Di tengah pandemi Covid-19, skor Indonesia pada Indeks Negara Rentan 2021 tetap membaik meski tak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Perbaikan ketahanan negara dalam menghadapi tekanan ini perlu terus dijaga.
Oleh
Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah terpaan pandemi Covid-19, Indonesia termasuk salah satu dari tidak banyak negara yang mampu memperbaiki ketahanan menghadapi tekanan yang bisa menyebabkan negara menjadi gagal. Perbaikan kohesi sosial di tengah pandemi ditengarai menjadi salah satu penopang ketahanan Indonesia.
Indeks Negara Rentan (Fragile State Index/FSI) 2021 menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 dari 179 negara yang dikaji. Semakin besar peringkat satu negara, semakin baik capaian negara tersebut. Pada FSI 2021, Indonesia mendapat skor 67,6. Jika dibandingkan dengan FSI 2020, skor Indonesia membaik 0,2. Dari skala penilaian 0-120, semakin kecil skor, semakin kuat negara menghadapi tekanan yang bisa membuat negara menjadi gagal.
Dengan perbaikan skor itu, Indonesia termasuk dalam jajaran 28,5 persen negara yang skornya membaik di tengah terpaan Covid-19. Dalam Laporan FSI 2021 yang diluncurkan, di Amerika Serikat, Kamis (20/5/2021) malam WIB, hanya 51 negara dari 179 negara yang ketahanannya menghadapi tekanan sosial, ekonomi, dan politik dianggap membaik. Dalam laporan itu disebutkan dalam rentang satu dekade, Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan perbaikan paling signifikan.
Indeks ini menilai ketahanan negara dari empat aspek, yakni sosial, ekonomi, politik, dan kohesi. Setiap bidang itu memiliki tiga indikator. Pada FSI 2021, Indonesia memburuk di aspek politik dibandingkan tahun 2020 (dari 16 menjadi 16,9). Sementara itu, tiga aspek lain membaik, yakni ekonomi (dari 15,7 menjadi 15,4), sosial (15,6 menjadi 15,3), dan kohesi (dari 20,6 menjadi 20).
Adapun aspek kohesi mencakup indikator aparatur keamanan (membaik di 2021), elite yang terfragmentasi (stagnan), dan ketidakpuasan kelompok (membaik).
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, yang dihubungi pada Sabtu (22/5/2021), menilai, perbaikan kohesi itu, antara lain, dipengaruhi banyaknya solidaritas di tengah masyarakat untuk memberi bantuan bagi mereka yang terdampak pandemi. Ruang digital dimanfaatkan untuk menggelorakan solidaritas itu.
Namun, menurut Imam, pada saat yang sama juga ada ancaman kohesi sosial dengan berkembangnya sentimen politik identitas yang merasuki ruang digital. ”Itu menjadi kontraproduktif dan malah menggerus kohesi sosial kebangsaan yang sudah tumbuh,” katanya.
Oleh karena itu, dia mengingatkan, negara tidak boleh terlena dengan perbaikan ini. Apalagi, kohesi sosial tidak hanya mencakup relasi horizontal di antara kelompok masyarakat, tetapi juga relasi vertikal. Hubungan vertikal ini bisa terganggu apabila pelayanan publik tak berjalan maksimal.
”Apalagi ada pejabat atau perangkat pemerintah yang terjerat korupsi dan beririsan langsung dengan hak publik seperti bantuan sosial, ini akan memunculkan distrust di masyarakat. Distrust ini akan merusak relasi vertikal dan memperlemah kohesi sosial,” kata Imam.
Pekerjaan rumah
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies Arya Fernandes mengingatkan, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk memperbaiki politik. Hal itu terlihat dari skor legitimasi negara dan pelayanan publik yang memburuk.
Menurut dia, hal itu disebabkan tingginya kasus korupsi, mulai dari meningkatnya kasus terorisme, kebebasan sipil memburuk, dan respons pemerintah atas demonstrasi.
”Saya kira pekerjaan rumah Indonesia ke depan sangat serius di indikator politik dan ekonomi,” ucap Arya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Sigit Pamungkas mengatakan, pada prinsipnya indeks ini akan menjadi refleksi pemerintah. Atas indikator yang buruk, pemerintah akan memperbaikinya.
Persoalan pertumbuhan ekonomi, misalnya, menurut Sigit, ini merupakan gejala global. Perbaikan pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mengejar target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan. Untuk itu, berbagai program pemulihan ekonomi nasional, pengendalian pandemi Covid-19, dan implementasi reformasi struktural melalui turunan UU Cipta Kerja jadi penting.
”Pelayanan publik terus diperbaiki dengan menjalankan program reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Hidupnya nilai-nilai demokrasi dan pembangunan yang berorientasi rakyat menjadi rujukan penting untuk memperkuat legitimasi negara,” ucap Sigit.
Pemerintah, tutur Sigit, akan terus memperkuat persatuan masyarakat di tengah pluralitas bangsa. Pemerintah tidak akan menolerir tumbuhnya kelompok atau ideologi yang mempertajam segregasi sosial. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika tidak bisa dikompromikan.
”Pada aras politik, kerja sama antarpartai pendukung pemerintah dalam mengawal agenda-agenda strategis semakin disolidkan untuk minimalisasi kontraksi politik yang berimbas ke akar rumput,” kata Sigit.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto menuturkan, di tengah pandemi, perbaikan indikator kohesi patut disyukuri.
”Gotong royong yang kental sebagai budaya bangsa dan nilai-nilai Pancasila telah menyatukan perbedaan dan membuat bangsa ini bertahan,” kata Hasto.
Berkaitan dengan sektor pelayanan publik yang memburuk, menurut Hasto, Presiden Joko Widodo saat ini terus menggaungkan reformasi birokrasi. Pelayanan publik yang berbasis teknologi informasi akan terus didorong untuk mencegah praktik korupsi di birokrasi.
”Itu, kan, juga memotong berbagai mata rantai terjadinya indikasi perbedaan dalam pelayanan publik,” ujar Hasto.
Untuk mendorong perbaikan ekonomi, menurut Hasto, ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik. Partai yang memiliki struktur hingga tingkat akar rumput, didorong untuk menumbuhkan ekonomi mulai dari desa.