Berbeda dengan Presiden yang hanya bisa menjabat dua periode, seorang anggota DPR bisa menjabat berkali-kali. Namun, serangkaian persyaratan harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan kursi parlemen di setiap pemilu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Presiden Joko Widodo boleh saja memiliki derajat keterpilihan tertinggi di antara nama-nama bakal calon presiden yang beredar belakangan ini. Namun, berapa pun tingginya elektabilitas, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tetap saja tak bisa lagi maju dalam pemilihan umum presiden tahun 2024. Maklum saja, konstitusi membatasi jabatan presiden maksimal dua periode saja.
Berbeda halnya dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tiap-tiap warga negara, dengan syarat tertentu, bisa menduduki kursi wakil rakyat itu tanpa dibatasi periode masa jabatan. Itulah mengapa tak sedikit anggota DPR yang puluhan tahun kembali duduk di parlemen karena terus-menerus memenangi pemilihan umum (pemilu) legislatif.
Pada Pemilu 2019, misalnya, dari 575 anggota DPR terpilih, sebanyak 298 orang atau 50,26 persen di antaranya merupakan petahana. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah menduduki kursi parlemen sejak Orde Baru. Posisi mereka tak tergoyahkan, meski pasca reformasi, sistem pemilu berubah-ubah, dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka. Dari penetapan kursi berdasarkan nomor urut pencalonan menjadi suara terbanyak.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, merupakan salah satu politikus yang duduk di parlemen sejak Orde Baru. Wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat X ini sudah menjadi anggota DPR selama enam periode, terhitung mulai periode 1997-1999, 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, 2014-2019, hingga periode 2019-2024.
Agun mengatakan, salah satu strategi yang selalu dilakukan selama menjadi anggota DPR adalah terus menjaga hubungan baik dengan konstituen. Dalam setiap kesempatan reses, ia selalu kembali ke dapilnya yang mencakup wilayah Ciamis, Banjar, Pangandaran, dan Kuningan.
”Rakyat harus selalu disapa, ditengok, tanpa harus menunggu ada pemilu. Kan ada dana reses,” ujarnya di Jakarta, Selasa (15/6/2021).
Pria yang akrab dipanggil Kang Agun itu pun memanfaatkan sejumlah momentum peringatan hari ulang tahun Golkar serta perayaan hari besar keagamaan dan nasional untuk menyapa pemilihnya. Ini dilakukan sebagai bentuk keberpihakan kepada pemilih agar hubungan antara rakyat dan wakilnya di parlemen terus terpelihara.
”Saya juga berupaya agar dapil saya mendapatkan bantuan dari mitra kerja di DPR (kementerian/lembaga) melalui berbagai program yang mereka miliki,” kata Agun.
Salah satu momentum yang membuat Agun dekat dan diingat pemilih di dapilnya adalah perjuangannya dalam mengupayakan pemekaran Kabupaten Ciamis pada kurun 1997-2012. Melalui kewenangan yang dimiliki di DPR, ia bersama-sama berhasil memperjuangkan pembentukan Kota Banjar pada tahun 2002.
Pada tahun 2012, ia juga turut memperjuangkan pembentukan Kabupaten Pangandaran yang juga merupakan hasil pemekaran wilayah Kabupaten Ciamis. Kebetulan saat itu Agun menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR yang memiliki lingkup tugas pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, aparatur negara dan reformasi birokrasi, kepemiluan, serta pertanahan dan reforma agraria.
Selalu hadir
Anggota DPR lain yang juga tergolong lama menduduki kursi parlemen adalah Trimedya Panjaitan. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu sudah lima periode menjabat sebagai anggota DPR.
Sama seperti Agun, Trimedya juga berpandangan, merawat konstituen sepanjang waktu sangat penting. Anggota DPR tidak cukup datang saat mendekati pemilu, tetapi harus selalu hadir untuk konstituen, terutama saat mereka membutuhkan bantuan.
Wakil rakyat dari Dapil Sumatera Utara II itu mengaku selalu membuka diri untuk dihubungi konstituennya. Dalam sehari rata-rata ada sekitar 400 pesan masuk melalui aplikasi pesan. Kemudian saat reses dalam satu periode jabatan, ia menargetkan bisa mengunjungi 70 persen kecamatan di seluruh dapilnya.
”Biasanya kalau sudah duduk di DPR tidak mau balas lagi dan hanya ada menjelang pemilu. Itu yang membuat sulit terpilih lagi,” katanya.
Selain merawat konstituen, Trimedya pun selalu mempersiapkan pemenangan pemilu legislatif sejak satu tahun sebelum pemungutan suara. Tim pemenangan, terutama koordinator di setiap kabupaten/kota, diisi orang-orang yang kompeten, salah satunya mantan penyelenggara pemilu. Sebab, mereka dinilai memahami teknik-teknik untuk memenangi pileg karena pengalamannya terdahulu.
”Meskipun biayanya tidak sedikit karena gaji setidaknya minimal sama dengan saat menjadi penyelenggara,” ucapnya.
Dalam memetakan pemilih potensial, ia memanfaatkan mahadata yang dikumpulkan tim pemenangan di tingkat desa. Data awal berupa nomor telepon pemilih beserta data demografi, seperti alamat, usia, jenis kelamin, dan latar belakang kesukuan. Data tersebut digunakan untuk mengajak pemilih mendukungnya saat pileg.
”Menyapa pemilih dari mahadata bukan hanya saat pemilu, memlainkan juga ketika hari besar keagamaan karena pada dasarnya pemilih senang jika disapa,” kata Trimedya yang dalam dua kali pemilu selalu mendapatkan lebih dari 100.000 suara.
Tetap terhubung
Hidayat Nur Wahid, politikus Partai Keadilan Sejahtera yang sudah empat periode menjadi anggota DPR, punya strategi lain. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu tidak pernah mengganti nomor telepon semenjak terpilih menjadi anggota DPR tahun 2004. Hal itu dilakukan agar tetap terhubung dengan konstituen sekaligus bisa menyerap aspirasi dari mereka yang disampaikan secara langsung.
Selain itu, ia berusaha aktif dalam menjalankan fungsi sebagai anggota DPR. Kegiatan-kegiatan seperti rapat dalam tugas pengawasan dan pembuatan undang-undang selalu diikuti. Dengan demikian, ia pun tetap dikenal oleh masyarakat luas, tidak hanya di dapilnya.
”Kalau hal itu dilakukan dengan rajin, secara psikologis tidak ada nada kesulitan bertemu dan menyampaikan kepada rakyat terkait apa yang dikerjakan di DPR,” kata Hidayat yang pernah pindah dapil dari Jawa Tengah V menjadi DKI Jakarta II.
Kemudian secara institusi, ia terus merawat hubungan dengan partai politik yang mengusungnya. Sebab, anggota DPR merupakan kepanjangan tangan dari parpol sehingga apa yang dilakukan parpol kepada masyarakat secara tidak langsung merupakan bentuk perhatian anggota DPR kepada pemilih.
”Anggota DPR juga perlu merawat kredibilitas agar tetap dipercaya tokoh-tokoh masyarakat karena ini menjadi tabungan untuk jangka panjang,” kata mantan Presiden PKS itu.
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan, anggota DPR yang bisa terus bertahan beberapa periode biasanya berasal dari parpol-parpol besar dan secara individu memiliki popularitas tinggi. Tak hanya itu, mereka umumnya juga selalu bekerja untuk masyarakat, bukan hanya diam di dapilnya. Strategi itulah yang membuat mereka bisa tetap konsisten mendulang banyak suara saat pemilu legislatif dan tidak tersingkir oleh nama-nama baru.
Dalam merawat pemilih, mereka biasanya rutin berkomunikasi dengan pemilih di dapilnya. Mereka pun selalu membangun jaringan dengan tokoh-tokoh masyarakat yang selalu dijaga rutin, tidak hanya menjelang pileg.
Kelebihan yang dimiliki oleh anggota legislatif petahana itulah yang cenderung membuat parpol dilema, antara melakukan kaderisasi dan mengajukan calon anggota legislatif (caleg) baru atau mempertahankan orang lama karena peluang untuk mendulang suara lebih tinggi. ”Mengganti caleg baru tidak mudah karena berisiko kehilangan suara, apalagi di era sistem proporsional terbuka karena suara caleg berkontribusi pada suara parpol,” ucap Qodari.
Bagaimanapun, perjalanan para politikus senior dalam mempertahankan kursi di parlemen tetap layak diikuti. Mereka tak membangun elektabilitas dari popularitas saja, tetapi juga kerja nyata untuk masyarakat, khususnya konstituen.