Masa Depan Pemolisian Masyarakat
Mengapa ada elemen masyarakat yang begitu benci dengan Kepolisian, sebagaimana terlihat melalui penyerangan terhadap individu dan satuan Kepolisian serta perusakan berbagai fasilitas kepolisian.
Penulis cukup sulit memahami kerasnya benturan antara Kepolisian dan pendemo saat demonstrasi memprotes UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Tentu kita bisa berdiskusi bahwa mereka yang berunjuk rasa tidak mewakili seluruh masyarakat, namun bahwa ada elemen masyarakat yang melihat Kepolisian sebagai musuh bebuyutan, apakah itu indikasi keberhasilan suatu strategi pemolisian atau sebaliknya?
Hanya dalam kurun waktu dua tahunan, Kepolisian sudah beberapa kali berada dalam posisi berhadapan dengan masyarakat pendemo. Kecenderungannya sama: bermula dari unjuk rasa damai yang lalu berkembang menjadi kerusuhan.
Setelah kerusuhan besar 24 Mei 2019, yakni saat terdapat elemen massa yang tak puas dengan hasil Pemilu 2019, terdapat beberapa kerusuhan lain di Jakarta. Contohnya, kerusuhan terkait penolakan UU KPK, penolakan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan yang terakhir, penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
Terdapat kesamaan dari berbagai kerusuhan itu: Kepolisian berperan sebagai alat negara yang mengamankan agenda dan kebijakan negara. Terhadap elemen masyarakat yang tidak lagi melakukan unjuk rasa, melainkan kerusuhan, Kepolisian bertindak selaku praetorian atau pengaman negara, dengan memanfaatkan berbagai sumber daya Kepolisian.
Terdapat kesamaan dari berbagai kerusuhan itu: Kepolisian berperan sebagai alat negara yang mengamankan agenda dan kebijakan negara.
Hanya formalitas?
Sampai di sini, timbul pertanyaan mengapa ada elemen masyarakat yang begitu benci dengan Kepolisian, sebagaimana terlihat melalui penyerangan terhadap individu dan satuan Kepolisian serta perusakan berbagai fasilitas kepolisian.
Padahal, Kepolisian selama ini gencar melakukan pemolisian masyarakat.
Kegiatan sambang masyarakat jadi kewajiban bagi semua satuan kewilayahan. Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang kini mulai merata ditempatkan di seluruh desa bisa dikatakan sebagai salah satu wajah negara yang paling aktif.
Kepolisian selama ini juga aktif memperbaiki public image sehingga terlihat ramah dan dekat dengan masyarakat. Juga perlu disebutkan, Kepolisian konsisten melakukan perbaikan pelayanan publik terkait SIM, STNK, BPKB dan sebagainya, yang selama ini menjadi tanggung jawab Kepolisian.
Semua itu seolah tidak ada bekasnya ketika para pengunjuk rasa memaki dan menghujat Kepolisian yang bertugas sebagai polisi anti huru-hara. Minimal di mata pendemo, polisi sama sekali bukan pelindung-pengayom-pelindung masyarakat. Mengapa demikian?
Ada kemungkinan, pemolisian masyarakat yang gencar dilaksanakan Kepolisian selama ini hanya formalitas. Dengan kata lain, Kepolisian sebenarnya tak benar-benar berusaha menyelesaikan permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat bersama-sama masyarakat, sebagaimana hakikat konsepsi pemolisian masyarakat.
Mengingat strategi pemolisian ini tidak memiliki ukuran yang jelas, maka kemungkinan pemolisian masyarakat hanya dilihat oleh banyak personel Polri sebagai penugasan biasa dan sehari-hari.
Juga terdapat kemungkinan lain bahwa tampilan Kepolisian pada umumnya lebih didominasi wajah selaku alat pemerintah saja ketimbang selaku alat negara. Walau bisa dikritisi akurasinya, nampaknya mudah dicari contoh bahwa pengkritik pemerintah selalu lebih cepat dan pasti diperiksa.
Ada kemungkinan, pemolisian masyarakat yang gencar dilaksanakan Kepolisian selama ini hanya formalitas.
Ini membuat pengkritik pemerintah menganggap kepolisian tak ada bedanya dengan pemerintah itu sendiri, yakni cenderung berpolitik (baca: berpihak). Hubungan yang dekat antara polisi-masyarakat, sebagaimana disyaratkan oleh strategi pemolisian masyarakat, menjadi terlalu abstrak bahkan muskil diwujudkan.
Keberadaan petinggi Kepolisian yang dewasa ini dengan mudah ditemui di berbagai instansi, ditambah lagi dengan anggaran Kepolisian yang besar, belum lagi gaya hidup personel polisi yang rata-rata baik, adalah wajah Kepolisian yang mudah sekali menimbulkan kecemburuan, bahkan kekesalan.
Ketika Kepolisian menegakkan hukum, dengan mudah hal itu dipersepsi sebagai langkah tendensius ketimbang langkah instansi penegak hukum.
Terhadap argumen ini, tentu dengan mudah bisa dipatahkan bahwa pelaku kerusuhan berbeda dengan masyarakat yang taat hukum (law-abiding people) yang justru telah tersentuh oleh strategi pemolisian masyarakat. Jika demikian, pertanyaan yang patut kita ajukan pada Kepolisian: kapan menyentuh semua elemen masyarakat?
Pemolisian masa depan
Kepolisian selama ini memang melakukan aktivitas yang anti teori terkait pemolisiannya. Jika suatu organisasi kepolisian menekankan pemolisian tegas, maka pemolisian masyarakat (sebagai alternatifnya) dikesampingkan. Sebaliknya jika pemolisian masyarakat yang dikedepankan. Untuk Polri, prinsip jungkat-jungkit tersebut tidak berlaku, keduanya malah diperkuat.
Dugaan bahwa di antara keduanya lalu berlangsung superficial, menjadi beralasan. Kepolisian berada pada posisi tanggung. Di satu pihak, Kepolisian tidak tuntas menjalankan pemolisian masyarakat, di pihak lain tanggung pula paradigma kerjanya saat melakukan pemolisian tegas.
Kepolisian selama ini memang melakukan aktivitas yang anti teori terkait pemolisiannya.
Sementara itu, penulis mengkhawatirkan efek belajar dari berbagai kerusuhan yang terjadi belakangan ini. Telah ada ribuan anak muda yang mengetahui strategi Kepolisian saat mengisolasi massa atau membelahnya, dan kemudian seperti rindu ingin menjajalnya terus. Melempari polisi dengan batu atau meludah kepada polisi, yang sebenarnya sepantaran usia dengan para pengunjuk rasa, jadi suatu kebanggaan.
Situasi dewasa ini memang seperti tidak adil bagi Kepolisian mengingat harus selama mungkin berada pada posisi bertahan dan seperti membiarkan anarki berlangsung. “Yang penting tidak tembus Ring Satu,” mungkin begitu kata komandan Brimob di lapangan. Dari beberapa unjuk rasa dalam kurun waktu dua tahun ini, situasi itu selalu berulang.
Baca Juga: Benahi Integritas Polisi
Sementara itu, ketika melakukan penangkapan di mana sedikit saja terlihat melakukannya secara eksesif, langsung dianggap melakukan brutalitas Kepolisian. Minimal Kepolisian dianggap tidak mendahulukan langkah persuasif.
Ada dugaan perilaku personel Kepolisian yang seperti keterlaluan saat melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang sudah berhasil diamankan, itu sebenarnya terkait dengan rasa frustrasi personel. Mereka seperti dilepas tangannya namun diikat kakinya.
Melalui pemolisian yang lebih tegas, Kepolisian dapat segera “memenangkan” ruang-ruang publik yang diambil para pengunjuk rasa pada saat Kepolisian amat menahan diri. Unjuk rasa dengan demikian tak perlu berlangsung seharian atau bahkan berhari-hari.
Dengan sekalian mengedepankan wajah Kepolisian yang keras, Kepolisian juga diharapkan meningkatkan keterampilan personelnya untuk memerankan penanganan huru-hara yang proporsional, terkendali dan penuh penghormatan pada hak asasi manusia.
Tindakan tegas yang dilakukan saat suatu unit Kepolisian masih segar tentu berbeda hasilnya dibanding ketika para polisi itu sudah berada dalam kondisi lelah dan moril kerja rendah namun tanpa ada unit pengganti. Wajah keras Kepolisian diharapkan juga menjadi penggentar bagi para pengunjuk rasa yang coba-coba bertindak anarkis.
(Adrianus Meliala Kriminolog FISIP Universitas Indonesia)