Kapolri: Polri Terus Berusaha Mendekatkan Diri dengan Masyarakat
Dalam wawancara khusus dengan ”Kompas”, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo memaparkan langkah-langkah yang ditempuh untuk terus memperbaiki citra Polri di mata publik. Hal yang tidak mudah, menurut Listyo.
Di usia yang ke-75 tahun, institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia terus berupaya memperbaiki diri dan berbenah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Di bawah konsep polisi Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) yang dibangun oleh Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Polri mengembangkan pendekatan-pendekatan baru yang adaptif terhadap teknologi informasi dan juga mengedepankan pendekatan keadilan restoratif.
Upaya itu terlihat membuahkan hasil. Dari jajak pendapat yang digelar oleh Kompas, Januari 2021, citra Polri mendapatkan apresiasi positif dari publik. Sebanyak 71 persen responden jajak pendapat menilai baik citra Polri. Jika dibandingkan dengan jajak pendapat pada 2015, ada peningkatan apresiasi positif dari masyarakat. Pada 2015, hanya 62,3 persen responden yang menganggap citra baik Polri.
Bagaimana Polri mempertahankan citra baik tersebut? Upaya apa saja yang dilakukan untuk terus merawat kepercayaan publik itu? Berikut petikan dari wawancara khusus Kompas dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo pada Rabu (30/6/2021).
Sejak dilantik menjadi Kapolri pada 27 Januari 2021, langkah apa saja yang pertama dilakukan untuk meningkatkan kinerja Polri sekaligus meningkatkan citra Polri di mata publik?
Sebelum dilantik, pada saat saya mendapatkan surat persetujuan dari Presiden Joko Widodo untuk menjadi calon Kapolri, kemudian dilanjutkan proses uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, saya sudah mulai mengecek hasil-hasil survei oleh lembaga survei untuk mengetahui terlebih dulu bagaimana masyarakat melihat polisi.
Tidak hanya sisi baiknya, tetapi juga sisi yang mungkin menurut masyarakat berisiko mengurangi kepercayaan masyarakat kepada kepolisian. Kemudian pengalaman saya menjadi Kapolda, Kadiv Propam, dan Kabareskrim, sering juga bertemu dengan masyarakat untuk berbicara dari hati ke hati. Saya ingin tahu versi masyarakat tentang potret polisi.
Dari hal-hal itulah, kami membuat suatu rencana ataupun strategi yang kemudian menjadi konsep kami yang dipaparkan saat uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, yakni mewujudkan transformasi polisi menjadi polisi yang Presisi.
Baca juga : Polri Presisi Perlu Perubahan Besar
Apa sebenarnya kekuatan dan kelemahan Polri di mata publik, yang dilihat dari hasil survei ataupun interaksi dengan masyarakat tersebut? Kemudian seperti apa strateginya untuk memperbaiki kelemahan yang ada?
Hal yang tidak disukai salah satunya ketika Polri diberikan kewenangan, tetapi kewenangan itu disalahgunakan. Terutama di etalase-etalase yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, pelayanan polisi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, dan penegakan hukum yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Di situ banyak hal harus kami perbaiki.
Walaupun di sisi lain juga banyak apresiasi dari masyarakat, terutama dari pengungkapan kasus-kasus besar, seperti teror bom, dan pengungkapan kasus narkoba dalam jumlah besar.
Dari sisi pandangan masyarakat yang masih negatif itu, kemudian kami mengetahui hal-hal yang harus diperbaiki. Dari sisi itu, kami melihat kecenderungan anggota-anggota kami saat melaksanakan tugas di lapangan dan menegakkan hukum memang berisiko menyalahgunakan kewenangannya apabila tidak terjaga komitmen dan integritasnya. Kita bsia menyebut pungli dan sebagainya yang sering muncul di lapangan. Ini menjadi potret tidak baik buat kami.
Maka, hal-hal tersebut kami coba perbaiki dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Seperti apa konkretnya?
Salah satunya, kami mencoba mengubah salah satu tugas yang disoroti oleh masyarakat, yakni penegakan hukum lalu lintas. Dari yang biasanya kami memberikan tilang manual kini diubah dengan penegakan hukum menggunakan perangkat teknologi informasi.
Dengan demikian, interaksi langsung antara masyarakat dan kepolisian hanya untuk mengurai permasalahan-permasalahan di lapangan, seperti ketika ada kemacetan. Adapun untuk hal-hal yang berisiko menimbulkan penyalahgunaan wewenang itu kami ubah dengan sistem dan pemanfaatan teknologi informasi.
Upaya itu kami harapkan bisa menampilkan anggota-anggota kami di lapangan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.
Bagaimana dengan penegakan hukum yang juga masih kerap dianggap bermasalah oleh sebagian publik?
Dalam penegakan hukum, masyarakat menginginkan permasalahan sejumlah kasus diselesaikan dengan musyawarah, kami tentu memberikan ruang untuk itu. Itu yang kami sebut dengan restorative justice (keadilan restoratif), yaitu mewujudkan rasa keadilan dari masyarakat, sehingga tidak muncul lagi kakek-nenek, orang tua, dipenjarakan anaknya. Tentu itu dilakukan dengan memberikan ruang restorative justice.
Kami mengingatkan kepada anak buah kami untuk memberikan ruang keadilan bagi kedua belah pihak. Ruang mediasi itu selalu kami berikan. Kami juga mengingatkan agar anak buah kami jangan sampai menggunakan ruang restorative justice untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Kami melarang hal-hal yang bersifat transaksional. Memang tidak mudah, tetapi kami harus mengubahnya.
Apakah kebijakan untuk menarik sebagian kewenangan kepolisian sektor ke kepolisian resor juga bagian dari upaya memperbaiki penegakan hukum?
Ya, polsek (kepolisian sektor) di wilayah-wilayah tertentu jumlah anggotanya terbatas. Ini ternyata memunculkan masalah. Oleh karena itu, kami mencoba mengubah beberapa polsek yang tadinya punya kewenangan penegakan hukum sekarang hanya melakukan penegakan ketertiban masyarakat. Adapun peran penegakan hukumnya kami tarik ke polres (kepolisian resor).
Dengan demikian, polsek lebih banyak melakukan tugas-tugas problem solver. Kalau ada masalah, dia datang dan melayani. Kecuali polsek punya jumlah personel cukup, dia tetap dapat melakukan penegakan hukum. Itu juga akan disesuaikan dengan karakteristik daerah.
Baca juga : Tak Lakukan Penyidikan, 1.062 Polsek Kedepankan Mediasi dan Deteksi Dini
Bagaimana mengukur sejauh mana kepuasan publik dari setiap program Kapolri?
Ya, kami juga selalu ingin mengukur apakah program-program itu sudah sesuai dengan harapan masyarakat. Kami membuka ruang pengaduan Propam dan pengaduan online ”Dumas Presisi”.
Kalau ada penyalahgunaan atau tindakan negatif dari kepolisian, kami buka ruang juga untuk menyampaikannya dengan menghubungi nomor 110. Nantinya kami akan menyambungkan laporan itu dengan teknologi yang ada sehingga seluruh personel di lapangan bisa merespons cepat saat ada laporan. Demikian juga ketika ada informasi suatu masalah, kepolisian segera datang.
Dan perbaikan terus dilakukan oleh Polri?
Tentu harus selalu ada perbaikan-perbaikan. Kami membuka ruang untuk kami dikoreksi, dan kami selalu minta lembaga-lembaga pengawas dari eksternal maupun internal untuk mengawasi kami dan memberi masukan.
Dengan demikian, pelayanan kepolisian dari penegakan hukum dan kamtibmas itu betul-betul sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat.
Memang ini tidak mudah, karena mengubah cara berpikir yang selama ini dianggap hal biasa, dan itu terus-menerus dilakukan, ternyata membuat polisi jauh dengan masyarakat.
Kami ingin polisi makin dekat dengan masyarakat, pelayanan publik makin bagus, respons cepat, terukur, berkualitas, dan yang penting ialah mewujudkan rasa aman dan keadilan kepada masyarakat.
Tulisan petikan wawancara khusus ini bagian dari empat tulisan yang menyajikan wawancara Kompas dengan Kapolri. Salah satunya sudah terbit di harian Kompas hari ini dan Kompas.id. Adapun tiga lainnya tayang di Kompas.id.
Baca juga : Kapolri: Kami Ingin Ikut Pecahkan Masalah Pandemi
Baca juga: Kapolri Ubah Pendekatan Penanganan Kejahatan Siber
Baca juga: Kapolri: Sudah Bukan Zamannya Budaya Sowan ke Pimpinan