Praperadilan SP3 Kasus BLBI Kandas, MAKI Akan Kembali Ajukan Permohonan
Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Alimin Ribut Sujono, menilai, MAKI sebagai pemohon praperadilan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mempersoalkan penghentian penyidikan kasus BLBI.
Oleh
susana rita
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Permohonan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia atau MAKI atas dihentikannya penyidikan kasus dugaan korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim tunggal PN Jaksel, Alimin Ribut Sujono, menilai, MAKI tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mempersoalkan penghentian penyidikan kasus tersebut.
Pasalnya, ada persoalan administratif yang belum diselesaikan MAKI, yakni sebagai organisasi kemasyarakatan, MAKI belum memperpanjang surat keterangan terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.
Kuasa hukum MAKI, Kurniawan, saat dihubungi pada Selasa (29/6/2021) mengungkapkan, pihaknya dapat menerima putusan PN Jaksel tersebut. Ia mengakui bahwa pihaknya memang belum memperpanjang surat keterangan terdaftar sebagai ormas di Kemendagri.
”Dulu pernah daftar, tetapi habis masa berlakunya. Kami belum memperpanjang,” ujarnya.
Dalam waktu dekat, pihaknya akan mengurus hal tersebut. Setelah itu, MAKI akan mengajukan permohonan praperadilan kembali. ”Putusannya, kan, tidak diterima. Belum masuk perkara, Cuma terkait dengan syarat formal saja,” ujarnya.
Dalam permohonannya, MAKI menilai, penghentian penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih, yang diterbitkan pada 31 Maret 2021 dan diumumkan pada 1 April itu cacat hukum serta tidak berdasar. Untuk itu, MAKI meminta PN Jaksel untuk menyatakan penghentian penyidikan tersebut tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibatnya.
Pada 1 April lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengumumkan penghentian penyidikan kasus BLBI yang merupakan penghentian penyidikan pertama yang dilakukan KPK sepanjang lembaga tersebut berdiri.
Saat itu, Alexander Marwata mengungkapkan bahwa KPK berkesimpulan, syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi. Sebab, konstruksi hukum yang dibangun dalam kasus tersebut, Sjamsul Nursalim dan Itjih berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan korupsi BLBI bersama mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Sementara Syafruddin telah divonis lepas oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya.
Seperti diketahui, pada 9 Juli 2019, majelis kasasi yang terdiri dari hakim agung Salman Luthan selaku ketua dengan hakim aggota Syamsul Rakan Chaniago dan Moh Asikin memutuskan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Namun, menurut majelis kasasi, perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana sehingga Syafruddin dilepaskan dari segala tuntutan hukum atau ontslag van allerechtsvervolging. MA membatalkan putusan tingkat banding yang menghukum Syafruddin dengan pidana 15 tahun.
Menurut MAKI, alasan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) itu tidak sah dan harus dinyatakan batal demi hukum. Sebab, para tersangka dikenai Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyertaan sehingga semua tersangka dapat berposisi menjadi dader/pleger atau pelaku utama.
Dengan demikian, KPK tidak berhak untuk menyatakan Sjamsul Nursalim dan Itjih hanya pelaku peserta (medel pleger) sehingga harus dihentikan penyidikannya. Hanya majelis hakim yang berhak menyatakan seseorang medel pleger atas suatu perkara terhadap terdakwa lain yang telah disidangkan dengan status pleger.
Selain itu, sistem hukum di Indonesia tidak menganut sistem yurisprudensi, di mana putusan hakim tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk pelaku lain. Oleh karena itu, Sjamsul dan Itjih tetap harus dihadapkan ke pengadilan.
Menurut MAKI, KPK juga telah salah memaknai putusan ontslag Syafruddin yang jelas berbeda makna dengan putusan bebas.
Sebelumnya, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih, ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana BLBI. KPK memulai penyidikannya atas dasar dugaan cacatnya surat keterangan lunas (SKL) yang diterbitkan BPPN kepada Sjamsul. Ia diduga bekerja sama dengan Syafruddin sehingga merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun. Nilai aset yang diserahkan Sjamsul ke negara diduga digelembungkan dan aset dalam keadaan kredit macet sehingga nilainya merosot.