Spekulan, Polri Awasi Perdagangan Antibiotik untuk Pasien Covid-19
Kepolisian tidak akan ragu menindak tegas distributor dan penjual yang menimbun dan menaikkan harga obat-obatan yang dibutuhkan warga yang terinfeksi Covid-19. Hal ini untuk menjamin agar warga dapat menjangkaunya.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan kasus Covid-19 diikuti dengan potensi kelangkaan obat yang digunakan untuk para pasien dan aksi spekulan menaikkan harga obat tersebut. Untuk itu, Polri mengawasi peredaran obat-obatan terkait, mulai dari sisi produksi, distribusi, hingga penjualan secara daring.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono di Jakarta, Senin (5/7/2021), mengatakan, perdagangan antibiotik yang digunakan selama pandemi Covid-19 secara daring saat ini diawasi kepolisian. Pihaknya mengawasi aktivitas para penjual daring untuk mengantisipasi kelangkaan dan permainan harga obat tersebut.
Pihak kepolisian tidak akan ragu ataupun segan melakukan tindakan tegas kepada distributor dan oknum penjual nakal lainnya apabila melakukan penimbunan dan menaikkan harga yang tidak wajar. Siapa saja yang melanggar akan segera ditindak. (Argo Yuwono)
Selain itu, hari ini pihaknya juga mulai mengawasi pabrik pembuat obat termasuk jalur distribusinya. Hal ini dilakukan untuk mencegah penimbunan serta adanya harga jual yang lebih tinggi ketimbang harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah.
”Pihak kepolisian tidak akan ragu ataupun segan melakukan tindakan tegas kepada distributor dan oknum penjual nakal lainnya apabila melakukan penimbunan dan menaikkan harga yang tidak wajar. Siapa saja yang melanggar akan segera ditindak,” kata Argo.
Ia melanjutkan, pelanggar akan dijerat pasal yang sesuai dengan unsur pelanggaran yang dilakukan. Hingga hari ketiga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, pihaknya masih mengevaluasi jenis dan jumlah pelanggaran yang terjadi.
Mengenai penjualan obat-obatan dan alat kesehatan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga telah menerbitkan Surat Telegram terkait penegakan hukum di masa PPKM Darurat di wilayah Jawa dan Bali.
Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, pelanggaran terkait jual beli obat-obatan selama pandemi Covid-19 akan dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut, pelanggar terancam hukuman penjara lima tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.
Dalam Surat Telegram No ST/1373/VII/H.U.K/7.1./2021, seluruh Kepala Polda diminta untuk mengawasi kepatuhan semua pihak dalam menjalankan PPKM darurat dan mengendalikan HET obat pada masa pandemi Covid-19. Menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku usaha yang menimbun dan menjual obat di atas HET sehingga masyarakat sulit mendapatkan obat dan alat kesehatan.
Pelanggaran terkait jual beli obat-obatan selama pandemi Covid-19 akan dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut, pelanggar terancam hukuman penjara lima tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.
Listyo juga meminta Kapolda melakukan penegakan hukum terhadap tindakan yang menghambat pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19, termasuk terkait penyebaran berita bohong atau hoaks. Selain itu, Kapolda diminta mempelajari, memahami, dan berkoordinasi dengan kejaksaan dalam penerapan pasal-pasal yang dapat dikenakan pada pelaku tindak pidana di masa pandemi Covid-19.
Terakhir, Kapolda diminta melaporkan hasil kegiatannya kepada Kapolri melalui Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komisaris Jenderal Agus Andrianto.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan telah menetapkan HET 11 jenis obat yang digunakan selama pandemi. Kesebelas obat itu di antaranya Favipiravir 200 miligram (mg) dengan HET Rp 22.500, Remdesivir 100 mg injeksi dengan harga Rp 510.000 per vial, Oseltamivir 75 mg kapsul sebesar Rp 26.000 per kapsul, Intraveeous Immunoglobulin 5 persen 50 mililiter infus Rp 3.262.300 per vial, dan Intraveneous Immunoglobulin 10 persen 25 ml infus Rp 3.965.000 per vial.
Selain itu, obat lain yang harga eceran tertingginya diatur yakni Intraveneous Immunoglobulin 10 persen 50 ml infus Rp 6.174.900 per vial, Ivermectin 12 mg Rp 7.500 per tablet, Tocilizumab 400 mg per 20 ml infus Rp 5.710.600 per vial, Tocilizumab 80 mg per 4 ml infus Rp 1.162.200 per vial, Azithromycin 500 mg Rp 1.700 per tablet, dan Azithromycin 500 mg infus Rp 95.400 per vial.
“Harga eceran tertingi atau HET ini merupakan harga jual tertinggi obat di apotek, instalasi farmasi, rumah sakit, klinis, dan fasilitas kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kompas.id (3/7/2021).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan mengatakan, penetapan harga obat ini harus diikuti dengan pengawasan dan tindak tegas bagi para pelanggar. Di tengah lonjakan penularan Covid-19, aksesibilitas terhadap obat tidak boleh dipersulit.