Pemerintah Tetapkan Harga Tertinggi Obat Terkait Covid-19
Pemerintah menetapkan harga 11 obat yang digunakan terkait Covid-19 selama pandemi. Penetapan ini perlu disertai dengan pengawasan agar akses masyarakat pada produk obat tersebut dipastikan tidak terkendala.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menetapkan harga eceran tertinggi obat yang digunakan dalam masa pandemi Covid-19. Setidaknya terdapat 11 produk obat yang harganya telah ditetapkan.
Kesebelas obat itu yakni Favipiravir 200 miligram (mg) dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 22.500, Remdesivir 100 mg injeksi dengan harga Rp 510.000 per vial, Oseltamivir 75 mg kapsul sebesar Rp 26.000 per kapsul, Intraveeous Immunoglobulin 5 persen 50 mililiter infus Rp 3.262.300 per vial, dan Intraveneous Immunoglobulin 10 persen 25 ml infus Rp 3.965.000 per vial.
Selain itu, obat lain yang harga eceran tertingginya diatur yakni Intraveneous Immunoglobulin 10 persen 50 ml infus Rp 6.174.900 per vial, Ivermectin 12 mg Rp 7.500 per tablet, Tocilizumab 400 mg per 20 ml infus Rp 5.710.600 per vial, Tocilizumab 80 mg per 4 ml infus Rp 1.162.200 per vial, Azithromycin 500 mg Rp 1.700 per tablet, dan Azithromycin 500 mg infus Rp 95.400 per vial.
“Harga eceran tertingi atau HET ini merupakan harga jual tertinggi obat di apotek, instalasi farmasi, rumah sakit, klinis, dan fasilitas kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Sabtu (3/7/2021).
Ia menyampaikan, jenis obat-obatan tersebut merupakan obat yang sering digunakan dalam masa pandemi Covid-19. Penetapan harga tertinggi ini diharapkan dapat menjamin keterjangkauan harga obat sebagai upaya memenuhi akuntabilitas dan transparasi kepada masyarakat.
Harga eceran tertingi atau HET ini merupakan harga jual tertinggi obat di apotek, instalasi farmasi, rumah sakit, klinis, dan fasilitas kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia. (Budi Gunadi Sadikin)
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan menyampaikan, penetapan harga obat ini juga harus disertai dengan pengawasan dan tindak tegas bagi para pelanggar. Di tengah kondisi penularan Covid-19 yang terus melonjak ini, aksesibilitas masyarakat terhadap obat tidak boleh dipersulit.
“Untuk akses pada oksigen sekarang sudah sulit jangan sampai itu ditambah lagi dengan persoalan yang tidak perlu seperti harga obat yang tidak wajar dan terlalu tinggi. Dalam keadaan darurat, jangan ragu untuk tegas pada produsen atau distributor obat yang bermain-main dengan harga,” tuturnya.
Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (WHO SEARO) Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, penggunaan Ivermectin dalam terapi bagi pasien Covid-19 tidak bisa sembarangan.
Dari analisis yang sudah dilakukan, obat ini juga masih menunjukkan kepastian yang sangat rendah (very low certainty). Hal itu karena metodologi penelitian masih terbatas serta jumlah sampel dan kejadian yang dianalisis juga masih terbatas.
Badan penelitian dan pengembangan di Amerika Serikat, National Institute of Health, pun menyatakan belum ada data yang cukup untuk memutuskan Ivermectin bisa digunakan ataupun tidak dalam pengobatan Covid-19. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) bahkan tidak menyetujui penggunaan Ivermectin untuk pengobatan dan pencegahan Covid-19.
WHO pada 31 Maret 2021 telah menyatakan bahwa obat yang biasa digunakan sebagai antiparasit tersebut hanya bisa dipakai untuk mengobati Covid-19 dalam konteks penelitian uji klinik. ”Bukti ilmiah tentang penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien Covid-19 masih inconclusive (belum meyakinkan) sehingga sampai ada data lain yang lebih memadai, WHO hanya merekomendasi penggunaannya pada kerangka uji klinik,” tutur Tjandra.