Ketika akun media sosial sejumlah oposan diretas saat Pemilu 2019, banyak yang menganggap hal itu isapan jempol belaka. Mereka dituding ”playing victim”. Namun, belakangan, pengkritik revisi UU KPK mengalami hal serupa.
Ketika akun media sosial sejumlah politisi oposisi diretas saat Pemilu 2019, banyak yang menganggap hal itu isapan jempol belaka. Mereka dituding playing victim demi mendegradasi lawan yang merupakan petahana. Namun, belakangan, para pengkritik penguasa mengalami hal serupa. Pola berulang mengindikasikan adanya upaya membungkam kritik.
Telepon genggam Oce Madril tak henti-hentinya berdering, Rabu (11/9/2019) siang. Nomor panggilan yang masuk tak dikenal. Tak hanya itu, nomor-nomor itu berkode nomor luar negeri.
Terusik sekaligus penasaran dengan banyaknya panggilan tersebut, dia mencoba mengangkat salah satunya.
”Tidak terdengar apa-apa, (yang terdengar) hanya seperti suara mesin,” tutur Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Saat panggilan-panggilan asing itu masuk, dia tengah berada dalam jumpa pers yang menyuarakan kritik sivitas UGM terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK, di kantor Pukat UGM, Yogyakarta. Kritik disuarakan karena revisi UU KPK bakal melemahkan gerak KPK dalam memberantas korupsi.
Oce ternyata bukan satu-satunya yang diteror oleh penelepon asing saat acara itu berlangsung. Sepanjang agenda yang dihadiri akademisi penolak revisi UU KPK dari berbagai kampus dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo itu, nomor telepon asing juga menghubungi banyak orang.
Salah satunya Rama Larasati dari Universitas Diponegoro, Semarang. Dalam akun Facebook-nya, ia mengunggah tangkapan layar yang menunjukkan 14 panggilan dari berbagai negara yang terjadi dalam rentang waktu 10 menit. Telepon antara lain berasal dari Armenia (+12), Australia (+13), Bahama (+16), dan Bahrain (+17).
Teror penelepon asing ini masih terus berlanjut hingga beberapa hari setelah jumpa pers. Tak berhenti di sana, teror tersebut berlanjut ke peretasan akun Whatsapp.
Pukul 11.47 WIB, Jumat (13/9/2019), akun Whatsapp Oce dibajak. Dari akun Oce itu, terkirim pesan ke banyak akun Whatsapp lain yang isinya ajakan mendukung revisi UU KPK. Sesuatu yang jelas bertolak belakang dengan sikap Oce.
”Darurat! KPK saat ini tidak diawasi, sangat memungkinkan distir orang seseorang. Mari dukung revisi UU KPK untuk membuat KPK transparant dan lebih kuat!!!” Demikian bunyi pesan itu.
Pesan yang beredar itu menyertakan pula tautan https://savekpk.org. Penelusuran Kompas, tautan menuntun pada situs yang mengagregasi berita dari beberapa media daring. Khususnya yang memuat komentar orang-orang yang mendukung revisi UU KPK. Laman berlatar belakang foto gedung KPK itu juga menampilkan fitur penghitung dukungan secara otomatis. Angka dalam fitur tersebut terus bergerak, bertambah, setiap detik.
Masih pada laman tersebut, terdapat ikon media sosial, mulai dari Whatsapp, Facebook, sampai Twitter. Jika diklik, Anda akan diarahkan untuk mengirimkan ajakan mendukung revisi UU KPK.
Selain Oce, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Rimawan Pradiptyo, yang menolak revisi UU KPK, akun Whatsapp-nya juga dibajak.
Sementara pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, ikut diteror penelepon asing pada hari yang sama saat Oce dan kawan-kawan diteror. Namun, ia tak menjawabnya karena sudah diperingatkan akademisi yang lain.
”Panggilan tersebut diduga sebagai pintu masuk bagi virus yang digunakan untuk meretas akun Whatsapp kami,” ujarnya.
Pemilu 2019
Jauh sebelum peretasan massal terhadap para pengkritik penguasa ini, kita masih ingat sejumlah politisi oposisi diretas akun media sosialnya di pengujung Pemilu 2019.
Politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, misalnya. Pada awal April 2019, dia mengaku akun Twitter-nya dibajak. Melalui akun itu, tersebar konten-konten pornografi. Dari akun itu pula tersebar ”serangan” kepada politisi lain yang sejatinya berada dalam kelompok yang sama, sama-sama di luar pemerintahan.
Kemudian pasca-pemungutan suara Pemilu 2019, giliran akun media sosial Said Didu dan Andre Rosiade yang dibajak. Said Didu merupakan salah satu pendukung calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sedangkan Andre, politisi Partai Gerindra, partai utama pendukung Prabowo-Sandi.
Andre, Said, dan Ferdinand terkenal vokal mengkritik pemerintahan Joko Widodo saat itu. Jokowi seperti diketahui kompetitor Prabowo pada Pemilu Presiden 2019.
”Waktu itu saya dapat pesan Whatsapp berupa tautan dari Instagram. Saya anggap itu benar dari Instagram, tetapi ketika dimasukkan ternyata akun saya diambil alih orang lain dan saya tidak bisa mengakses lagi,” kata Andre.
Andre bahkan melaporkan hal itu ke Polda Metro Jaya pada Juli 2019. Selain itu, anggota DPR 2019-2024 ini juga melaporkannya ke Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Dia juga melayangkan pengaduan ke Facebook yang mengelola Instagram. Akun Instagram Andre pun pulih seminggu setelahnya.
Tak hanya ketiga politisi itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Roy Suryo, juga mengaku akun Whatsapp-nya pernah menjadi target peretasan saat Pemilu 2019. Namun, politisi yang juga pakar teknologi informasi itu sudah lebih dulu mengantisipasinya.
Caranya, menggunakan nomor Whatsapp berbeda dengan nomor yang diaktifkannya. Menurut dia, cara itu efektif untuk menangkal upaya pembajakan.
Sulit untuk dibantah, ”serangan” peretasan sejak Pemilu 2019 hingga terkini, saat ramai penolakan revisi UU KPK, tersebut, bermotif politis. Lantas siapa pelakunya?
Pelaku mesti memiliki sumber daya yang memadai. Sebab, peretasan membutuhkan perangkat keras dan lunak yang mahal. Pelaku juga harus berkemampuan teknologi tinggi.
Menurut ahli forensik digital, Ruby Alamsyah, pelaku jelas bukan orang sembarangan. Pelaku mesti memiliki sumber daya yang memadai. Sebab, peretasan membutuhkan perangkat keras dan lunak yang mahal. Pelaku juga harus berkemampuan teknologi tinggi.
Yang memenuhi kriteria itu, menurut Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Suteja, antara lain aparat penegak hukum, seperti Kepolisian, Badan Intelijen Negara, dan KPK. Mereka bisa melakukan peretasan jarak jauh atau tanpa mengambil ponsel korban karena diberi kuasa oleh undang-undang. ”Aparat penegak hukum punya teknologinya,” ujarnya.
Namun, tujuannya semata untuk penegakan hukum. Sama sekali bukan untuk membungkam pengkritik pemerintah.
Di luar itu, peretasan jarak jauh sering pula dilakukan, dan banyak yang sudah jadi korbannya. Namun, peretasan itu umumnya bermotif ekonomi. Setelah diretas, peretas mengaku sebagai korban yang kemudian memeras atau meminta sejumlah uang dari rekan-rekan korban yang kontaknya ada di ponsel korban.
Terlepas dari siapa pun pelakunya, yang jelas serangan itu tak bisa dianggap sebelah mata. Serangan terindikasi kuat untuk membungkam kebebasan berpendapat. Lebih jauh lagi membungkam kritik kepada penguasa. Padahal, kebebasan berpendapat termasuk kritik di dalamnya merupakan esensi utama dari demokrasi.
”Cara pembungkaman seperti ini dapat mencederai kebebasan berpendapat yang sudah kita nikmati sepanjang reformasi. Jangan sampai hal itu tumbuh kembali saat ini,” kata Roy Suryo.
Maka, jelas, aparat penegak hukum tidak bisa diam saja melihat fenomena tersebut. Pelaku harus diusut. Jika tidak, bisa jadi bola liar yang justru menyerang pemerintah.