Memastikan Ketersediaan Obat dan Alkes pada Masa Pandemi
Obat dan berbagai alat kesehatan agar tetap tersedia di fasilitas layanan kesehatan. Masa pandemi Covid-19 tidak menjadi alasan untuk bisa mengendurkan penyediaan ini.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Obat dan alat kesehatan perlu dipastikan tetap tersedia sesuai dengan jumlah dan jenis yang dibutuhkan, baik untuk layanan Covid-19 maupun non-Covid-19. Karena itu, manajemen tata kelola obat dan alat kesehatan pun perlu diperkuat.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Dorojatun Sanusi mengatakan, pemerintah perlu memastikan ketersediaan obat terkait Covid-19 dan non-Covid-19 tetap terjamin di masa pandemi. Selain itu, konsumsi obat kronis non-Covid-19 juga harus berjalan dengan baik agar kesehatan masyarakat tetap terjaga.
”Sebagai produsen produk farmasi, kami sampai saat ini belum mendapatkan informasi yang nyata dan terbuka terkait berapakah kebutuhan-kebutuhan dari obat-obatan, khususnya obat untuk penanganan Covid-19. Jadi, kami hanya men-supply sebisa kami. Padahal, menarik jika kita tahu berapa kebutuhannya sehingga bisa dipersiapkan dengan baik,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR RI, di Jakarta, Senin (22/3/2021).
Perbaikan manajemen tata kelola obat telah dilakukan pada masa pandemi. Itu mulai dari proses pemilihan dan seleksi obat, perencanaan dan pembiayaan obat, pengadaan, distribusi, penggunaan pelayanan kesehatan, serta monitoring dan evaluasi.
Dalam rapat tersebut hadir pula Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari, Wakil Ketua Komite Nasional Penyusunan Formulariun Nasional Rianto Setiabudy, dan Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy H Teguh.
Dorojatun menambahkan, katalog elektronik (e-catalog) untuk pengadaan obat pada periode 2021-2022 harus segera ditayangkan agar tidak terjadi kelangkaan obat-obatan pada program Jaminan Kesehatan Nasional di fasilitas kesehatan. Kelancaran pembayaran ke distributor farmasi oleh pemerintah juga perlu dipastikan. Setidaknya, piutang program JKN masih ada sekitar Rp 4 triliun yang belum dibayarkan dan tunggakan klaim pasien Covid-19 di rumah sakit masih sekitar Rp 1 triliun.
Terkait dengan kesiapan pengadaan alat kesehatan di masa pandemi, Randy mengatakan, kebutuhan alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 bukan hanya alat khusus Covid-19 seperti reagen PCR dan ventilator. Kebutuhan itu termasuk jarum suntik, tempat penampung jarum suntik bekas, serta alat untuk memantau pasien.
Dengan banyaknya kebutuhan alat kesehatan itu, ia berharap agar keberadaan alat kesehatan di dalam katalog elektronik bisa lebih banyak dicantumkan. Dengan begitu, pengadaan barang bisa lebih mudah serta harga yang ditawarkan lebih terjamin. Apalagi, dalam kondisi pandemi, banyak produsen bahan baku menaikkan harga.
”Apabila katalog elektronik terbatas untuk menerima jumlah produk yang lebih besar, alternatif penggunaan sistem pengadaan apa pun yang ditetapkan pemerintah bisa digunakan. Yang penting, arahan, kejelasan, dan transparansi diberikan ke pelaku usaha agar tidak terjadi masalah di kemudian hari,” tutur Randy.
Berdasarkan data dari Lembaga Kajian Pengadanaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) per 21 Maret 2021, jumlah alat kesehatan yang sudah tayang di katalog elektronik sebanyak 6.793 alat termasuk di antaranya 190 alat kesehatan untuk Covid-19 dan tiga ventilator produk inovasi nasional. Sementara itu, sebanyak 13.291 alat kesehatan telah selesai dievaluasi dan negosiasi serta 33.138 alat kesehatan masih dalam proses evaluasi dan negosiasi.
Abdul Kadir menuturkan, sejumlah kendala yang dihadapi dalam proses evaluasi alat kesehatan yang didaftarkan ke LKPP, antara lain, yakni keterbatasan akses tatap muka dalam evaluasi dokumen akibat pandemi, beragamnya jenis dari alat kesehatan dengan jumlah yang besar, serta adanya pembatasan jenis produk yang bisa dimasukkan dalam katalog elektronik. ”Aplikasi yang disediakan LKPP juga masih sering down sehingga proses untuk memasukan alat kesehatan ke e-catalog jadi terhambat,” ucapnya.
Persediaan obat
Arianti Anaya mengatakan, perbaikan manajemen tata kelola obat telah dilakukan di masa pandemi. Itu mulai dari proses pemeilihan dan seleksi obat, perencanaan dan pembiayaan obat, pengadaan, distribusi, penggunaan pelayanan kesehatan, serta monitoring dan evaluasi. Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan juga telah menyiapkan buffer stock atau persediaan cadangan obat di tingkat pusat dan daerah. Ini diperlukan untuk memenuhi keadaan darurat atau kekosongan obat, terutama obat penanganan Covid-19.
Obat yang menjadi cadangan persediaan tersebut sudah didistribusikan ke 34 dinas kesehatan di 885 rumah sakit. Adapun jenis obat penanganan Covid-19 yang sudah didistribusikan, meliputi, 8,7 juta Oseltamivir kapsul, 8,6 juta Favipiravir tablet, 372.502 redemsivir, 12,1 juta Azylthromicin tablet, 41.220 Azythromicin injeksi, dan 192.375 vitamin C injeksi.
”Kebutuhan obat penanganan Covid-19 tahun 2021 telah disusun atas asumsi jumlah kasus positif tahun 2021 sebesar 1,7 juta orang. Penghitungan itu disusun bersama lintas program dan organisasi terkait berdasarkan penanganan kasus di rumah sakit. Jenis obat yang diadakan pun sesuai dengan pedoman tata laksana Covid-19,” kata Arianti.
Ia menambahkan, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kinerja jejaring logistik sehingga kebutuhan logistik obat penanganan Covid-19 dapat segera terpenuhi. Pemantauan ketat dalam pelaksanaan pengadaan sampai barang diterima fasilitas kesehatan juga dilakukan untuk memastikan ketepatan jadwal pengadaan.
”Obat-obatan penanganan Covid-19 telah didorong untuk dimuat dalam katalog sehingga bisa meningkatkan kecepatan pengadaan dan kemudahan pemenuhan kebutuhan fasilitas layanan kesehatan,” tuturnya.
Insentif
Kirana menyampaikan, pemerintah kini telah memperbaiki petunjuk teknis pembayaran insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani Covid-19. Perbaikan itu antara lain, aturan pemberian insentif yang disederhanakan dari dua Keputusan Menteri Kesehatan menjadi satu keputusan. Insentif pun kini akan ditransfer langsung ke rekening tenaga kesehatan, sedangkan sebelumnya harus melalui fasilitas kesehatan terlebih dahulu.
Pengusulan insentif bagi peserta PPDS (program pendidikan dokter spesialis), PIDI (pembekalan program internship dokter Indonesia), dan sukarelawan akan dialihkan ke fasilitas kesehatan. Sebelumnya usulan tersebut diserahkan pada Dekan Fakultas Kesehatan dan Badan PPSDM Kesehatan.
”Untuk insentif tenaga kerja tahun 2021 telah dilakukan upaya perbaikan petunjuk teknis dengan proses pengajuan anggaran sejak 21 Januari 2021. DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) pada tanggal 19 Februari telah ditetapkan ada tambahan sebesar Rp 5,3 triliun dengan blokir Rp 1,4 triliun untuk tunggakan tahun 2020,” ujarnya.