Jaksa Belum Juga Selesai Pelajari Putusan Banding Pinangki
Diskon vonis Pinangki yang dinilai mencederai rasa keadilan membuat publik mendorong Kejaksaan untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Waktu yang dimiliki Kejaksaan untuk melakukan upaya hukum tinggal empat hari.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum masih belum juga memutuskan sikap terkait dengan putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengurangi hukuman Pinangki Sirna Malasari dari pidana 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Hal tersebut dinilai sebagai keengganan pimpinan kejaksaan untuk melakukan upaya hukum kasasi.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso, ketika dihubungi, Kamis (1/7/2021), mengatakan, hingga saat ini jaksa penuntut umum belum memutuskan sikap, apakah akan mengajukan kasasi atau tidak. ”Jaksa penuntut umum mempelajari semua isi putusan tersebut,” kata Riono.
Pinangki dijatuhi hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 8 Februari lalu. Majelis hakim yang terdiri dari Ignatius Eko Purwanto, Sunarso, dan Moch Agus Salim menilai, Pinangki terbukti membantu pembebasan Joko S Tjandra, buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali. Vonis tersebut jauh di atas tuntutan jaksa penuntut umum, yakni pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 500 juta.
Pinangki yang keberatan kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hasilnya, pada 14 Juni 2021, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dipimpin Muhammad Yusuf memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Vonis banding itu sama dengan tuntutan jaksa di pengadilan tingkat pertama.
Salah satu pertimbangan hakim memotong hukuman adalah karena Pinangki merupakan ibu dari anak balita berusia 4 tahun sehingga layak diberi kesempatan mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya. Selain itu, majelis hakim mempertimbangkan Pinangki sebagai wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil.
Jaksa penuntut umum memiliki waktu 14 hari untuk kemudian menentukan sikap setelah salinan putusan banding diterima. Adapun salinan putusan diterima pada 21 Juni lalu. Menurut Riono, jaksa penuntut umum masih memiliki waktu hingga Senin (5/7/2021) mendatang untuk menentukan apakah akan mengajukan kasasi atau tidak.
Menurut Riono, pada masa pandemi Covid-19 dengan pemberlakuan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) telah menjadi tantangan tersendiri. Jaksa penuntut umum yang harus menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan mengurangi pergerakan. Namun, Riono memastikan bahwa langkah hukum yang nantinya diambil jaksa penuntut umum tidak akan terhambat.
Lapor Presiden
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, masih belum adanya sikap dari kejaksaan terhadap putusan banding Pinangki Sirna Malasari sangat disayangkan. Hal itu menunjukkan bahwa Jaksa Agung, selaku pimpinan tertinggi institusi kejaksaan, memang tidak menghendaki jaksa penuntut umum melakukan upaya hukum kasasi.
”Karena, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat itu hanya pelaksana. Jampidsus pun hanya pelaksana karena ini levelnya menyangkut jaksa, (keputusan) itu memang harus Jaksa Agung. Ketika tidak ada perintah tegas kepada Kajari Jakarta Pusat, memang berarti tidak ada niatan untuk mengajukan kasasi,” kata Boyamin.
Beberapa hari yang lalu, MAKI telah melaporkan Jaksa Agung kepada Presiden. Namun, menurut Boyamin, hingga saat ini belum ada tanggapan dari Istana. Menurut rencana, Boyamin akan kembali mengirimkan surat kepada Presiden mengenai sikap Jaksa Agung yang dinilai enggan melakukan kasasi terhadap putusan banding Pinangki Sirna Malasari.
Menurut Boyamin, Presiden diharapkan mendengarkan aspirasi masyarakat. Sebab, pengurangan hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun telah mencederai rasa keadilan.
”Saya meminta agar Presiden melalui Menko Polhukam,misalnya, meminta Jaksa Agung untuk melakukan kasasi. Kalau tidak ada (tanggapan), berarti Presiden ikut salah karena tidak mendengar aspirasi masyarakat yang menyuarakan keadilan,” ujar Boyamin.