Kebersamaan Awal Ramadhan Berlanjut hingga Lebaran
Pemerintah menetapkan Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah jatuh pada Kamis (13/5/2021), sama dengan seluruh organisasi kemasyarakatan Islam. Kebersamaan masyarakat mengawali Ramadhan pun berlanjut hingga Lebaran.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebersamaan awal Ramadhan berlanjut hingga Lebaran setelah pemerintah menetapkan tanggal 1 Syawal 1442 Hijriah jatuh pada Kamis (13/5/2021). Tidak ada perbedaan Hari Raya Idul Fitri karena Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan organisasi kemasyarakatan Islam lainnya juga menetapkan tanggal 1 Syawal jatuh pada hari Kamis.
Penetapan 1 Syawal 1442 Hijriah diputuskan dalam sidang isbat yang digelar secara daring dan luring di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (11/5/2021). ”Awal Syawal 1442 Hijriah jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021 Masehi. Saya berharap seluruh masyarakat mematuhi protokol kesehatan dan yang paling penting, besok supaya tidak ada takbir keliling karena berpotensi mengakibatkan kerumunan sehingga potensi penyebaran Covid-19 semakin terbuka,” kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas seusai sidang isbat.
Sidang isbat dihadiri Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily, Ketua MUI KH Abdullah Jaidi, perwakilan duta besar negara sahabat, dan pimpinan organisasi masyarakat Islam.
Ketetapan 1 Syawal 1442 Hijriah melalui sidang isbat itu sama dengan ormas-ormas Islam di Indonesia, termasuk Muhammadiyah dan NU, yang juga menetapkan Idul Fitri jatuh pada hari Kamis. Penetapan ini membuat seluruh umat Islam di Indonesia mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan bersama-sama.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sudah lebih dulu menetapkan hari Idul Fitri, yakni pada Senin (10/5/2021). Melalui maklumat bernomor 01/MLM/I.O/E/2021, PP Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1442 Hijriah jatuh pada hari Kamis, sesuai dengan hisab (perhitungan) oleh persyarikatan tersebut. Dari hasil hisab itu, Muhammadiyah juga menetapkan 10 Zulhijah 1442 Hijriah atau Idul Adha jatuh pada Selasa (20/7/2021).
Adapun NU, melalui surat pemberitahuan hasil rukyatul-hilal bi fi’li awal Syawal 1442 Hijriah yang diterbitkan Selasa (11/5/2021), memberitahukan bahwa awal bulan Syawal 1442 Hijriah jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021. Ini didasarkan pada hasil rukyat di beberapa lokasi tidak berhasil melihat hilal. Oleh sebab itu, warga nahdliyin dan umat Islam pada umumnya agar menyempurnakan ibadah puasa 30 hari.
Abdullah Jaidi menuturkan, kesepakatan 1 Syawal 1442 Hijriah yang jatuh pada 13 Mei 2021 sudah diprediksi sebelumnya. Dari seluruh organisasi masyarakat Islam dan penghitungan ahli hisab, hari ini belum terjadi ijtimak dan bulan masih jauh dari ufuk sehingga puasa Ramadhan digenapkan 30 hari.
Hilal tidak terlihat
Dalam keterangan yang disiarkan melalui saluran Youtube Kemenag, Yaqut mengatakan, penetapan 1 Syawal 1442 Hijriah menggunakan metode hisab dan rukyat. Keduanya saling melengkapi satu sama lain sehingga disepakati jatuh pada 13 Mei 2021.
Sidang menyepakati keputusan tersebut karena dua hal. Pertama, mendengar paparan Tim Unifikasi Kalender Hijriah Kemenag yang menyatakan tinggi hilal di seluruh Indonesia di bawah ufuk, yaitu berkisar dari minus 5,6 derajat sampai dengan minus 4,4 derajat. Dengan posisi demikian, secara astronomis atau hisab, hilal tidak dimungkinkan untuk dilihat.
Hal ini selanjutnya terkonfirmasi oleh pernyataan para petugas rukyat yang diturunkan Kemenag di 88 lokasi di seluruh Indonesia. ”Kita mendengar laporan dari sejumlah perukyat hilal bekerja di bawah sumpah, mulai dari Aceh hingga Papua. Di 88 titik tersebut, tidak ada satu pun perukyat dapat melihat hilal,” ujar Yaqut.
Pakar astronomi dari Tim Unifikasi Kalender Hijriah Kemenag, Cecep Nurwendaya, menambahkan, ketinggian hilal minus menunjukkan hilal belum lahir. Berdasarkan sidang Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, kriteria imkanur rukyat disepakati adalah minimal tinggi hilal 2 derajat, elongasi minimal 3 derajat, dan umur bulan minimal delapan jam setelah terjadi ijtimak.
Simbol kebersamaan
Dengan penetapan itu, Yaqut mengharapkan, seluruh umat Islam di Tanah Air dapat merayakan Idul Fitri bersama-sama. ”Mudah-mudahan dengan hasil sidang isbat ini, seluruh umat Islam di Indonesia dapat merayakan Idul Fitri secara bersama-sama. Mudah-mudahan ini adalah simbol cerminan kebersamaan umat Islam di Indonesia, kebersamaan yang menjadi wujud dari kebersamaan kita sebagai anak bangsa, untuk menatap masa depan yang lebih baik secara bersama-sama,” tuturnya.
Ace Hasan mengatakan, masyarakat patut berbahagia karena pemerintah menetapkan Lebaran sama dengan ormas-ormas Islam. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam bersatu menyatukan diri dalam merayakan Idul Fitri secara bersama-sama.
”Ini menjadi modal bagi kita semua di tengah pandemi, kita tetap menyatukan diri di dalam ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah,” ucapnya.
Patuhi protokol kesehatan
Dalam kesempatan itu, Yaqut juga mengingatkan masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dalam merayakan Idul Fitri. Protokol kesehatan ketat harus tetap diperhatikan untuk mencegah penularan serta menghindari munculnya kluster penularan baru Covid-19.
”Takbiran sebaiknya dilaksanakan di rumah masing-masing. Sementara takbiran di masjid dan mushala mengikuti ketentuan maksimal 10 persen dari kapasitas,” katanya.
Dalam Surat Edaran Kemenag Nomor 07 Tahun 2021 tentang Panduan Penyelenggaraan Shalat Idul Fitri Tahun 1442 H/2021 M di Saat Pandemi Covid-19 disebutkan, malam takbiran menyambut Idul Fitri pada prinsipnya dapat dilaksanakan di semua masjid dan mushala. Namun, kegiatan takbir keliling ditiadakan untuk mengantisipasi keramaian.
Kegiatan takbiran di masjid dan mushala dilaksanakan secara terbatas maksimal 10 persen dari kapasitas. Pelaksanaannya harus memperhatikan protokol kesehatan secara ketat, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Kegiatan takbiran tersebut dapat disiarkan secara virtual.
Adapun untuk pelaksanaan shalat Idul Fitri, masyarakat yang berada di daerah yang mengalami tingkat penyebaran Covid-19 tergolong tinggi (zona merah dan zona oranye) agar melakukannya di rumah masing-masing. Hal ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam lainnya.
Pelaksanaan shalat Idul Fitri dapat diadakan di masjid dan lapangan apabila di daerah tersebut dinyatakan aman dari Covid-19 atau berada di zona hijau dan zona kuning berdasarkan penetapan pihak berwenang. Jemaah yang hadir tidak boleh lebih dari 50 persen dari kapasitas agar memungkinkan untuk menjaga jarak antarsaf dan antarjemaah.
Silaturahmi dalam rangka Idul Fitri pun hanya boleh dilakukan bersama keluarga terdekat dan tidak menggelar kegiatan silaturahmi di lingkungan kantor atau komunitas. Ketentuan dari pemerintah itu sejalan dengan seruan NU, Muhammadiyah, dan MUI.
Atas kondisi masih melonjaknya kasus Covid-19, MUI menyerukan umat Islam untuk tetap waspada dan mematuhi protokol kesehatan yang ketat dan menjauhi kerumunan saat merayakan Idul Fitri. MUI juga meminta pemerintah tetap membatasi mobilitas warga. ”Tidak melakukan mudik untuk menjaga kesehatan keluarga dan diri kita,” kata Abdullah.
Imbauan senada disampaikan Ace yang hadir dalam sidang isbat. Politikus Partai Golkar itu mengingatkan masyarakat untuk tidak mengurangi kewaspadaan dalam menjaga protokol kesehatan karena kesehatan harus tetap diprioritaskan.
”Protokol kesehatan harus menjadi keharusan agar perayaan keagamaan tidak menjadi pusat kluster baru Covid-19,” kata Ace.