Polisi Mengaku Tidak Tahu Adelin Lis Sudah Dicari sejak 2018
Guna penyelidikan, Polri berjanji akan meminta informasi kepada Atase Polri di KBRI Singapura terkait surat yang dikirim Otoritas Keimigrasian Singapura tentang permintaan klarifikasi identitas Adelin Lis.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya klarifikasi identitas Adelin Lis oleh Otoritas Keimigrasian Singapura melalui surat resmi kepada Kedutaan Besar RI di Singapura sejak 2018 belum diketahui penegak hukum. Padahal, jeda tiga tahun antara penangkapan dan pengiriman surat permintaan klarifikasi yang pertama kali menandakan ada upaya memperlambat penangkapan terpidana pembalakan liar yang sempat buron selama 13 tahun itu.
Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Andi Rian R Djajadi mengaku belum mengetahui bahwa Otoritas Keimigrasian Singapura (Immigration and Checkpoints Authority/ICA) pernah berkirim surat ke otoritas Indonesia untuk meminta klarifikasi mengenai identitas Adelin Lis dan Hendro Leonardi sebanyak empat kali dalam periode 2018-2021. Dari empat surat yang dikirim, tiga di antaranya tidak berbalas.
Oleh karena itu, Andi belum bisa memastikan apakah perihal surat permintaan klarifikasi yang tak berbalas itu akan ditelusuri oleh Polri dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Namun, ia berjanji akan meminta informasi terkait dari Atase Polri di KBRI Singapura.
”Belum pernah dengar, tetapi saya akan komunikasikan dengan Atpol (Atase Polri) di Singapura,” kata Andi saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (23/6/2021).
Ia menambahkan, dari koordinasi dengan Atase Polri di KBRI Singapura sejauh ini, pihaknya telah mendapatkan barang bukti paspor milik Adelin Lis atas nama Hendro Leonardi. Paspor yang dimaksud diterbitkan tahun 2017. Saat ini, paspor masih diamankan di KBRI Singapura.
Atas kepemilikan dan penggunaan paspor itu, Adelin diduga melakukan dua tindak pidana selama dalam pelarian. ”Menggunakan dokumen perjalanan RI, yaitu paspor yang diketahui atau patut diduga palsu atau dipalsukan, dan/atau memberikan data tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh dokumen perjalanan RI bagi dirinya sendiri,” kata Andi.
Atas kepemilikan dan penggunaan paspor itu, Adelin diduga melakukan dua tindak pidana selama dalam pelarian.
Menurut dia, substansi kedua perbuatan melawan hukum itu, diatur dalam Pasal 126 huruf a dan c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Adapun penegakan hukumnya merupakan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian berdasarkan asas lex spesialis derogate legi generali.
Diberitakan sebelumnya, Adelin Lis, terpidana pembalakan liar di Mandailing Natal, Sumatera Utara, melarikan diri setelah divonis Mahkamah Agung 10 tahun penjara pada 2008. Selama dalam pelarian, ia menggunakan paspor atas nama Hendro Leonardi.
Pada 2018, otoritas Singapura menangkap Adelin karena imigrasi negara tersebut menemukan data yang sama untuk dua nama yang berbeda. Imigrasi Singapura lalu mengirim surat kepada Atase Imigrasi KBRI di Singapura pada 4 Maret 2021 untuk memastikan dua nama yang berbeda sebagai sosok yang sama. Merujuk data di Direktorat Jenderal Imigrasi, dipastikan bahwa dua orang tersebut sama.
Dalam persidangan di Singapura, Adelin mengaku bersalah. Atas dasar itu, Pengadilan Singapura pada 9 Juni 2021 menjatuhkan hukuman denda 14.000 dollar Singapura yang dibayar dua kali dalam periode satu minggu. Pengadilan juga mengembalikan paspor atas nama Hendro Leonardi ke Pemerintah Indonesia, serta mendeportasi Adelin Lis ke Indonesia.
Berdasarkan dokumen yang diterima Kompas, surat yang dikirim kepada Atase Imigrasi KBRI di Singapura pada awal 4 Maret 2021 bukanlah yang pertama. Itu merupakan surat keempat yang dikirimkan Otoritas Keimigrasian Singapura (Immigration and Checkpoints Authority/ICA) setelah mengirim tiga surat lainnya. Sebanyak tiga surat yang dimaksud dikirim pada 12 Juni 2018, 19 November 2019, dan 3 Juli 2019. Surat-surat itu berisi permintaan konfirmasi mengenai duan ama, yakni Adelin Lis dan Hendro Leonardi.
Namun, tidak satu pun dari tiga surat itu mendapatkan balasan. Hanya surat terakhir yang berbalas dan ditindaklanjuti oleh Atase Imigrasi di KBRI Singapura Suhendra sehingga Adelin bisa ditangkap, diadili, dan dipulangkan oleh otoritas Singapura ke Indonesia pada Sabtu (19/6/2021). Adelin yang berstatus buron tingkat tinggi dipulangkan dengan penjagaan ketat dari sejumlah petugas Kejaksaan Agung.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyatakan, penangkapan Adelin baru diketahui setelah ada surat dari ICA kepada KBRI tanggal 4 Maret 2021. ”Mengenai 2018 sampai sekarang, kita baru, sebagaimana tadi saya katakana, tanggal 4 Maret, KBRI Singapura baru mendapatkan surat dari ICA. Dan, dari saat itu kami melakukan proses. Ini proses di sistem peradilan Singapura. Memang cukup lama,” kata Leonard (Kompas, 18/6/2021).
Tidak boleh parsial
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, dihubungi dari Jakarta, mengatakan, pengusutan pemalsuan dan penggunaan paspor palsu oleh Adelin Lis tidak boleh berhenti sebatas pada apa yang dilakukan Adelin. Penegak hukum harus membongkar siapa yang membuat paspor, di mana dibuat, dan siapa saja yang terlibat. ”Ini harus segera dibongkar sehingga bisa dijadikan evaluasi ke depan di dalam pembuatan paspor,” kata Hibnu.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, dihubungi dari Jakarta, mengatakan, pengusutan pemalsuan dan penggunaan paspor palsu oleh Adelin Lis tidak boleh berhenti sebatas pada apa yang dilakukan Adelin. Penegak hukum harus membongkar siapa yang membuat paspor.
Menurut dia, persoalan paspor palsu hanya salah satu fragmen dalam pelarian Adelin. Sebab, selain pembuatan paspor atas nama Hendro Leonardi yang diduga dilakukan di Indonesia, ada pula upaya untuk memperlambat penangkapannya di Singapura, dari semestinya sudah bisa dilakukan sejak 2018, tetapi baru terjadi pada 2021.
Artinya, ada upaya agar pelarian Adelin tidak segera diketahui. ”Penegak hukum tidak boleh parsial dalam mengusut kasus ini,” ujar Hibnu.