Demokrasi Indonesia Setelah 23 Tahun Reformasi
Aspek pembangunan manusia (kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan) warga negara menjadi hal yang tak kalah penting dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Agenda reformasi yang sudah berjalan selama 23 tahun sejak peristiwa Mei 1998, perlu terus dievaluasi. Untuk bisa mengenyam buah kesejahteraan dari demokrasi, butuh keterlibatan nyata dari masyarakat selain peran sentral para penyelenggara negara.
Perkembangan demokrasi Indonesia menjadi hal penting yang harus terus dicermati dalam perjalanan reformasi Indonesia. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis oleh BPS tiap tahunnya menunjukkan tren meningkat. Dari 67,3 (2009) ke 74,92 poin indeks (2019) dan jika dihitung, angka perbaikan kinerja demokrasi mencapai 0,69 poin per tahun.
Jika melihat tren pertumbuhan IDI, dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama, sejak 2009 hingga 2013, angka IDI berada di angka 60-an. Kedua, fase 2014 hingga 2019 yang selalu mencapai angka di atas 70 dengan capaian tertinggi di 2019. Kendati meningkat 2,53 poin dari 2018, IDI 2019 masih berada pada kategori sedang.
Baca juga: Perbaikan Demokrasi Paralel dengan Pemberantasan Korupsi
Perolehan IDI 2019 mendekati target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menargetkan 75,00 poin. BPS menilai, hanya ada satu variabel IDI yang berkategori buruk, yakni variabel partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan (56,72 poin).
Secara keseluruhan, BPS membagi tiga ranah penilaian, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Dari ketiganya, ranah hak-hak politik dan lembaga demokrasi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (naik 4,92 poin dan 3,48 poin). Sedangkan ranah kebebasan sipil dinilai mengalami penurunan sebesar 1,26 poin.
Aspek kebebasan sipil menjadi hal yang perlu diperhatikan karena mengalami penurunan indeks dalam kurun 11 tahun pengukuran mencapai 9,77 poin. Dari empat variabel kebebasan sipil, hanya kebebasan dari diskriminasi yang menunjukkan tren positif (3,43 poin). Sementara itu, tiga variabel lainnya menurun.
Kebebasan berkumpul dan berserikat turun 13,41 poin. Kebebasan berpendapat turun paling tinggi hingga 19,68 poin. Kebebasan berkeyakinan bergerak minus hingga 7,64 poin. Beberapa penyebabnya, adanya ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah dan masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul, berserikat, serta kebebasan berpendapat.
Pembangunan manusia
Meskipun penilaian BPS terhadap IDI secara keseluruhan hingga 2019 mengalami peningkatan, hasil berbeda ditunjukkan oleh penilaian The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam Democracy Index 2020 yang dirilis awal 2021 kemarin, EIU menilai Indonesia mengalami penurunan skor di 2020 jika dibandingkan tahun sebelumnya. Di 2019 Indonesia mendapat skor 6,48, sedangkan di 2020 turun menjadi 6,30.
Dengan skor itu, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dan masih berada dalam kategori negara demokrasi cacat (flawed democracy). EIU memberikan penilaian terhadap 167 negara dan memberikan klasifikasi dalam empat kategori, yaitu demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.
Secara umum, EIU menilai indeks demokrasi dunia di 2020 menurun dibandingkan 2019. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia 2020 sebesar 5,37 atau menurun dari 2019 di angka 5,44. Hasil ini tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunannya pada 2006 silam. Temuan EIU, pandemi Covid-19 yang terjadi di 2020 telah memberikan dampak berarti bagi demokrasi dan kebebasan di dunia.
Merujuk pada laporan yang sama, negara-negara yang mendapat peringkat atas diisi oleh negara Eropa Utara yang dinilai menganut demokrasi penuh. Peringkat pertama dihuni oleh Norwegia dengan skor tertinggi 9,81. Selanjutnya diisi oleh Islandia (skor 9,37), Swedia (skor 9,26), Selandia Baru (skor 9,25), dan Kanada (skor 9,24).
Sedangkan di posisi bawah, dihuni oleh negara-negara yang masih menganut sistem pemerintahan otoritarianisme. Paling buncit tentu dihuni oleh Korea Utara dengan skor 1,08. Kemudian ada Republik Kongo (skor 1,13), Afrika Tengah (skor 1,32), dan Chad (skor 1,55).
Menariknya, indeks demokrasi dari EIU tersebut akan lebih berbunyi bila dielaborasi dengan laporan Human Development Report 2020 yang dirilis oleh Badan Program Pembangunan PBB (UNDP). Dalam laporan tersebut, negara-negara Eropa, kecuali Hongkong (peringkat 4), mendominasi peringkat atas dalam aspek pembangunan manusia. Urutan pertama dihuni oleh Norwegia yang mendapat skor tertinggi sebesar 0,957 untuk 2019.
Indonesia berada di urutan 107 dengan skor 0,718 untuk 2019. Meski berada di urutan tersebut, Indonesia sudah termasuk dalam kategori negara dengan pembangunan manusia dalam kategori tinggi, bersama dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Baca juga: Membaca Arah Kesejahteraan Pascapandemi
Makin tinggi indeks pembangunan manusianya, makin tinggi pula peluang negara tersebut memiliki indeks demokrasi yang tinggi. Negara seperti Korea Utara, Republik Kongo, Afrika Tengah, dan Chad berada dalam kategori indeks pembangunan manusia yang rendah.
Dalam melakukan penilaian ini, Badan Program Pembangunan PBB menggunakan pendekatan dalam kerangka kerja evaluatif terhadap hasil pembangunan, kemampuan berkembang, kebebasan, hingga kesejahteraan suatu negara. Untuk penilaian kali ini, Badan Program Pembangunan PBB lebih melihat peluang tiap warga negara untuk dapat hidup di lingkungan mereka, alih-alih sebatas menilai pertumbuhan Produk Domestik Bruto suatu negara.
Dengan kata lain, dalam kerangka yang lebih luas demi pertumbuhan demokrasi Indonesia harus pula melihat perkembangan sumber daya manusia yang hidup di dalamnya.
Kembali merujuk laporan BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami peningkatan tiap tahunnya. Secara umum, pembangunan manusia Indonesia terus mengalami kemajuan selama periode 2010 hingga 2019.
IPM Indonesia meningkat dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 71,92 pada tahun 2019. Selama periode tersebut, IPM Indonesia rata-rata tumbuh sebesar 0,87 persen per tahun dan pada periode 2018 ke 2019, IPM Indonesia tumbuh sebesar 0,74 persen. Menurut BPS, IPM Indonesia selama ini diukur berdasarkan tiga aspek, yakni dimensi umur panjang dan hidup sehat (kesehatan), dimensi pengetahuan (pendidikan), dan dimensi standar hidup layak (kesejahteraan).
Lantas, mengapa pertumbuhan IPM tiap tahun tidak menjamin tumbuhnya indeks demokrasi Indonesia? Meskipun dalam penilaian BPS terlihat ada pertumbuhan tiap tahunnya, dalam laporan Human Development Report 2020, Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara lainnya. Misalnya, negara tetangga Malaysia yang menduduki peringkat 62 dengan skor 0,810.
Baca juga: Maaf, Negara Belum Hadir Sepenuhnya
Temuan ini sekaligus menyatakan bahwa aspek pembangunan manusia (kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan) warga negara menjadi hal yang tak kalah penting dalam pertumbuhan demokrasi. Pandangan ini sekaligus memberi kerangka yang lebih luas dalam melihat demokrasi yang tidak hanya terbatas pada pranata dan lembaga politik.
Infrastruktur politik
Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, dalam tulisan ”Membangun Infrastruktur Politik” (Kompas, 7/1/2020) mengulas pentingnya membangun infrastruktur politik bagi penguatan demokrasi. Menurutnya, infrastruktur politik adalah individu, kelompok, pranata, dan lembaga yang langsung atau tidak, mendukung kinerja suprastruktur, seperti ideologi, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan aparat pemerintahan.
Akan tetapi, pandangan tersebut perlu dilengkapi dengan peran masyarakat madani (civil society), seperti yang dituliskan oleh Akbar Tandjung (Kompas, 15/1/2020). Peran masyarakat akar rumput (madani) dalam kehidupan berpolitik juga diperlukan dalam tumbuhnya iklim demokrasi.
Baca juga:
> Infrastruktur Politik dan Kualitas Demokrasi
Menyadur pemikiran awal demokrasi dari filsuf Aristoteles dalam “Politika”, tiap manusia sesungguhnya mahkluk politis dan peran antara warga negara dengan pemerintah adalah hubungan timbal balik. Negara bergerak di dalam kerangka prinsip kesetaraan antara manusia dan pemegang kekuasaan ditentukan oleh pilihan warga negara. Itulah sebabnya, aspek kematangan tiap individu menjadi hal yang diandaikan sudah ada terlebih dahulu, sebelum terlibat dalam kehidupan politik demokratis.
Demokrasi bukan hanya milik dan tanggung jawab pemerintah semata, namun perlu keterlibatan nyata dari warga negaranya. Menghargai perbedaan dan keberagaman, serta bijak dalam berpendapat menjadi perilaku nyata yang dapat mulai ditumbuhkan masyarakat demi demokrasi yang lebih baik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Masih Tak Tentu