Koalisi Masyarakat Gugat UU Komponen Cadangan ke Mahkamah Konstitusi
Masyarakat sipil ajukan uji materi terhadap 14 pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Undang-undang itu salah satunya mengatur komponen cadangan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan uji materi terhadap 14 pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Pengaturan komponen cadangan yang diatur dalam undang-undang tersebut dinilai tidak sesuai dengan konstitusi dan hak asasi manusia.
Peneliti Imparsial sekaligus anggota Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, Husein Ahmad, dalam konferensi pers daring pada Senin (31/5/2021), mengatakan, permohonan uji materi terhadap 14 pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) telah diajukan pada Senin dini hari.
Tim terdiri dari beberapa lembaga, yaitu Imparsial, Elsam, Public Virtue, Kontras, Setara Institute, LBH Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH) Pers. Adapun permohonan diajukan atas nama Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, dan Leon Alvinda Putra.
Peneliti Imparsial sekaligus anggota Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, Husein Ahmad, dalam konferensi pers daring pada Senin (31/5/2021), mengatakan, permohonan uji materi terhadap 14 pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) telah diajukan pada Senin dini hari.
Husein melanjutkan, 14 pasal dalam UU PSDN yang dimaksud di antaranya Pasal 4 Ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 Ayat (1) huruf a, Pasal 28, dan Pasal 29. Selain itu, uji materi juga diajukan untuk Pasal 46, Pasal 66 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82 UU PSDN.
Selain itu, juga ada beberapa substansi yang dinilai bermasalah secara hukum, HAM, dan tata kelola sistem pertahanan dan keamanan. Pertama, terkait ruang lingkup ancaman yang amat luas. Dalam Pasal 4 UU PSDN, ruang lingkup ancaman meliputi ancaman militer, non-militer, dan ancaman hibrida. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal karena komponen cadangan bisa diminta untuk menangani konflik dalam negeri.
Oleh karena itu, Pasal 4 Ayat (2) dan (3) serta Pasal 29 UU PSDN kontradiktif dengan sejumlah ketentuan di UU Pertahanan dan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan 28D Ayat (1), dan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945.
Penetapan komponen cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional dinilai mengabaikan prinsip kesukarelaan. Hal itu terlihat pada Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 Ayat (2), Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82 UU PSDN yang tidak mengatur secara rinci tentang penetapan sumber daya alam dan buatan sebagai komponen cadangan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar conscientious objection pemilik sumber daya. Itu bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.
Substansi lain, sanksi pidana empat tahun bagi setiap orang yang menjadi komponen cadangan kemudian menghindari panggilan mobilisasi. Terkait substansi itu, Pasal 18, Pasal 66 Ayat (1), Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 yang menjamin setiap hak warga negara untuk bebas berpikir, hati nurani, dan beragama.
Selain itu, penggunaan hukum militer bagi komponen cadangan selama masa aktif seperti diatur dalam Pasal 46 UU PSDN juga dinilai tidak tepat. Hal itu bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Terakhir, Pasal 75 UU PSDN yang memperbolehkan sumber penganggaran komponen cadangan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak mematuhi prinsip keterpusatan penyelenggaraan sektor pertahanan negara. Dalam UU Pertahanan dan UU TNI, sumber anggaran pertahanan hanya APBN. Dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan pula bidang pertahanan merupakan urusan pemerintah pusat secara absolut. Oleh karena itu, Pasal 75 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
”Kami mendesak kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengabulkan seluruh permohonan kami, yakni membatalkan sejumlah pasal dalam UU PSDN karena berpotensi merugikan hak konstitusional kami selaku pemohon, bertentangan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi, serta destruktif terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan reformasi sektor keamanan,” kata Husein.
Kami mendesak kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengabulkan seluruh permohonan kami, yakni membatalkan sejumlah pasal dalam UU PSDN karena berpotensi merugikan hak konstitusional kami selaku pemohon. (Husein Ahmad)
Tim advokasi juga memohon Majelis Hakim MK untuk menerbitkan putusan sela yang menyatakan bahwa implementasi UU PSDN, khususnya terkait rekrutmen komponen cadangan ditunda sepanjang uji materi berlangsung di MK. Seperti diketahui, rekrutmen komponen cadangan untuk matra TNI Angkatan Darat akan dimulai pada Juni 2021. Perekrutan terbuka untuk 2.500 orang.
Usman Hamid dari Public Virtue mengatakan, UU PSDN diproses dalam waktu yang relatif singkat di tengah penolakan publik terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 2019. Pengesahan UU PSDN terkesan tiba-tiba dan minim aspirasi publik. Hal itu jauh dari kaidah demokrasi, substansinya pun problematis, sehingga konstitusionalitasnya dipertanyakan.
Ikhsan Yosarie mengatakan, dalam mengantisipasi ancaman pertahanan nasional, semestinya warga negara berpartisipasi sesuai dengan profesinya masing-masing, tidak diseragamkan seluruhnya dengan pendekatan militeristik. Selain itu, pembentukan komponen cadangan juga tidak mendesak. Pemerintah seharusnya memperkuat komponen utama, yaitu TNI, terutama untuk penguatan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Effendi Simbolon, menghormati koalisi masyarakat yang telah mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam UU PSDN. Itu merupakan hak bagi setiap warga negara. Kepada Kementerian Pertahanan, ia pun meminta agar membuat kebijakan sesuai dengan UU PSDN dan tidak membuat tafsir selain yang tertulis dalam UU tersebut.