Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tidak diundang dalam acara PDI-P di Semarang. Kontestasi menuju
Pemilu 2024 ditengarai mulai muncul di level internal partai berlambang kepala banteng itu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA/ RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kontestasi di internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ditengarai mulai menghangat meski penyelenggaraan pemilihan umum presiden masih tiga tahun lagi. Keharmonisan partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri itu mulai terganggu dengan persaingan untuk memperebutkan tiket Pilpres 2024.
Nuansa persaingan terlihat dengan tidak diundangnya Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang juga kader senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dalam acara Pembukaan Pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya di kantor Dewan Pimpinan Daerah PDI-P Jateng di Kota Semarang, Sabtu (22/5/2021). Padahal semua bupati/wali kota di Jateng yang berasal dari PDI-P hadir dalam acara yang juga dihadiri Ketua DPP PDI-P Puan Maharani.
Kepala daerah yang hadir di Panti Marhaen itu di antaranya Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Dalam daftar susunan acara yang beredar tertulis arahan dari Puan, semua kader partai, baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif, dari tingkat pusat hingga daerah diundang untuk mengikuti acara pembukaan secara tatap muka. Dalam salinan susunan acara yang tersebar itu pun tertulis, ”Kepala Daerah dan Wakil Kader se-Jateng (kecuali gubernur)”.
Saat dikonfirmasi, Ganjar membenarkan jika ia tidak diundang, ”Iya (tidak diundang),” kata Ganjar melalui pesan singkat, Minggu (23/5/2021).
Ketua DPP PDI-P Bidang Pemenangan Pemilu sekaligus Ketua DPD PDI-P Jateng Bambang Wuryanto pun menegaskan, semua kepala daerah di Jateng yang berasal dari PDI-P diundang, kecuali gubernur. ”Tidak diundang! (Ganjar) wis kemajon (kelewatan). Yen kowe pinter, ojo keminter (meskipun pintar, tapi jangan sok pintar),” kata Bambang seusai acara.
Terlalu berambisi
DPD PDI-P Jateng menganggap sikap Ganjar selama ini menunjukkan bahwa ia terlalu berambisi dengan jabatan presiden. Padahal, sampai saat ini, Megawati sebagai ketua umum belum memberikan instruksi apa pun terkait pilpres. Selain itu, menurut Bambang, kader PDI-P harus tegak lurus pada perintah ketua umum.
Sikap Ganjar itulah yang menurut Bambang tidak baik bagi keharmonisan partai. Ia juga mengingatkan bahwa tingginya elektabilitas Ganjar saat ini hanya terdongkrak dari pemberitaan media dan media sosial. Derajat keterpilihan saat ini pun belum bisa dijadikan patokan keberhasilan dalam pilpres.
Dalam sejumlah survei yang dilakukan sejumlah lembaga, Ganjar selalu menempati lima besar calon presiden (capres) dengan elektabilitas tertinggi. Dalam survei Litbang Kompas pada April lalu, misalnya, elektabilitas Ganjar sebesar 7,4 persen atau menempati posisi keempat setelah Joko Widodo (24 persen), Prabowo Subianto (16,4 persen), dan Anies Rasyid Baswedan (10 persen).
Saat memberikan arahan kepada para kader, Sabtu malam, Bambang menyampaikan bahwa saat ini semua pihak berlomba menuju Pilpres 2024. Namun, untuk memilih calon pemimpin, diperlukan penelusuran rekam jejak guna mengetahui karakter, kompetensi, dan kapasitas.
Pada acara yang sama, Puan juga mengingatkan bahwa kader yang layak diusung dalam pilpres adalah mereka yang benar-benar bekerja untuk rakyat. ”Pemimpin itu, menurut saya, ke depan (yakni) yang memang ada di lapangan, bukan hanya di medsos (media sosial). Pemimpin yang memang dilihat sama teman-temannya, sama orang-orangnya, yang mendukungnya di lapangan. Medsos dan media perlu, tetapi bukan itu saja, memang nyata kerjanya di lapangan,” ujar Puan.
Sudut pandang
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, ada dua sudut pandang untuk melihat peristiwa tak diundangnya Ganjar di acara PDI-P. ”Pertama, itu mungkin terkait dengan kontestasi internal PDI-P menuju 2024, atau yang kedua, sebenarnya itu hanya problem di level internal DPD Jateng. Bisa jadi ada perbedaan cara pandang dan ketidaksepahaman,” ujarnya.
Yunarto mengingatkan, peristiwa itu semestinya tak langsung dikaitkan pilpres. Meski kini elektabilitas Ganjar tinggi, belum tentu PDI-P bakal mengusungnya menjadi calon presiden pada Pilpres 2024.
Namun, pada dua pemilu terakhir, variabel taktis selalu menjadi pertimbangan PDI-P. Sebagai partai politik yang tentu berorientasi pada kekuasaan, elektabilitas menjadi pertimbangan dalam menentukan capres. Itu setidaknya terlihat sejak Pemilu 2014 di mana Megawati memilih Jokowi yang bukan kader senior dan bukan ”darah biru”.
”Ibu Mega pasti akan menilai nama-nama yang muncul. Misalnya, dia akan menilai Puan, menilai Ganjar, dan akan menilai kader-kader lainnya juga dalam kesiapan menyongsong pilpres,” kata Yunarto.
Pertimbangan taktis itulah yang ditengarai membuat Megawati tak akan terburu-buru menentukan pilihan capres. Keputusan untuk mengusung Jokowi sebagai capres yang diusung PDI-P pun diambil di saat terakhir menjelang masa pendaftaran capres-cawapres.
”Biar bagaimanapun keinginan seorang ketum partai itu melihat kadernya solid, serta melihat partai ataupun capresnya menang,” kata Yunarto.
Lebih jauh Yunarto mengatakan, peristiwa Semarang tidak bisa serta-merta merepresentasikan faksi-faksi di internal PDI-P terkait dukungan Pilpres 2024. Ini karena waktu penyelenggaraan pemilu masih relatif lama. PDI-P memerlukan waktu untuk mempertimbangkan perihal capres dengan sangat matang. (DIT/REK)