Pihak DPP PDI-P memandang polemik antara Ketua DPP PDI-P Puan Maharani dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo selaku kader PDI-P merupakan dinamika internal. Partai pun telah memiliki mekanisme untuk mengatasinya.
Oleh
Nikolaus Harbowo/Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P tidak ingin terlalu jauh memikirkan polemik antara Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI-P Puan Maharani dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga kader PDI-P.
Polemik tersebut dianggap sebagai dinamika internal yang lumrah terjadi di setiap partai politik. Bagi PDI-P, konsolidasi internal lebih penting diutamakan saat ini demi pemenangan Pemilu 2024.
Diberitakan sebelumnya, kontestasi menuju Pemilu 2024 ditengarai mulai muncul di level internal PDI-P. Nuansa persaingan terlihat dengan tidak diundangnya Ganjar Pranowo dalam acara Pembukaan Pameran Foto Esai Marhaen di kantor DPD PDI-P Jateng di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (22/5/2021).
Padahal, semua bupati/wali kota di Jateng yang berasal dari partai berlambang kepala banteng itu hadir dalam acara yang dihadiri Puan Maharani tersebut.
Hingga saat ini, pihak DPP belum ada rencana untuk mempertemukan Puan dan Ganjar pascaperistiwa di Semarang.
Ketua DPP Bidang Kehormatan PDI-P Komarudin Watubun, saat dihubungi Kompas, Selasa (25/5/2021), mengatakan, hingga saat ini, pihak DPP belum ada rencana untuk mempertemukan Puan dan Ganjar pascaperistiwa di Semarang.
Partai, lanjutnya, saat ini masih sibuk menggelar rapat kerja cabang di seluruh daerah. Kemudian, menurut rencana, pada Agustus nanti akan ada konsolidasi di tingkat nasional. Ini dilakukan untuk konsolidasi pemenangan Pemilu 2024.
Selain itu, PDI-P juga tengah fokus mendukung kondisi pemerintahan saat ini. Di tengah situasi pandemi Covid-19, pemerintah membutuhkan perhatian penuh dari PDI-P sebagai partai pendukung pemerintah.
”Jadi, (DPP PDI-P) tidak punya waktu untuk membahas (polemik) itu. Kalau soal Mas Ganjar dan Mbak Puan, saya lihat itu dinamika internal antarkader sebenarnya. Jadi, saya kira tidak pada tataran DPP untuk membahasnya dalam rapat khusus,” tutur Komarudin.
Ia berpandangan, polemik antara Puan dan Ganjar merupakan dinamika internal yang lumrah terjadi di setiap partai. Hal semacam itu, menurut dia, tidak tepat jika disebut sebagai faksi. Sebab, faksi lebih mengarah pada perpecahan dan pertarungan yang memecah belah partai.
”Kalau yang terjadi di PDI-P khusus Mbak Puan dan Mas Ganjar, saya lihat sebagai sama-sama kader partai, mereka punya hati yang sama di partai. Jadi, ya, saya kira (dinamika) itu biasa aja,” ujar Komarudin.
Ketika terjadi perbedaan di internal partai, PDI-P sebenarnya sudah memiliki mekanisme baku dari waktu ke waktu.
Peran Megawati
Ketika terjadi perbedaan di internal partai, Komarudin menyampaikan, PDI-P sebenarnya sudah memiliki mekanisme baku dari waktu ke waktu. Misalnya, di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri menggunakan hak prerogatifnya memilih Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon gubernur (cagub). Keputusan tersebut kemudian didukung seluruh jajaran.
Contoh lain, pada Pilkada 2012. Saat itu, Joko Widodo yang tengah menjabat Wali Kota Solo maju menjadi cagub DKI Jakarta. Komarudin mengaku, dukungan di internal PDI-P terbelah, ada yang mendukung Fauzi Bowo, ada pula yang mendukung Jokowi.
”Itu, kan, terjadi pertarungan yang hebat. Tetapi, kan, akhir dari dinamika dalam partai itu, ya, Ibu (Megawati) memutuskan Pak Jokowi di injury time dan semua berjalan baik. Saya kira, kami semua sangat yakin, ya, percaya Ibu (Megawati) punya naluri yang lebih dari kami biasa-biasalah untuk membuat keputusan-keputusan penting seperti itu. Itu sudah teruji,” ucap Komarudin, yang mengaku hampir 30 tahun bersama Megawati di PDI-P.
Lagi pula, lanjut Komarudin, Kongres PDI-P telah memberikan mandat kepada Megawati agar diberi kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan di internal partai. Itu merupakan hak prerogatif yang dimiliki Megawati. Setiap kongres, kewenangan tersebut selalu diperpanjang.
Hal yang sulit adalah ketika partai tidak memiliki mekanisme untuk penyelesaian konflik semacam itu. Akhirnya, yang terjadi adalah aksi saling lempar tanggung jawab dan campur tangan orang lain.
Selain lewat mekanisme hak prerogatif yang dimiliki Ketua Umum PDI-P, seiring berjalan waktu, lanjut Komarudin, partai juga terus mencari mekanisme-mekanisme penyelesaian masalah. Ini juga untuk mengantisipasi agar ke depan partai dapat semakin menemukan kedewasaan. Dengan begitu, setiap permasalahan internal dapat diselesaikan dengan baik.
Peristiwa tak diundangnya Ganjar dalam acara PDI-P di Semarang juga merefleksikan keinginan PDI-P untuk mengulang kesuksesan pada Pemilu Presiden 2014 dengan cara yang lebih solid.
Secara terpisah, pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, berpandangan, peristiwa tidak diundangnya Ganjar Pranowo ke acara PDI-P di Semarang hendak menunjukkan bahwa Ganjar adalah seorang petugas partai. Berikutnya, sebagai Gubernur Jateng, Ganjar masih memiliki tanggung jawab untuk menuntaskan tugas dan janjinya kepada masyarakat Jateng.
”Ada tugas yang masih harus diselesaikan dan jangan terlalu terpaku kepada media sosial. Karena, dari penelitian disertasi saya, media sosial itu tidak signifikan terhadap karier politik seseorang. Media sosial tidak membantu elektabilitas meski membantu meningkatkan popularitas,” kata Hendri.
Menurut Hendri, peristiwa tak diundangnya Ganjar dalam acara PDI-P di Semarang juga merefleksikan keinginan PDI-P untuk mengulang kesuksesan pada Pemilu Presiden 2014 dengan cara yang lebih solid. Ketika itu, Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P dapat diusung menjadi calon presiden. Namun, karena arus bawah menghendaki Joko Widodo, akhirnya Megawati mengambil keputusan untuk mendorong Joko Widodo sebagai calon presiden.
Berdasarkan pengalaman itu, tampaknya kini PDI-P ingin agar keputusan pencalonan presiden diputuskan secara lebih solid melalui Kongres PDI-P dengan awalan yang sama.
Terkait peristiwa tidak diundangnya Ganjar ke acara PDI-P, hal itu dinilai tidak akan merugikan Ganjar. Di sisi lain, PDI-P sebagai partai besar memiliki banyak kader potensial yang dapat didorong ke pentas politik nasional, baik kader yang duduk sebagai pengurus DPP PDI-P maupun yang tidak.