Laju penularan Covid-19 kian tak terkendali. Pembatasan kegiatan masyarakat secara lebih ketat lalu diterapkan di puluhan daerah. Saat bersamaan, ada api yang terus ”menyala” menggalang solidaritas bersama.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Ledakan kasus Covid-19 di Indonesia terjadi beberapa pekan ini, salah satunya diperkirakan akibat mobilitas warga yang tinggi saat libur Lebaran. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 bahkan menyebut Indonesia telah memasuki gelombang kedua (second wave) kenaikan kasus Covid-19.
Dampak gelombang kedua ini terasa setelah angka kematian akibat Covid-19 meningkat. Para tenaga kesehatan mulai kewalahan karena antrean pasien seakan tak pernah berhenti. Tanda ”darurat” pun digaungkan. Di tengah situasi darurat itu, sebagian masyarakat tergerak hatinya untuk menolong sesama mereka yang terpapar Covid-19. Tentunya gerakan itu murni atas nama kemanusiaan.
Dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Pandemi Darurat, Solidaritas Menguat” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (30/6/2021) malam, Koordinator Relawan Siaga Ambulans (Sibulan) Rifky mengatakan, Sibulan yang terdiri atas berbagai komunitas terus membantu pasien-pasien yang mayoritas berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Mereka dapat diantar-jemput dari rumah sakit atau sebaliknya secara gratis.
”Apa pun agama mereka, apa pun sukunya, yang kami pikirkan adalah bagaimana caranya si pasien bisa kami bantu, teratasi dalam segi pengantaran,” ujar Rifky.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu turut menghadirkan sejumlah narasumber yang tersambung melalui telekonferensi video, yakni inisiator Sambatan Jogja (Sonjo) Rimawan Pradiptyo, Ketua Umum Gerakan Sejangkauan Tangan Endri Sulistyo, dan inisiator platform Laporcovid-19 Irma Hidayana.
Hadir pula secara virtual, Duta Besar RI untuk Singapura Suryopratomo; Dubes Indonesia untuk Vietnam Denny Abdi; epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman; dan wartawan sains Kompas, Ahmad Arif.
Belakangan ini, Rifky mengakui, Sibulan agak kesulitan mencari rumah sakit bagi pasien Covid-19 karena kondisi rumah sakit penuh. Alhasil, pihaknya hanya dapat membantu mencarikan kamar isolasi.
Sementara itu, Sonjo memiliki cara lain dalam membangun solidaritas di tengah pandemi. Rimawan Pradiptyo menyampaikan, Sonjo beberapa kali bekerja sama dengan rumah sakit untuk menggalang donor plasma konvalesen dari para penyintas Covid-19 untuk pasien Covid-19.
Lebih dari itu, Sonjo juga gencar membangun shelter di desa untuk orang yang tidak bergejala. Kemudian, shelter kabupaten juga dibangun untuk menampung orang yang bergejala ringan.
”Harapannya, rumah sakit hanya mengurusi yang (gejala) menengah sampai berat atau kritis. Sebab, kalau semua orang masuk rumah sakit, rumah sakit kita pasti akan enggak kuat,” ucap Rimawan.
Irma Hidayana bercerita, Laporcovid-19 digagas untuk mendata semua kejadian terkait pandemi. Sebab, ia melihat persoalan data ini menjadi tantangan yang cukup besar. Belakangan, dua minggu terakhir, Laporcovid-19 juga ikut membantu masyarakat mencari akses ke rumah sakit dan tempat isolasi mandiri.
Sementara Gerakan Sejangkauan Tangan juga tak lepas dari aksi solidaritas sejak awal pandemi melanda. Gerakan ini diinisasi pada 8 April 2020. Dengan sumbangan semampunya dari para donatur, para sukarelawan membeli sayuran dari para petani. Sayur tersebut kemudian disangkutkan di pagar-pagar yang mudah diakses oleh masyarakat yang membutuhkan.
Memiliki keterbatasan
Namun, para kelompok sipil ini dihadapkan pada pandemi yang tak kunjung usai. Apalagi, Indonesia terus bergonta-ganti kebijakan dalam menangani pandemi ini. Terakhir, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang akan diterapkan di 122 kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Pulau Bali mulai 3-20 Juli 2021.
Ahmad Arif mengatakan, respons kelompok sipil tidak bisa dipisahkan dengan respons pemerintah terhadap penanganan pandemi. Aksi solidaritas mereka tentu memiliki limitasi, apalagi ketika mereka melihat pemerintah tidak konsisten dalam kebijakan penanganan pandemi.
”Pasti ada keterbatasannya, pasti akan kewalahan juga. Jangan sampai yang terjadi adalah hancurnya benteng pertahanan terakhir kita, yaitu solidaritas sosial. Dan, sebenarnya yang memiliki power (kekuatan) lebih adalah pemerintah yang bisa menggerakkan seluruh aparat, seluruh dana, dan seterusnya,” tutur Arif.
Dicky Budiman mengingatkan, saat ini merupakan fase kritis bagi Indonesia. Lonjakan kasus Covid-19 sudah diprediksi sejak Januari 2021 dan potensi lebih buruk ada di depan mata karena kehadiran varian Delta.
Karena itu, pemerintah harus serius menangani lonjakan kasus kali ini. Aturan PPKM darurat harus mencerminkan respons situasi yang benar-benar darurat. Artinya, ada respons yang cepat, tepat, berbasis ilmiah, serta ada konsistensi antara pemerintah pusat dan daerah.
Perbandingan negara lain
Suryopratomo menuturkan, sebenarnya Indonesia dan Singapura memiliki pendekatan yang sama dalam pengendalian pandemi Covid-19, yaitu ”rem dan gas”. Saat kasus meningkat pada April-Mei 2020, Singapura menerapkan circuit breaker measures. Alhasil, pada Juni 2020, angka kasus di negara tersebut menurun drastis.
Keberhasilan Singapura ini, salah satunya, tak terlepas dari kemampuan pemimpinnya dalam memberikan contoh. Ketika pejabat meminta masyarakat tetap tinggal di rumah, semua pejabat Singapura juga melakukan itu.
Denny Abdi mengungkapkan, pola pendekatan antara Indonesia dan Vietnam pun tidak jauh berbeda. Pola ”gas dan rem” juga diterapkan. Namun, keberhasilan Vietnam dalam menangani Covid-19 merupakan buah kedisiplinan masyarakatnya untuk mematuhi protokol kesehatan. Cara ini dianggap berhasil meredam kasus di Vietnam sehingga fasilitas kesehatan tidak kewalahan.
”Jadi, tidak ada debat, tidak ada ngeyel-ngeyelan di lapangan. Petugas-petugas itu kelliling naik mobil, pakai toa, ngasih tahu, kemudian secara serentak masyarakat ikut apa yang disampaikan pemerintah,” ucap Denny.
Meski demikian, karakter masyarakat di suatu negara berbeda-beda. Sistem pemerintahan di setiap negara pun berbeda-beda. Namun, Dicky menegaskan, Indonesia memiliki karakter asli yang tak dimiliki negara-negara lain, yakni jiwa gotong royong.
”Jadi, harapannya sekarang ini, bagaimana kita membangun perasaan yang sama ini. Kita sepakat, untuk saat ini, untuk Indonesia, kita perlu merapatkan barisan, meningkatkan solidaritas. Indonesia memiliki sesuatu yang bagus, yang Vietnam atau negara lain tidak punya, yaitu civil society yang sangat aktif,” kata Denny.