Istana dan Pengambilalihan TMII
Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah, yang sudah puluhan tahun ada di tangan Yayasan Harapan Kita, kini diambil alih negara. Keterangan pers pengambilalihan TMII dilakukan dua kali dalam jeda tiga hari.
Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) kini diambil alih Kementerian Sekretariat Negara. Setelah puluhan tahun mengelola TMII, Yayasan Harapan Kita diminta menyerahkan pengelolaan kawasan taman wisata seluas lebih kurang 150 hektar itu kepada pemerintah.
TMII sementara waktu akan dikelola tim transisi yang nantinya akan digantikan sebuah badan usaha milik negara di bidang pariwisata. Harapannya, TMII tak sekadar ada, tetapi menjadi ikon budaya Indonesia yang memberikan kontribusi kepada masyarakat dan negara.
Pengumuman pengambilalihan TMII disampaikan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (7/4/2021), di Kantor Mensetneg, Jakarta. Dia menyebut pemerintah akan mengelola aset strategis ini secara akuntabel supaya bermanfaat untuk masyarakat ataupun keuangan negara. Apalagi, pembangunan dan pengelolaannya dilakukan bersama banyak kementerian, pemerintah daerah, dan BUMN.
Baca juga: Merugi dan Tunggak Pajak, Pemerintah Ambil Alih Pengelolaan TMII
Beberapa hari kemudian, Jumat (9/4/2021), Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko diminta Presiden Joko Widodo menegaskan kembali sikap pemerintah terhadap keberadaan TMII yang dinilai ”sekadar ada”. Bahkan, Moeldoko ditugaskan khusus menangani pengambilalihan TMII dari Keluarga Cendana atau keluarga Presiden ke-2 RI Soeharto.
Menurut sumber Kompas, penjelasan Pratikno sebelumnya dianggap kurang ”nendang” sehingga Moeldoko diminta menegaskan kembali sikap Presiden Jokowi.
Kepada wartawan di Gedung Bina Graha Jakarta, Moeldoko mengatakan, tim transisi pengambilalihan TMII akan langsung bekerja. Dalam Keputusan Mensesneg Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Transisi Pengelolaan dan Serah Terima TMII disebutkan, pengarah tim transisi adalah Mensesneg, Sekretaris Kabinet, dan Kepala Staf Kepresidenan.
Adapun tim transisi dipimpin Sekretaris Kementerian Setneg. Tim juga didampingi tim asistensi yang terdiri dari Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Kepala Polda Metro Jaya, Panglima Kodam Jaya, dan Chandra M Hamzah.
Awal pembangunan
Proyek Miniatur Indonesia Indah (MII), demikian sebutan TMII dahulu, digagas almarhumah Nyonya Tien Soeharto, ibu negara di masa Presiden Soeharto berkuasa. Harapannya, TMII dapat berfungsi seperti ”Disneyland” di Amerika Serikat, tetapi isinya Indonesia dalam bentuk mini.
Harian Kompas mencatat, pada 1971 ratusan warga memprotes ganti rugi yang dirasa terlalu murah. Pembangunan TMII saat itu dinilai ”merampas tanah rakyat”. Gubernur DKI Jakarta menetapkan harga Rp 100 per meter persegi, sedangkan penduduk menuntut Rp 250 per meter persegi sesuai harga umum di sana saat itu.
Saat itu, proyek TMII berdiri di atas lahan 100 hektar dengan biaya Rp 10,5 miliar. Rencana pembangunan juga sempat menuai kritik dan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar. Pembangunan MII dinilai menyedot anggaran pembangunan. Sejumlah tokoh juga ikut menolak pembangunan TMII, seperti WS Rendra dan Arief Budiman.
”Dananya, di antaranya, berasal dari uang cukai di APBN, uang daerah, dan sumbangan sejumlah pengusaha,” ujar pejabat di lingkungan Istana kepada Kompas, Jumat lalu.
Saat itu, Menteri Luar Negeri Adam Malik, Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro, sampai Presiden Soeharto ramai- ramai membantah dan menyebut MII sebagai proyek swasta. Tidak ada alokasi di APBN untuk pembangunan proyek yang dilakukan Yayasan Harapan Kita yang diketuai oleh Nyonya Tien Soeharto.
Namun, pimpinan proyek ini dipegang Penjabat Gubernur DKI Ali Sadikin dan wakilnya adalah Ali Moertopo, yang saat itu menjabat Deputi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara. Selain itu, semua gubernur saat itu diminta mencari sumbangan masing- masing Rp 40 juta-Rp 50 juta untuk pembangunan MII, khususnya anjungan tiap daerah.
Kritik akhirnya berhenti setelah Presiden Soeharto dengan tegas menyatakan akan menindak penggunaan hak demokrasi yang dinilai sudah berlebihan terhadap pembangunan semesta yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru pada waktu itu.
Pembangunan TMII secara fisik yang dimulai awal 1972 akhirnya rampung pada 1974. Presiden Soeharto meresmikan TMII 20 April 1975 sembari ”mengembalikan” TMII kepada Yayasan Harapan Kita.
Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden No 51/1977. Keppres itu menyebutkan TMII adalah milik Negara Republik Indonesia. Adapun penguasaan dan pengelolaan TMII diserahkan kepada Yayasan Harapan Kita, yang notabene dipimpin dan diurus oleh putra-putri Presiden Soeharto.
”Pak Harto sebenarnya menjalankan model pengelolaan TMII secara build operate transfer (BOT) di awal karena pada waktu itu tidak ada lembaga atau yayasan yang bisa benar-benar menjalankan dan mengelola TMII secara baik. Selanjutnya akan diserahkan kepada negara jika sudah selesai masa BOT,” kata pejabat di Gedung Setneg, Kamis (8/4).
Sementara setelah dikelola Yayasan Harapan Kita, TMII kurang diminati, berbeda jauh dari bayangan awal bisa jadi seperti Disneyland. ”Bagaimana mau seperti Disneyland di AS kalau tiket masuknya cuma Rp 5.000 per orang. Kendaraan roda empat Rp 10.000, yang datang juga kebanyakan anak-anak sekolah. Jadi, yayasan tentunya nombok terus untuk kelangsungan TMII,” tuturnya.
Sepeninggal Nyonya Tien Soeharto, yayasan itu tetap dikelola oleh putra-putri Soeharto dan Nyonya Tien. Dalam situs tamanmini.com disebutkan Bambang Trihatmodjo adalah pembina Yayasan Harapan Kita, Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Tutut Soeharto) sebagai ketua umum.
Sejak terbit Keppres No 51/1977, TMII dicatatkan sebagai aset negara di bawah Kementerian Setneg. Kendati menggunakan lahan negara dengan status hak pakai, Yayasan Harapan Kita sebagai pengelola tak pernah memberi laporan ataupun pendapatan kepada negara.
Padahal, kedua belas museum dan 33 anjungan daerah dikelola unit-unit di bawah kementerian/lembaga, BUMN, dan pemda. Yayasan Harapan Kita tak perlu mengeluarkan uang untuk pemeliharaan museum dan anjungan, tetapi bisa menarik tiket dan sewa tempat di kompleks ini.
Direktur Utama TMII Tanribali Lamo tak mau berkomentar soal pengambilalihan itu. Kepada Kompas, Rabu, ia mengatakan, dirinya dan pimpinan Yayasan Harapan Kita baru akan rapat di Kementerian Setneg, Jumat.
Klaim subsidi
Moeldoko menyebut pengelolaan TMII merugi dari waktu ke waktu. Yayasan Harapan Kita mengklaim menyubsidi TMII Rp 40 miliar-Rp 50 miliar per tahun. ”Pastinya, tidak memberi kontribusi kepada negara,” kata Moeldoko.
Meski sejak 2016 pendampingan oleh Mensesneg sudah dilakukan, tidak ada perbaikan. Audit BPKP, BPK, dan legal audit dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menilai, TMII tak berkontribusi pada keuangan negara. Mensesneg diminta segera menentukan kebijakan atas pemanfaatan tanah kompleks TMII serta memproses sesuai ketentuan perundangan supaya memberi manfaat bagi negara. TMII direkomendasikan menjadi badan layanan umum, dioperasikan oleh pihak lain, atau dikelola melalui kerja sama pemanfaatan (KSP).
Presiden Jokowi, 31 Maret 2021, menerbitkan Peraturan Presiden No 19/2021 yang menegaskan pengelolaan TMII oleh Kementerian Setneg.
Sekretaris Kementerian Setneg Setya Utama dalam konferensi pers menambahkan, status TMII akan menjadi KSP. Adapun mitra KSP ini akan dipilih sesuai Peraturan Pemerintah No 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang telah diubah melalui PP No 28/2020.
Pratikno juga mengatakan, BUMN di bidang pariwisata akan ditunjuk untuk mengelola TMII. Dia membantah adanya desas-desus bahwa TMII akan dikelola yayasan yang dibentuk Presiden Jokowi atau keluarganya.
Terkait itu, Moeldoko juga meminta tak ada yang berpandangan bahwa akan ada yayasan yang dikelola Presiden Jokowi. ”Itu pandangan primitif. Pak Jokowi tidak berpikir seperti itu. TMII akan dikelola secara profesional oleh BUMN pariwisata,” ujarnya.
Malah, ke depan, Moeldoko menambahkan, TMII akan dikelola sebagai kawasan pelestarian dan pengembangan budaya bangsa, sarana wisata, dan edukasi budaya Nusantara.
TMII yang kini seluas hampir 150 hektar dan bernilai sekitar Rp 20 triliun juga dijanjikan akan tetap melestarikan budaya bangsa. Harapannya, selain menjadi sarana edukasi budaya bangsa, TMII juga bisa menjadi semacam jendela budaya Indonesia ke dunia internasional.
”TMII juga akan didorong menjadi pusat inovasi generasi muda di era revolusi industri ini, terutama dari para kreator dan inovator muda Indonesia,” tambah Pratikno.
Selama proses transisi ini, Pratikno menambahkan,TMII akan tetap beroperasi seperti biasa. Semua staf juga diharap bekerja seperti biasa. Hak keuangan dan fasilitas para staf juga dijanjikan tetap diperoleh. Sebab, secara otomatis, semua operasi berlanjut dalam pengelolaan tim transisi.