Penyidikan Dugaan Korupsi Bupati Nganjuk Ditargetkan Selesai Awal Juni
Kepolisian Negara RI tengah melengkapi berkas perkara dugaan korupsi Bupati Nganjuk (nonaktif) Novi Rahman Hidayat. Berkas perkara kasus jual beli jabatan itu ditargetkan dilimpahkan ke kejaksaan pada awal bulan Juni.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI berkomitmen untuk segera menyelesaikan berkas penyidikan perkara korupsi Bupati Nganjuk (nonaktif) Novi Rahman Hidayat. Menurut rencana, berkas akan diserahkan kepada kejaksaan awal Juni mendatang.
Direktur Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Djoko Poerwanto, dihubungi dari Jakarta, Jumat (28/5/2021), menjelaskan, pekan ini tim penyidik tengah berada di Nganjuk, Jawa Timur, untuk melanjutkan penyidikan kasus korupsi Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat. Tim penyidik menggeledah sejumlah tempat, di antaranya kantor dan ruang kerja bupati serta beberapa kantor kecamatan.
Selain itu, penyidik juga memeriksa 24 saksi. Djoko enggan menyebutkan siapa saja saksi yang dimaksud. Namun, dia mengatakan, tidak semuanya merupakan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kabupaten Nganjuk. ”Keterangan para saksi (didalami) dalam rangka menguatkan pembuktian peristiwa pidana suap,” kata Djoko.
Menurut Djoko, berkas penyidikan akan tuntas dalam beberapa hari ke depan. Awal Juni, pihaknya berencana untuk menyerahkan berkas kepada kejaksaan. ”Bantu doa, awal Juni bisa tahap satu, yaitu mengirim berkas perkara ke jaksa peneliti,” ujar Djoko.
Novi Rahman Hidayat ditangkap oleh penyidik Bareskrim Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 Mei 2021 karena dugaan menerima suap dalam lelang jabatan perangkat daerah. Novi dibawa ke Jakarta bersama enam orang lainnya untuk disidik dan tiba pada 11 Mei 2021.
Enam orang yang juga dijadikan tersangka itu adalah Camat Pace Dupriono; Camat Tanjunganom sekaligus Pelaksana Tugas Camat Sukomoro, Edie Srijato; Camat Berbek Haryanto; dan Camat Loceret Bambang Subagio. Dua tersangka lain adalah mantan Camat Sukomoro Tri Basuki Widodo dan ajudan Bupati Nganjuk, M Izza Muhtadin.
Dalam operasi tangkap tangan di Nganjuk, penyidik menyita uang tunai Rp 647.900.000 dari brankas pribadi Novi, delapan telepon genggam, dan beberapa buku tabungan, termasuk buku tabungan Bank Jatim atas nama Tri Basuki Widodo. Selain itu, penyidik juga menyita dokumen terkait pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk.
Novi diduga menerima setoran bervariasi untuk berbagai level jabatan yang dilelang, mulai dari tingkat desa hingga kecamatan. Nilai setoran merentang dari Rp 2 juta hingga Rp 50 juta.
Bukan pertama
Suap terkait jual beli jabatan yang melibatkan Bupati Nganjuk bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, Taufiqurrahman, Bupati Nganjuk yang menjabat dua periode (2008-2013 dan 2013-2018), ditangkap KPK karena tersangkut kasus yang sama pada 2017. Ia divonis penjara 7 tahun dan denda Rp 350 juta. Sebelumnya, KPK juga pernah mengusut kasus serupa di Klaten dan Kudus, Jawa Tengah, serta Cirebon, Jawa Barat.
Penangkapan sejumlah kepala daerah yang memperjualbelikan jabatan merupakan puncak gunung es dari praktik tersebut. Diduga, pengisian jabatan di pemerintah daerah yang dilakukan secara transaksional masih terus terjadi. ”Aroma itu terasa, tetapi sulit mendapatkan bukti,” kata Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto melalui pesan singkat.
Menurut Agus, hal itu terindikasi dari dua hal. Pertama, keputusan pejabat pembina kepegawaian (PPK) untuk tetap mengangkat calon pengisi jabatan sekalipun ada aduan dari masyarakat terkait calon tersebut. PPK merupakan pejabat karier tertinggi di sebuah institusi yang berwenang untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN.
”Kedua, adanya pelanggaran dalam rotasi jabatan yang sudah diminta untuk dibatalkan, tetapi tidak ditindaklanjuti oleh PPK,” ujar Agus.
Senada, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan pun menduga, praktik jual beli jabatan masih terus terjadi. Umumnya kepala daerah merekayasa sistem seleksi dengan menempatkan orang yang berafiliasi dengannya untuk menjadi panitia, kemudian memberikan nilai tertinggi untuk kandidat pengisi jabatan yang sudah ditentukan.
Mengatasi hal itu, menurut Djohermansyah, ke depan pengisi PPK perlu diubah, bukan pejabat politik, melainkan pejabat karier tertinggi (birokrat) di institusi masing-masing. Selain itu, perlu pula dikembangkan talent pool untuk mendata ASN sesuai dengan keahliannya. Data itu bisa jadi rujukan ketika institusi membutuhkan pergantian atau pengisian jabatan.