Daniel Dhakidae termasuk salah seorang intelektual yang lurus dalam berpikir. Ia menganggap tugas intelektual adalah mengkritik tanpa henti. Setelah ia berpulang, Indonesia kehilangan seorang intelektual publik.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Indonesia kembali kehilangan salah seorang intelektual publik; Daniel Dhakidae (75). Kepergian Daniel menjadi duka bagi kaum intelektual Indonesia. Daniel dikenal sebagai salah satu intelektual yang bisa memaksa pemerintahan Orde Baru menghormati kaum-kaum intelektual. Bahkan, dia menjadi salah satu pelopor berpikir kritis pada masa Orde Baru yang dikenal otoriter.
Daniel, yang merupakan Pemimpin Majalah Prisma, serta pernah menjadi Kepala Litbang Kompas, berpulang pada Selasa (6/4/2021) pukul 07.24 WIB di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta. Adik kandung Daniel, Lius, mengatakan, Daniel mengalami serangan jantung sekitar pukul 03.00 WIB di rumah dan segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Namun, ia mengembuskan napas terakhirnya di usia 75 tahun.
Karier intelektual Daniel dimulai sejak berkuliah di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada. Cendekiawan Muslim Fachry Ali mengatakan, Daniel sudah banyak terlibat dalam aktivitas intelektual sejak kuliah di Yogyakarta. Tak lama setelah lulus tahun 1975, ia menjadi redaktur majalah Prisma pada tahun 1976.
”Antara Daniel dan Prisma hanya berjarak 1 inci, sebelum atau setelah mengorganisasikan Prisma sehingga dengan mudah menjadi bagian terpenting dari Prisma itu sendiri,” katanya.
Majalah Prisma adalah majalah akademik yang diterbitkan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sejak tahun 1971. Majalah ini pada awalnya terbit setiap bulan, tetapi kini terbit tiap tiga bulan sekali.
Selama berkarier di majalah Prisma, Daniel tak hanya berkiprah sebagai redaktur. Ia juga menjadi Ketua Dewan Redaksi Prisma (1979-1984) dan hingga kini masih tercatat sebagai Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi. Ia juga pernah menjadi Wakil Direktur LP3ES pada kurun waktu 1982-1984.
Fachry menuturkan, Daniel termasuk salah satu intelektual yang lurus dalam berpikir. Selama karier intelektualnya, Daniel menganggap tugas intelektual adalah melakukan kritik tanpa henti. Ini berbeda dengan banyak intelektual lain yang setelah masa Orde Baru masuk dalam lingkaran kekuasaan sehingga gagasan yang dikembangkan menjadi bias.
”Sebagai akibatnya, tidak ada kritik, terutama terhadap tingkah laku kekuasaan yang sedang berlangsung,” ucapnya.
Menurut Fachry, Daniel adalah salah satu pusat diseminasi intelektual yang memberikan penyegaran atas kegairahan kaum intelektual. Itu terjadi sejak masa Orde Baru hingga sekarang.
”Daniel pada masanya adalah desiminator intelektual yang mampu memaksa pemerintah untuk menghormati kaum intelektual,” tuturnya.
Atas kerja kerasnya itu, menteri-menteri di masa Orde Baru juga ikut menulis di majalah Prisma. Dengan demikian, rezim Orde Baru yang cenderung memusuhi kaum intelektual akhirnya dipaksa memahami jalan pikiran intelektual. ”Ini yang menjadikan majalah Prisma sangat prestisius,” kata Fachry.
Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J Rachbini mengatakan, Daniel merupakan intelektual yang egaliter, tidak hanya dalam perkataan, tetapi juga dalam praktik keseharian. Ia tidak mau rekan-rekannya yang lebih muda memanggil ”bapak” karena merefleksikan hierarki dan merupakan simbol feodalisme.
Daniel juga dikenal seorang intelektual yang kritis terhadap pemerintahan. Ia selalu menjaga jarak, bahkan sangat jauh dengan kekuasaan, berbeda dengan intelektual kebanyakan. Bahkan, ia menjadi motor kehebatan Prisma pada tiga dekade terakhir sejak 1970-an hingga 1990-an.
Pengajar di Murdoch University, Australia, Ian Wilson, mengatakan, Daniel merupakan intelektual publik yang sangat penting dan berpengaruh. Almarhum merupakan pelopor berpikir kritis pada zaman Orde Baru yang warisan dan kontribusinya akan terus hidup.
Media massa
Daniel melanjutkan studi di bidang Ilmu Politik di Cornell University, Amerika Serikat, dan meraih gelar master of art pada 1987. Kuliahnya berlanjut hingga meraih gelar PhD di bidang pemerintahan dari Departmen of Government di kampus yang sama pada 1991.
Bahkan, desertasinya bertajuk ”The State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry” mendapatkan penghargaan the Lauriston Sharp Prize dari Southeast Asian Program Cornell University. Desertasinya dianggap memberikan sumbangan luar biasa bagi perkembangan ilmu.
Kemampuan Daniel dalam ilmu pengetahuan dan dunia jurnalistik pun dilirik pendiri Kompas, Jakob Oetama. General Manager Litbang Kompas Harianto Santoso mengungkapkan, bergabungnya Daniel ke Kompas tak terlepas dari permintaan Jakob Oetama. Daniel menjadi Kepala Litbang Kompas selama 10 tahun sejak 1995 hingga 2005. Usai pensiun, ia menjadi Kepala Ombudsman Kompas.
Ketika ditugasi memimpin Litbang Kompas, Daniel dianggap mampu menjawab cita-cita sang pendiri agar Kompas bisa mendudukkan perkara yang terjadi di masyarakat. Caranya ialah menggabungkan kemampuan jurnalistik dengan penelitian sosial. Bahkan di era Daniel, Litbang Kompas berkembang dan memiliki tradisi polling seperti yang dilakukan saat bekerja di LP3ES.
Harianto menceritakan, pada awal bergabung di Litbang Kompas, Daniel sering bertanya-tanya tentang kontribusi peneliti di sebuah surat kabar. Pasalnya, peneliti membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan wartawan untuk menghasilkan sebuah produk karena kompleksitas metodologi yang harus dilalui. Ini berbeda dengan kerja wartawan yang dituntut bekerja dengan dibatasi tenggat waktu.
”Daniel bisa mengawinkan keduanya sehingga muncul jalan keluar berupa opini publik. Wartawan menghubungi narasumber, sedangkan peneliti dari sisi masyarakatnya. Dia menjadikan peneliti di Litbang Kompas mengenal metodologi penelitian sekaligus ilmu sosiologi,” tutur Harianto.
Bagi Redaktur Senior Kompas Rikard Bagun, Daniel sangat berkontribusi bagi Indonesia melalui diskusi, tulisan kritis, dan penelitian. Sebagai peneliti, Daniel menjadi seorang mentor dan tidak berusaha menggurui pihak lain. Ia selalu membangun komunikasi kritis, senang berdialog, dan berdiskusi.
”Sebagai akademisi, tulisannya berbobot, antara lain, karena bertumpu pada literatur beberapa bahasa asing yang dikuasai, seperti bahasa Latin, Jerman, Belanda, Perancis, dan Inggris,” katanya.
Rekan Daniel di Ombudsman Kompas, Ignatius Haryanto, menuturkan, Daniel seorang yang lugas ketika mengemukakan pendapatnya. Wawasan berpikirnya pun luas karena menguasai sejumlah bahasa asing sehingga bisa memadukan pengetahuan klasik dengan khazanah pengetahuan zaman sekarang.
”Jelek dia katakan jelek, bagus dia katakan bagus, misalnya terhadap produk Kompas atau apa pun yang dia lihat,” ujarnya.
Menurut dia, disertasinya di Cornell University adalah desertasi terbaik yang membahas pers Indonesia, sekalipun dibandingkan dengan karya penulis dari luar negeri. Bukunya yang berjudul Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) dinilai tidak akan bisa ditandingi intelektual Indonesia lainnya. Buku setebal sekitar 600 halaman itu ditulis dengan penuh kedisiplinan selama bertahun-tahun.
Sependapat dengan Haryanto, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto menilai, disertasi Daniel adalah salah satu magnum opus dalam bidang media dan demokrasi. ”Saya menghafalnya di luar kepala sebagai salah satu inspirasi utama disertasi saya. Disertasi ini merefleksikan tak hanya kecendekiaan, tetapi juga kerja keras dan keberanian,” ucap Wijayanto yang disertasinya di Leiden University, Belanda, diuji Daniel.
Bergabungnya Daniel ke Litbang Kompas dinilai berkontribusi membesarkan Kompas sebagai salah satu harian dengan kualitas jurnalisme terbaik dan menjadikannya sebagai salah satu harian paling berpengaruh di Indonesia.
”Daniel adalah salah satu sosok yang memiliki peran penting di balik kebesaran Kompas,” katanya.
Selamat jalan, Daniel Dhakidae, sang intelektual kritis….