Nasib ”Anak Kandung” Reformasi Setelah 23 Tahun Jadi Sorotan
Selama 23 tahun reformasi, lembaga-lembaga yang dilahirkan untuk menjalankan cita-cita reformasi, justru bergerak menjauh dari cita-cita tersebut. Salah satunya, KPK yang dinilai dilemahkan melalui revisi UU KPK.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan menaruh perhatian khusus terhadap kondisi lembaga-lembaga negara yang lahir seusai reformasi 1998. Kondisi ”anak kandung” reformasi itu dinilai tidak berjalan sebagaimana dicita-citakan 23 tahun lalu.
Peringatan 23 tahun reformasi salah satunya diadakan di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Jakarta, Jumat (21/5/2021). Sejumlah elemen masyarakat dari mahasiswa, pengajar, dan aktivis menggelar orasi di depan pintu masuk Gedung DPR. Mereka juga melakukan tabur bunga di poster bergambar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai lembaga-lembaga baru yang lahir seusai reformasi telah berjalan tidak sebagaimana cita-cita awal. Fungsi lembaga-lembaga itu cenderung tidak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.
Ia mencontohkan, kewenangan Komisi Yudisial banyak yang hilang, kondisi Komisi Pemilihan Umum yang dinilainya berantakan dan cenderung muncul perpecahan di antara para penyelenggara pemilu, dan Mahkamah Konstitusi yang tidak bisa lagi mendengar suara publik dengan melakukan koreksi terhadap pembentuk undang-undang.
Satu lembaga lain, yakni KPK, dinilainya sedang berada di titik nadir karena terus dilemahkan. Menurut dia, ketiadaan KPK di konstitusi membuat lembaga antirasuah tersebut sering diserang melalui revisi undang-undang. ”Begitu KPK berakhir, tuntas seluruh anak kandung reformasi, dalam arti fungsi yang hendak dibangun saat 23 tahun lalu,” kata Feri.
Agar lembaga-lembaga tersebut bisa kembali sesuai tujuan awal, menurut dia, harus ada perbaikan sistem demokrasi. Partai politik sebagai pemain utama dan tunggal perlu direformasi karena dominasi mereka saat ini cenderung merusak lembaga-lembaga tersebut.
”Seharusnya ada pembaruan demokrasi internal di tubuh parpol agar betul-betul menjalankan kepentingan rakyat,” ujarnya.
Secara terpisah, aktivis ’98 yang kini menjadi Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya, mengatakan, agenda reformasi yang masih sangat relevan adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Agenda itu seharusnya menjadi gerakan kembali dari seluruh elemen bangsa karena harus diakui praktik KKN masih nyata dalam kehidupan bernegara.
”Pola gerakannya harus baru dan tidak terjebak dalam romantisisme masa lalu. Gerakan anti-KKN yang baru harus lebih modern, menunjukkan kemauan yang kuat, menyasar pada permasalahan mendasar, yakni sistem dan mental, serta tidak terjebak dalam hal yang sloganistik,” katanya.
Menurut dia, praktik korupsi lahir karena sistem dan mental. Dalam praktik bernegara di masa Orde Baru yang otoriter dan asal bapak senang (ABS), praktik korupsi menjadi sebuah keniscayaan. Kini, praktik kehidupan bernegara yang lebih terbuka semestinya bisa mengurangi praktik-praktik tersebut.