Ketua dan Anggota DKPP Diadukan ke Lembaganya Sendiri
Untuk kali pertama, ketua dan tiga anggota DKPP dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik ke lembaganya sendiri, DKPP. Pemohon meminta majelis kehormatan independen menangani pelaporan dugaan pelanggaran itu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Muhammad beserta tiga anggota DKPP, Ida Budhiati, Teguh Prasetyo, dan Alfitra Salamm, menjadi ujian bagi kredibilitas dan akuntabilitas lembaga tersebut. Hal itu karena, mulai dari proses penanganan laporan hingga majelis kehormatan yang dibentuk jika laporan lolos verifikasi, seluruhnya ditangani oleh unsur internal DKPP.
Laporan dugaan pelanggaran etik diadukan oleh Vitman Surya Rizal dari Masyarakat Pemerhati Pemilu dan Demokrasi Lampung, Senin (12/4/2021).
Dalam aduannya, Muhammad, Ida Budhiati, Teguh Prasetyo, dan Alfitra Salamm diduga telah melakukan pelanggaran etik dalam mengeluarkan putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 yang salah satu isinya memberhentikan anggota KPU, Evi Novida Ginting Manik. Putusan itu dianggap tidak sesuai prosedur karena diambil tanpa memenuhi syarat kuorum pengambilan keputusan.
”Sesuai peraturan DKPP, setiap laporan ke DKPP akan diverifikasi formil dan materiil untuk ditindaklanjuti kemudian,” kata Ketua DKPP Muhammad di Jakarta, Selasa (13/4/2021).
Saat dikonfirmasi, Vitman mengatakan, laporan itu diterima anggota staf DKPP bernama Mila. Ia juga melampirkan sejumlah alat bukti, antara lain Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019, Peraturan DKPP Nomor 3 dan 4 Tahun 2017, pendapat ahli hukum dalam eksaminasi Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019, serta Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang isinya membatalkan Keputusan Presiden RI yang memberhentikan Evi.
Vitman menilai ketua dan tiga anggota DKPP yang memutus perkara nomor 317 tidak patuh terhadap syarat aturan kuorum dalam melaksanakan rapat pleno. Dalam Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu, rapat pleno harus dihadiri paling sedikit lima anggota. Namun, saat memutus perkara itu, rapat pleno hanya diikuti empat anggota.
Ternyata pada Januari 2020 atau tiga bulan sebelum putusan itu dibacakan, Muhammad yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas Ketua DKPP menerbitkan Surat Keputusan DKPP Nomor 4 tahun 2020 yang menetapkan rapat pleno anggota DKPP dapat dihadiri paling sedikit empat orang. Surat Keputusan itu kemudian digunakan sebagai acuan untuk menggantikan aturan kuorum dalam Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017.
”Tindakan Muhammad yang mengubah komposisi kuorum rapat pleno hanya melalui surat keputusan DKPP sangat sarat kepentingan dan merupakan tindakan melampaui batas kewenangannya. Bahkan, secara formil-substansial bertentangan dengan peraturan yang mereka atur sendiri,” ujar Vitman.
Ketua DKPP memang mengeluarkan Keputusan No 04/SK/K.DKPP/SET-04/I/2020 tentang Rapat Pleno Pengambilan Keputusan yang menetapkan antara lain rapat pleno pengambilan keputusan DKPP dilakukan secara tertutup yang dihadiri enam anggota DKPP, kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit empat anggota DKPP.
Keputusan tersebut lahir untuk merespons diangkatnya Harjono sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantas Korupsi.
Majelis independen
Vitman meminta agar dibentuk majelis kehormatan independen untuk memeriksa Muhammad, ida, Teguh, dan Alfitra. Ia juga meminta agar majelis kehormatan independen memberikan sanksi berupa pemberhentian tetap sebagai anggota DKPP terhadap keempat orang tersebut.
Anggota DKPP, Didik Supriyanto, mengatakan, secara prosedur, ketua dan anggota DKPP akan melakukan verifikasi terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik dalam forum rapat pleno. Dalam rapat verifikasi itu, DKPP memberikan kesempatan kepada teradu untuk menyampaikan klarifikasi. Berdasarkan hasil verifikasi, DKPP dapat membentuk majelis kehormatan.
Adapun keanggotaan majelis kehormatan berjumlah lima orang yang terdiri dari unsur anggota DKPP. Satu anggota merangkap sebagai ketua, sedangkan empat orang sebagai anggota. Dengan kata lain, kalaupun majelis nantinya dibentuk, tetap berasal dari unsur anggota DKPP, bukan majelis independen atau dari luar DKPP. Meski demikian, majelis tetap dituntut memeriksa dugaan pelanggaran secara transparan dan akuntabel.
”Ini menjadi tantangan bagi DKPP karena belum pernah terjadi sebelumnya,” ujarnya.
Anggota Dewan Pembina Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, pelaporan ini menjadi ujian bagi kelembagaan DKPP terkait dengan kredibilitas dan akuntabilitas kerja mereka. Sebab, pelaporan ini berkaitan dengan kepentingan langsung dari anggota DKPP.
”Pelaporan merupakan mekanisme kontrol terhadap akuntabilitas kerja DKPP sebagai lembaga penegak etik yang sudah semestihnya patuh pada standar etik penyelenggara pemilu yang mengikat mereka,” katanya.
Karena majelis kehormatan berasal dari anggota DKPP sendiri, transparansi dan akuntabilitas sangat dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan publik bahwa DKPP akan bersikap adil dalam menangani dugaan pelanggaran etik oleh internalnya sendiri. Publik juga diharap tetap proporsional dalam menilai laporan ini dan tetap memegang asas praduga tak bersalah sebab proses tersebut baru tahap awal dan masih memerlukan pembuktian lanjutan.
”Keterbukaan dan transparansi proses penanganannya perlu dilakukan oleh DKPP agar publik bisa percaya bahwa tidak ada bias atau benturan kepentingan dalam penyelesaiannya,” ucap Titi.
Selain melaporkan dugaan pelanggaran kode etik ke DKPP, kata Vitman, Masyarakat Pemerhati Pemilu dan Demokrasi Lampung juga melaporkan Muhammad ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Ketua DKPP diduga masih aktif mengajar atau menjalankan profesinya sebagai pengajar di Universitas Hasanuddin, padahal telah menjadi pejabat negara sehingga mendapatkan penghasilan ganda dari negara.
”Saya cek dahulu laporannya,” kata Ketua KASN Agus Pramusinto.