Covid-19 tidak memilih-milih sasaran. Siapa pun bisa terpapar, termasuk politisi di DPR. Sejumlah anggota DPR meninggal dunia setelah positif Covid-19. Sebagian lagi pulih dan berpesan: jangan remehkan Covid-19.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
Trimedya Panjaitan, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang positif Covid-19, akhir November 2020, mengingat peristiwa itu sebagai salah satu momen terberat dalam hidupnya. Ia dirawat selama 12 hari di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.
Sekalipun saturasi atau kadar oksigen di darahnya relatif baik, ia memutuskan untuk dirawat di RS karena nilai CT (cycle threshold) rendah. CT secara umum dapat dipahami sebagai alat ukur untuk mengetahui kadar virus dalam tubuh. Semakin tinggi kadar virus, semakin cepat menembus garis threshold sehingga nilai CT rendah. Saat itu, nilai CT Trimedya kurang dari 30 sehingga ia harus dirawat di RS kendati ia merasakan gejala ringan, seperti demam dan batuk. Nilai CT dikatakan aman kalau setidaknya di atas 40.
"Saya tidak tahu pasti dari mana saya tertular. Waktu itu, saya hanya sempat ketemu dengan kelompok pengurus marga Panjaitan se-Jabodetabek. Mungkin dalam pertemuan itu saya kena. Sebab setelah acara itu, saya selama dua hari demam dan batuk-batuk. Sama sekali tidak ada kecurigaan Covid-19. Saya bahkan masih olahraga di treadmill,” ujarnya, saat dihubungi, Sabtu (3/4/2021) dari Jakarta.
Dia merasa sudah ketat menerapkan protokol kesehatan (prokes). Selain mengenakan masker, ia juga menggunakan pelindung wajah (face shield). Ia hanya keluar maksimal dua kali seminggu. Teman-temannya di DPR banyak yang tidak percaya Trimedya terpapar Covid-19 karena menyangka dengan prokes ketat, ia tidak mungkin terpapar Covid-19.
Ketika dinyatakan positif, 30 November 2020, semua terasa gelap bagi Trimedya. Wajah tiga anaknya langsung terbayang di pikirannya. Mereka semua masih menempuh pendidikan. Apa jadinya jika hal terburuk menimpa. ”Saya hanya bisa berdoa dan segera mencari pertolongan di RSPAD Gatot Soebroto,” ucapnya.
Sepekan pertama, Trimedya harus berjuang mengatasi rasa sakit yang menjalari badannya. Meskipun tidak sampai sesak napas dan memerlukan ventilator, ia merasakan badannya sakit setiap sore, menjelang makan malam. ”Badan sakit seperti digigit-gigit. Sakit sekali. Saya hanya bisa berdoa. Tuhan, semoga saya bisa melewati ini semua,” ujarnya.
Makan adalah hal tersulit baginya. Setiap kali makan, ia harus menguatkan dirinya. Ia menghabiskan satu jam sampai 1,5 jam untuk bisa makan. Selera makan yang hilang itu sangat menyiksa.
Tidak taat prokes
Pada 12 Desember, hasil tes menyatakan Trimedya negatif Covid-19. Ia meneruskan isolasi mandiri. Namun, pengalaman menjalani perawatan akibat Covid-19 membekas dalam dirinya. Karena itu, ia kesal sekali saat menyaksikan teman-temannya sesama anggota DPR yang tidak taat prokes, apalagi meremehkan penyakit tersebut.
Setiap dapat giliran rapat fisik di Senayan, ia menyiapkan tiga masker dalam amplop. Satu masker ia siapkan untuk ganti masker yang ia kenakan, dan dua masker lainnya ia siapkan untuk teman-temannya yang tidak memakai masker atau tak membawa masker. Ada salah satu anggota fraksinya yang ”bandel” dan tidak pernah memakai masker setiap kali rapat di komisi. Ia termasuk dari beberapa politisi Senayan yang meyakini Covid-19 adalah rekayasa atau konspirasi.
”Saya kesal sekali, dan saya semprot dia. Kalau dia kena, dan menulari orang lain, bukan hanya dia yang merasakan dampaknya, tapi orang lain juga,” tuturnya.
Ada pula anggota DPR, salah satu unsur pimpinan komisi, yang meremehkan pandemi ini dan menganggap kematian sedikit orang karena Covid-19, dari ratusan juta penduduk Indonesia, bukanlah persoalan besar. Sikap semacam ini, menurut Trimedya, sama sekali tidak sesuai dengan wacana kepentingan rakyat yang kerap didengung-dengungkan anggota DPR ketika bertemu konstituennya.
”Anggota DPR jangan hanya omong demi rakyat saat ke dapil untuk reses atau memberikan bantuan kepada mereka. Prokes harus dijaga. Kalau cuek, nanti malah bawa penyakit ke masyarakat,” ujarnya.
Ia mengatakan, beberapa koleganya ada yang positif Covid-19, tetapi tidak terbuka mengakui. Sekalipun hal itu dianggap sebagai hak setiap orang, seyogianya sebagai pejabat publik status kesehatan mereka itu diumumkan. Sebab, terpapar Covid-19 juga bukan suatu aib.
Dalam catatan Kompas, ada lima anggota DPR yang meninggal karena Covid-19 dan puluhan lainnya serta staf mereka diketahui sempat positif dan akhirnya sembuh. Dari mereka yang ketahuan positif, hanya sebagian kecil yang mendeklarasikan dirinya secara terbuka kepada publik.
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, yang juga pernah terpapar Covid-19, mengakui kondisinya secara terbuka kepada publik. Status itu baru ketahuan menjelang pidato kenegaraan, 16 Agustus 2020. Hasil tes usap PCR Basari positif sehingga ia melaporkan kondisinya kepada pimpinan Badan Legislasi (Baleg) karena ketika itu ia juga sedang rapat sebagai anggota Baleg DPR.
”Saya sempat isolasi mandiri di kamar di garasi rumah. Malamnya, saya tes lagi, dan keesokan harinya memutuskan untuk isolasi di rumah sakit,” katanya.
Namun, hasil tes PCR yang dilakukannya pada malam hari di rumah ternyata hasilnya negatif. Hasil tes PCR di RS juga negatif. Hasil pemeriksaan paru-parunya juga baik. Praktis, ia hanya dinyatakan positif Covid-19 selama 1 hari. Namun, ia total menjalani lima hari isolasi di RS dan tujuh hari isolasi mandiri.
”Entah apakah karena waktu itu hasilnya false positive atau apa, saya juga tidak tahu. Tetapi saya sudah sampaikan kepada pimpinan Baleg dan kepada wartawan soal kondisi saya,” katanya.
Senada dengan Trimedya, Taufik juga menilai perlunya keteladanan anggota DPR. ”Kita harus memberikan contoh karena inilah yang akan dilihat masyarakat dan jadi pegangan masyarakat untuk bertindak. Sebagaimana didengungkan selama ini, begitu ada orang positif, dia harus melapor sehingga mudah untuk menelusuri siapa yang pernah berinteraksi dengannya,” katanya.
Erat berkontak
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi juga pernah terpapar Covid-19. Ia juga tidak tahu dari mana ia tertular Covid-19. Namun, dari pengalamannya, ia diketahui positif seusai pulang dari daerah pemilihannya di Madura, Jawa Timur. ”Tidak tahu juga, apakah saya tertular di pesawat, bandara, atau di mana, tetapi sepulang dari dapil. Bisa jadi di dapil itu banyak orang tanpa gejala,” katanya.
Ketika di dapil, menurut Baidowi, sulit untuk menolak bersalaman dengan konstituen. Mereka ramai-ramai datang dan bersalaman dengannya. Dia merasa tak enak hati jika harus menampik ajakan bersalaman dari para konstituen.
Kepada teman-temannya, Baidowi mengaku mengingatkan agar jangan meremehkan Covid-19. ”Selalu waspada dan tingkatkan prokes meskipun sudah disuntik vaksin (Covid-19). Saya ini meskipun sudah pernah kena, dan katanya imunitasnya akan lebih baik, ternyata tetap saja terpapar lagi (kedua kalinya),” ungkapnya.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Arsul Sani juga pernah terpapar Covid-19. Ia juga tidak tahu dari mana bisa terpapar. Namun, posisi anggota DPR dan pejabat publik memang rentan terpapar virus tersebut. Pasalnya, sebagai pejabat, mereka tidak bisa terhindarkan dari pertemuan fisik dengan masyarakat.
”Kesadaran dan tindakan pencegahan harus lebih kuat dilakukan para pejabat publik, sebab mereka ini erat berinteraksi dan berhadapan dengan masyarakat. Soal masker, misalnya, saya tidak ada toleransi. Harus pakai masker. Kalau bisa menghindari kontak fisik, hal itu yang sebaiknya dilakukan,” ucapnya.
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengingkatkan, anggota DPR harus bersikap sebagaimana wakil rakyat dengan memberikan teladan dalam menaati prokes dan mengikuti vaksinasi.
”Perilaku abai terhadap protokol kesehatan justru tidak mendukung upaya bangsa keluar dari pandemi. Hal ini justru akan membuat publik makin tidak respect dengan DPR. Kalau ada yang bersikap seperti itu, sebaiknya tidak usah dipilih lagi lima tahun mendatang,” katanya.