Tindakan Rektorat dan Peretasan pada BEM UI Mengancam Demokrasi
Peretasan akun media sosial sejumlah aktivis BEM UI setelah mengkritik Presiden Joko Widodo dinilai sebagai bentuk ancaman terhadap demokrasi. Begitu pula kritik BEM UI yang dipertanyakan pihak rektorat UI.
JAKARTA, KOMPAS — Peretasan akun media sosial sejumlah pegiat Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia menambah panjang catatan serangan siber yang terjadi pada aktivis yang mengkritik kebijakan pemerintah. Kritik yang dipertanyakan pihak kampus juga dinilai merepresentasikan ancaman kebebasan berpendapat dari dalam ruang akademik.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Leon Alvinda Putra membenarkan, serangan siber terjadi pada akun media sosial lima anggota organisasi tersebut pada Minggu-Senin (27-28/6/2021), termasuk dirinya. Ada pihak yang mengambil alih tiga akun Whatsapp dan satu akun Telegram mereka.
Selain itu, pihak asing menghambat aktivitas akun Instagram Syahrul Badri, Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI. Sebelumnya, akun tersebut mengunggah surat pemanggilan pegiat BEM UI oleh rektorat.
Pemanggilan tersebut terkait dengan unggahan yang memuat foto dan rekam jejak pernyataan Presiden Joko Widodo yang dinilai bertentangan dengan kebijakannya. Adapun unggahan yang memuat kritik untuk Presiden itu dipublikasikan di akun Instagram BEM UI, @bemui_official, Sabtu (26/6/2021).
Leon melanjutkan, rektorat memanggil 10 mahasiswa melalui surat nomor 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021 yang ditandatangani Direktur Kemahasiswaan UI Tito Latif Indra. Mereka diminta datang ke ruang rapat Direktur Kemahasiswaan pada Minggu (27/6/2021) pukul 15.00 untuk menyampaikan keterangan dan penjelasan mengenai narasi pada unggahan yang menggunakan foto Presiden Joko Widodo.
Ia menambahkan, surat panggilan baru diterima setengah jam sebelumnya. Ia sudah mengajukan permohonan agar pertemuan ditunda Senin, tetapi rektorat menolak. Akhirnya, ia pun datang meski terlambat satu jam. ”Rektorat mengatakan penting dan segera,” ujar Leon.
Leon hadir bersama Wakil Ketua BEM UI Yogie Sani, Ketua DPM UI Yosia Setiadi Panjaitan, dan Wakil Ketua DPM UI Mufazza Rafikky. Di sana, mereka bertemu dengan Direktur Kemahasiswaan Tito Latif Indra, Kepala Subdit Kesejahteraan Kemahasiswaan Ahmad Soleha, Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengamanan Lingkungan Kampus Ach Mukhtarul Huda, dan Kepala Unit Pelaksana Teknis Asrama Abdi Kurnia.
”Dalam panggilan, kami menjelaskan mengapa kami melakukan propaganda yang mengkritik pernyataan-pernyataan Presiden Joko Widodo yang tidak sesuai dengan realitasnya. Dari keterangan tersebut, nantinya pihak universitas akan membahas tindak lanjut dari propaganda yang kami buat,” kata Leon saat dihubungi dari Jakarta, Senin sore.
Menurut dia, tidak ada tendensi intimidasi dalam pembicaraan sekitar satu jam tersebut. Rektorat juga tidak membahas perihal sanksi, tetapi akan menyelesaikannya sesuai prinsip tata kelola universitas.
Meski demikian, ia menegaskan, BEM UI tidak akan menghapus unggahan tersebut. Sebab, kritik yang dibuat berdasar pada kajian yang telah dilakukan dalam beberapa waktu terakhir. Hasil kajian yang dibuat dalam bentuk infografis pun dipublikasikan ulang untuk menambah penjelasan.
Kompas sudah menghubungi Rektor UI Ari Kuncoro serta Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI Amelita Lusia untuk meminta tanggapan terkait pemanggilan terhadap BEM UI, tetapi tidak direspons. Namun, dikutip dari Kompas.com, Amelita menjelaskan, pemanggilan terhadap BEM UI karena urgensi dari masalah yang muncul akibat unggahan di akun media sosial BEM UI. Pemanggilan dinilai sebagai bagian dari proses pembinaan kemahasiswaan yang ada di UI.
Ia menegaskan, unggahan meme bergambar Presiden RI yang merupakan simbol negara, mengenakan mahkota, dan diberi teks ”Jokowi: The King of Lip Service”, juga meme lainnya dengan teks ”Katanya Perkuat KPK Tapi Kok?”, ”UU ITE: Revisi Untuk Merepresi (?)”, dan ”Demo Dulu Direpresi Kemudian”, bukanlah cara menyampaikan pendapat yang sesuai aturan yang tepat karena melanggar beberapa peraturan yang ada.
Amelita juga tak merespons ketika ditanya lebih jauh soal peraturan mana yang dilanggar BEM UI lewat unggahan itu, apakah peraturan kampus atau peraturan perundang-undangan.
Kejadian berulang
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression (Safenet) Damar Juniarto mengatakan, pihaknya telah menerima laporan bahwa lima anggota BEM UI menjadi korban serangan digital dalam waktu berdekatan. Laporan tersebut tengah ditindaklanjuti. Pihaknya mendampingi BEM UI untuk menuntaskan persoalan ini.
Damar mengecam pelaku serangan digital pada anggota BEM UI. Menurut dia, teror itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari represi digital yang marak terjadi. Hal tersebut dapat memperburuk iklim demokrasi di Indonesia.
Serangan terhadap anggota BEM UI setidaknya merupakan yang kedua dalam sebulan ke belakang. Pada pertengahan Mei lalu, pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan Lokataru mengalami teror serupa saat mengkritisi tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara. Beberapa hari setelahnya, serangan digital juga dialami pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan dan mantan pegawai KPK yang juga menyoroti tes tersebut.
Catatan Safenet, sepanjang 2020 terjadi 147 serangan digital atau rata-rata 12 kali setiap bulan. Puncak serangan terjadi pada Oktober 2020, yaitu terdapat 41 kali peretasan. Saat itu, pemerintah baru saja mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang memicu penolakan masyarakat, baik melalui pembicaraan di media sosial maupun demonstrasi di berbagai daerah.
”Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan teror seperti ini terjadi, apalagi dianggap normal. Ini bentuk kejahatan dan saya mendorong pelakunya diungkap dan dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukan,” kata Damar.
Menurut Damar, teror yang digunakan untuk membungkam pihak yang berbeda pendapat harus dihentikan. Ketidaksetujuan pada kritik semestinya dibalas dengan argumentasi yang kuat untuk mematahkannya.
Kebebasan akademik
Adapun mengenai sikap rektorat UI, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai, langkah perguruan tinggi menertibkan kebebasan mahasiswa untuk beraspirasi jelas tidak pada tempatnya. Hal itu juga kontraproduktif bagi kehidupan Indonesia hari ini dan di masa depan. Kritik yang disampaikan BEM UI seharusnya bisa menjadi imbauan dan kekuatan moral untuk keluar dari menara gading.
”Kita memerlukan semakin banyak kritisisme di tengah disrupsi dan disorientasi oligarki politik dinastik nepotis dewasa ini,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menambahkan, kritik merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Oleh karena itu, kampus perlu memfasilitasi hak konstitusional tersebut.
”Kampus adalah tempat untuk tumbuh dan berkembangnya kebebasan berpikir, berpendapat, dan kemerdekaan pikiran. Dengan kondisi demikian, kampus seharusnya menjadi tempat untuk pilar-pilar demokrasi. Kritik terhadap pemerintah pun mencerminkan implementasi ilmu yang dipelajari,” kata Ismail.