Daniel Dhakidae, Intelektual Publik Itu Telah Berpulang
Daniel Dhakidae telah berpulang. Ia merupakan intelektual publik yang dianggap sebagai pelopor berpikir kritis di era Orde Baru. Sebagai Kepala Litbang ”Kompas” 1995-2005, ia mengawinkan jurnalisme dan penelitian sosial.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
KOMPAS/ ARBAIN RAMBEY
Daniel Dhakidae
JAKARTA, KOMPAS — Cendekiawan sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae (75) berpulang, Selasa (6/4/2021), di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta. Indonesia telah kehilangan seorang intelektual publik yang dianggap sebagai salah seorang pelopor berpikir kritis di era Orde Baru itu.
Kabar duka itu diungkapkan oleh adik kandung Daniel, Lius, Selasa pagi. ”Telah berpulang dengan damai anggota YEF Dr Daniel Dhakidae pagi ini di RS MMC Kuningan Jakarta pada pukul 7.24 WIB,” tulisnya. Kepala Litbang Kompas 1995-2005 itu wafat akibat serangan jantung.
”Kita kehilangan,” kata Redaktur Senior Kompas Rikard Bagun.
Percakapan terakhir penulis dengan Daniel terjadi saat akan menulis sebuah artikel tentang kekuatan narasi di ruang publik pada 12 Februari 2021. Kendati sudah pensiun dari Kompas, ia tak ”pelit” dalam membantu memberi perspektif bagi wartawan-wartawan muda di Kompas.
Namun, kala itu ia tak bisa diwawancara karena ada permasalahan dengan suaranya. ”Suara saya lagi parau tidak bisa terima wawancara,” tulisnya dalam pesan Whatsapp.
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Artikel Daniel Dhakidae berjudul ”Lima Puluh Tahun ’Kompas’, Manajemen Krisis, dan Kemampuan Adaptasi” di Kompas edisi 50 tahun.
Semasa hidupnya, Daniel pernah menjadi bagian dari Kompas ketika menjadi Kepala Litbang Kompas pada 1995-2005. Setelah pensiun, ia menjabat Kepala Ombudsman Kompas. Saat Kompas berusia 50 tahun, ia sempat menulis artikel berjudul ”Lima Puluh Tahun ’Kompas’, Manajemen Krisis, dan Kemampuan Adaptasi”.
”Terjadi perubahan jurnalistik yang menarik, yaitu pergeseran dari jurnalisme aktual, ’actual journalism’, dengan semboyan-semboyan ’the fact is sacred’ dan kejarlah fakta di lapangan dan ’make them speak’, menjadi ’authorial journalism’,” tulis Daniel di artikel itu.
General Manager Litbang Kompas Harianto Santoso mengungkapkan, bergabungnya Daniel ke Kompas tidak terlepas dari permintaan pendiri Kompas, Jakob Oetama. Setelah lulus studi doktoral dari Cornell University, Amerika Serikat, Daniel diminta memimpin Litbang Kompas.
Pada awal di Litbang Kompas, kata Harianto, Daniel sering bertanya-tanya mengenai kontribusi peneliti di sebuah surat kabar. Di satu sisi, wartawan dituntut bekerja dibatasi waktu, sedangkan peneliti membutuhkan waktu lebih lama karena kompleksitas metodologi yang harus dilalui.
”Daniel bisa mengawinkan keduanya sehingga muncul jalan keluar berupa opini publik. Wartawan menghubungi narasumber, sedangkan peneliti dari sisi masyarakatnya. Dia menjadikan peneliti di Litbang Kompas mengenal metodologi penelitian sekaligus ilmu sosiologi,” katanya.
Atas terobosan itu, Daniel dinilai mampu menjawab cita-cita Jakob Oetama agar Kompas bisa menjawab duduk permasalahan di masyarakat.
Kompas
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto mengungkapkan, kepergian Daniel merupakan kehilangan besar untuk Prisma, LP3ES, dan Kompas.
”Ia ikut membesarkan Kompas sebagai salah satu harian dengan kualitas jurnalisme terbaik di negeri ini. Pada masanya harian ini dibaca oleh setengah juta lebih pembaca, menjadikannya sebagai salah satu harian paling berpengaruh di negeri ini. Daniel adalah salah satu sosok yang memiliki peran penting di balik kebesaran harian ini,” katanya.
Selain itu, kepergian Daniel merupakan kehilangan besar di bidang media dan demokrasi. Karya disertasinya yang berjudul ”The State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism” yang dipertahankan di Cornell University, kata Wijayanto, adalah salah satu magnum opus dalam bidang ini.
”Saya menghafalnya di luar kepala sebagai salah satu inspirasi utama disertasi saya. Disertasi ini merefleksikan tak hanya kecendekiaan, tetapi juga kerja keras dan keberanian,” ucap Wijayanto yang disertasinya di Leiden University diuji Daniel.
Pengajar di Murdoch University, Australia, Ian Wilson, mengatakan, Daniel merupakan intelektual publik yang sangat penting dan berpengaruh. Almarhum merupakan pelopor berpikir kritis pada zaman Orde Baru yang warisan dan kontribusinya akan terus hidup.
Dikutip dari Prisma Resource Center, Daniel adalah lulusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (1975) dan meraih gelar Master of Arts bidang Ilmu Politik dari Cornell University (1987).
Daniel meraih gelar PhD (1991) di bidang pemerintahan dari Department of Government, Cornell University, Amerika Serikat, dengan disertasi bertajuk ”The State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry”. Disertasi tersebut mendapat penghargaan the Lauriston Sharp Prize dari Southeast Asian Program Cornell University.
Selain menjadi Kepala Litbang Kompas, ia juga berkiprah sebagai redaktur majalah Prisma (1976), Ketua Dewan Redaksi Prisma (1979-1984), dan Wakil Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES, 1982-1984).
KOMPAS/ LASTI KURNIA
Daniel Dhakidae (tengah)
Karya-karyanya yang hingga kini menjadi rujukan di bidang ilmu politik di antaranya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003). Bersama Vedi Renandi Hadiz, ia juga menyunting buku bertajuk Social Science and Power in Indonesia (2005). Ia juga menuliskan pengantar di buku Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang (2008). Buku-buku tersebut bahkan menjadi buku wajib bagi mahasiswa Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan di Indonesia hingga kini.