Dua terduga pelaku bom bunuh diri di Makassar diketahui suami-istri yang baru enam bulan menikah. Kejadian ini menambah daftar bom bunuh diri yang melibatkan keluarga.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengungkapan kasus bom bunuh diri di depan Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, kian memperkuat indikasi bahwa jaringan teroris menyasar keluarga muda untuk direkrut menjadi pelaku teror. Kasus ini menunjukkan, jaringan teror mampu memanipulasi aspek psikologis generasi muda yang tengah mencari jati diri dan juga menunjukkan adanya persoalan pada kohesi sosial.
Dua terduga pelaku bom bunuh diri di depan Katedral Makassar pada hari Minggu (28/3/2021) diketahui merupakan pasangan yang baru menikah, yakni L sebagai suami dan YSF, istrinya.
”L dan YSF ini enam bulan lalu dinikahkan oleh Rizaldi yang merupakan anggota kelompok JAD (Jamaah Ansharut Daulah),” kata Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Senin (29/3), di Makassar.
Rizaldi tewas dalam penggerebekan di Villa Mutiara, Makassar, 6 Januari lalu. Selain Rizaldi, menantunya, Zulfikar, juga tewas dalam peristiwa itu. Rizaldi terkait aksi bom bunuh diri di gereja Jolo, Filipina, pada 2019. Saudara kandungnya adalah pelaku pengeboman di Filipina dan Rizaldi disebut ikut membiayai. Di rumah Rizaldi sering diselenggarakan kajian yang, di antaranya, diikuti L.
L tinggal di kawasan padat penduduk di utara Kota Makassar, Kecamatan Bontoala. Ketua RT 001 RW 002 Kelurahan Bunga Ejaya, Bontoala, Nuraini mengatakan, kabar bahwa L menjadi pelaku bom bunuh diri mengejutkan warga. Walau selama ini tak cukup dekat dengan warga, dia dikenal baik. ”Saya sering dengar dia pergi ke perkumpulan,” ujarnya.
Melibatkan keluarga
Kasus radikalisasi pasangan muda ataupun bom bunuh diri yang melibatkan keluarga bukan sekali ini terjadi. Dari Mei 2018 hingga 13 November 2019, ada lima kasus teror bom yang melibatkan keluarga, baik suami-istri maupun anak, yakni di Surabaya, Jawa Timur, serta di Sibolga dan Medan, Sumatera Utara.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, keluarga muda merupakan sasaran utama perekrutan jaringan teroris. Dengan usia di bawah 30 tahun, biasanya mereka masih relatif mudah menerima narasi yang menurut mereka benar.
Ketika sudah meyakini paham atau narasi yang diberikan, mereka menjadi bagian dari kelompok, termasuk untuk kegiatan yang sudah direncanakan. Hal itulah yang lebih kurang terjadi dalam entitas kajian di Villa Mutiara.
”Jadi, prosesnya tak terasa, melalui komunikasi, ajakan kawan, lalu membuat entitas kecil, seperti kajian di Villa Mutiara yang kemudian tanpa terasa menarik satu orang, dua orang, seterusnya,” ujar Boy.
Peneliti terorisme yang juga Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura, Noor Huda Ismail, menilai, pelaku bom bunuh diri yang merupakan suami-istri memperlihatkan hal mengkhawatirkan. ”Niat berkeluarga itu, kan, keturunan. Sementara peristiwa ini berada di luar pemahaman itu dan ironisnya mereka membajak agama. Pahamnya jadi ideologi pemuja kematian dan ini mengkhawatirkan karena menjadi semacam sekte.”
Pasangan itu juga diketahui masih berusia muda. Bukan tidak mungkin mereka adalah pasangan yang sedang mencari identitas diri, yang lalu mendapat identitas baru di kelompok JAD yang diikutinya. Hal lain yang patut dicermati, mereka berasal dari masyarakat setempat. Biasanya pelaku teror beraksi di tempat yang jauh dengan alasan agar tidak mengenai orang satu daerah asal. Bom bunuh diri kali ini memperlihatkan adanya persoalan kohesi sosial dan pemahaman yang berbeda dari biasanya.
Rangkaian penangkapan
Setelah bom bunuh diri di Makassar, Polri menangkap sejumlah orang yang diduga merupakan jaringan teroris. Di Makassar, empat orang ditangkap, yakni AS, SAS, MR, dan AA. Mereka masih dalam satu kelompok kajian di Villa Mutiara. Sementara di Condet (Jakarta) dan Bekasi (Jawa Barat), polisi menangkap ZA (37), BS (43), AJ (46), dan HH (56).
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal M Fadil Imran mengatakan, HH merupakan pendana operasi dan perencana yang jadi acuan ketiga orang lainnya. Ia mengirimkan video teknis pembuatan bahan peledak kepada ZA, BS, dan AJ.
Dari penggeledahan di dua lokasi, polisi, antara lain, menemukan lima bom aktif yang dikemas dalam kaleng dan bersumbu. Bahan peledak terbuat dari triacetone triperoxide (TATP). Polisi juga menemukan lima stoples berisi bahan kimia dengan berat total 3,5 kilogram. ”Itu diperkirakan dapat untuk membuat lebih kurang 70 bom pipa,” tutur Fadil.
Polisi masih mendalami keterkaitan antara terduga teroris Condet-Bekasi dan pelaku bom bunuh diri di Makassar.(SYA/NAD/REN/JOG/VAN/HLN/VIO/EDN)