Paradigma Hukum Persuasif Lebih Relevan untuk Polisi di Negara Demokratis
Jenderal (Purn) Chairuddin Ismail dikukuhkan sebagai Guru Besar STIK-PTIK. Ia menekankan, paradigma hukum represif sudah tak sesuai dengan situasi masyarakat yang makin demokratis. Pendekatan persuasif diperlukan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paradigma hukum persuasif penting untuk digunakan oleh polisi yang bertugas di negara dan masyarakat yang demokratis. Cara-cara represif perlu ditinggalkan secara bertahap dan hanya digunakan dalam keadaan luar biasa.
Dalam menjalankan fungsinya, polisi juga perlu menganut paham utilitarianisme atau mengutamakan kebermanfaatan hukum bagi masyarakat. ”Hukum sebaiknya membahagiakan rakyat, bukan menyengsarakan orang banyak,” kata Jenderal (Purn) Chairuddin Ismail dalam pidato pengukuhan Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK) Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri di Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Saat menyampaikan pidato berjudul ”Paradigma dan Pemikiran Hukum yang Efektif dalam Menopang Fungsi Pemolisian di Indonesia”, Chairuddin menjelaskan, gerakan reformasi yang digaungkan masyarakat sipil pada 1998 telah mendorong kepolisian mereformasi diri sejak 1999.
Reformasi di internal kepolisian mencakup aspek struktural kelembagaan, instrumental, dan kultur pemolisian. Sejak saat itu pula, polisi yang berada di negara demokrasi berperan sebagai penjaga dan pemelihara nilai masyarakat sipil yang madani (the guardian of the civil values).
Untuk mewujudkan hal itu, ada tiga fungsi utama polisi, yaitu memerangi kejahatan, memelihara ketertiban umum, dan melindungi warga. Diperlukan paradigma hukum yang tepat agar ketiga fungsi itu bisa dilaksanakan secara efektif.
Menurut Chairuddin yang pernah menjabat sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri di era Presiden Abdurrahman Wahid itu, paradigma hukum represif yang sebelumnya digunakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi masyarakat yang semakin demokratis. Represivitas juga telah menghasilkan berbagai masalah di masa lalu dan masih terus berlangsung hingga sekarang.
Ia mengusulkan agar paradigma hukum represif diganti menjadi persuasif. Prinsip itu dinilai lebih relevan dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini.
”Paradigma hukum persuasif mampu mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam menjamin tegaknya hukum dan keadilan atau yang dikenal dengan hukum responsif. Dengan demikian, pengoperasian hukum sebagai pranata manusia secara utuh akan bermuara pada keadilan yang substantif, bukan sekadar prosedural,” kata Chairuddin.
Implementasi
Chairuddin menambahkan, implementasi paradigma hukum persuasif dapat digunakan untuk mengantisipasi sejumlah permasalahan. Salah satunya kondisi dilematis yang kerap terjadi ketika polisi harus berhadapan dengan konsep tertib hukum dan tertib sosial. Sering kali, polisi menghadapi dilema untuk mengutamakan tertib hukum yang berorientasi pada keadilan atau tertib sosial yang bertujuan pada ketertiban.
Peran polisi sebagai penertib juga kerap dianggap sebagai pengusik masyarakat, terutama ketika bertugas menjamin ketertiban di tempat umum. ”Terlampau sering menertibkan sering kali dianggap sebagai pengusik oleh warga,” ujar Chairuddin.
Ia melanjutkan, kondisi-kondisi itu sebenarnya bisa diantisipasi dengan mengimplementasikan paradigma hukum persuasif. Implementasi yang dimaksud, yakni dengan mengidentifikasi masalah sosial yang ada di masyarakat kemudian memetakannya secara geografis.
Temuan masalah sosial itu dianalisis sebagai potensi ancaman dan potensi masyarakat untuk mengatasinya. Setelahnya, polisi bisa menyusun skenario meliputi subjek, objek, dan metode operasi yang dibutuhkan dengan melibatkan masyarakat setempat.
”Dengan demikian, fungsi pemolisian bukan hanya menunggu laporan pelanggaran hukum saja, melainkan lebih proaktif mengidentifikasi masalah sosial di tataran lokal. Dan dengan analisis yang profesional melakukan upaya eliminasi dan pencegahan sesuai dengan potensi masyarakat setempat,” kata Chairudin.
Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Komisaris Jenderal (Purn) Iza Fadri yang hadir dalam pengukuhan guru besar tersebut mengapresiasi capaian dan gagasan Chairuddin. Ia berharap gagasan tersebut bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kepolisian.