JAD dan Teror Bom Bunuh Diri di Makassar
Ledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulsel, sempat menimbulkan pertanyaan terkait jaringan teroris mana yang bertanggung jawab. Apakah Jamaah Islamiyah atau Jamaah Ansharut Daulah?
Bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021) mengagetkan banyak pihak. Tokoh-tokoh politik penting di negeri ini memberikan pernyataan, untuk meyakinkan publik bahwa negara akan hadir menegakkan hukum, sekaligus menenangkan warga. Tokoh-tokoh agama juga melakukan hal yang serupa.
Ledakan bom itu menewaskan kedua pelaku yang mengendarai sepeda motor. Selain itu juga mengakibatkan setidaknya 20 orang mengalami luka, termasuk petugas keamanan gereja dan jemaah.
Di kalangan peneliti dan pemerhari terorisme di Tanah Air, bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh dua orang itu menimbulkan tanda tangan soal jaringan teroris mana yang bertanggung jawab. Apakah kedua pelaku itu merupakan anggota jaringan Jamaah Islamiyah (JI), atau jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Misalnya, Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib sempat mengutarakan jaringan mana yang melakukan aksi teror itu sangat bergantung dari identifikasi pelaku bom bunuh diri. Jika dilihat dari sasaran, momentum, dan ciri bom, dua kelompok teroris di Indonesia, yakni JAD maupun Neo JI sama-sama berpotensi melakukan aksi tersebut.
“Saat ini dua-duanya sangat mungkin. JAD sendiri ada anggotanya yang dari mantan narapidana terorisme yang bisa merakit bom, sementara dari Neo JI orang-orang lama yang sejak Bom Bali I sudah mempelajari pengeboman,” katanya.
Baca juga: Dua Pelaku Bom Bunuh Diri Terkait Jaringan JAD
Tanda tanya itu terjawab setelah pada Minggu malam, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit di Makassar, menyebutkan kedua pelaku bom bunuh diri merupakan bagian dari JAD Sulawesi Selatan. Satu pelaku laki-laki berinisial L, sedangkan satu pelaku lainnya masih diidentifikasi. Pelaku juga terafiliasi dengan teroris yang terlibat bom bunuh diri di Jolo, Filipina, tahun 2019.
Karakter berbeda
Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, dua kelompok teroris di Indonesia, JAD dan JI memiliki karakter berbeda dalam melakukan serangan. Aksi teror bom bunuh diri di Makassar melanggengkan bentuk teror yang dilakukan JAD sebelumnya.
Aksi di Makassar mengingatkan pada aksi bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur pada Mei 2018. Saat itu, pelaku melakukan aksi bom bunuh diri di gereja, sama seperti di Makassar. Hal ini pun sama dengan serangan di bom di Jolo, Filipina pada 2019. Dalam aksinya, mereka menggunakan bom berdaya ledak rendah dalam jumlah yang besar. “Kemungkinan dua pelaku bom di Makassar juga masih satu keluarga,” katanya.
Aksi-aksi yang dilakukan JAD, lanjut Al Chaidar, biasanya menjadi bentuk balas dendam. Dalam bom bunuh diri di Makassar, serangan itu merupakan aksi balasan dari penangkapan 20 anggota JAD dan dua anggota tewas saat ditangkap oleh Tim Densus 88, awal Januari.
“Ada reaksi bahwa mereka (JAD) ingin melakukan balas dendam, misalnya mereka sudah merencanakan serangannya pada Paskah, tetapi dipercepat karena sudah sangat dendam,” katanya.
Adapun perayaan Paskah akan berlangsung 4 April atau sepekan mendatang.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, serangan yang dilakukan JAD biasanya menggunakan bom yang low explosive (berdaya ledak rendah). Sasarannya pun lebih ke tempat-tempat umum, seperti kantor kepolisian, serta aset-aset dan personel Polri.
Dampak serangan yang dilakukan oleh JAD pun cenderung kecil, dan lebih merupakan serangan yang bertujuan publikasi. Bahkan, sering kali JAD tidak menggunakan bom dalam aksinya. Tindakan pelaku yang berafiliasi dengan JAD pun beberapa kali tidak terduga, seperti menabrakkan dirinya kepada sasaran atau orang yang dituju.
“JAD cenderung hanya menunjukkan kalau mereka eksis, dan tidak melakukan serangan yang sangat dahsyat,” ucap Khairul.
Beda pengorganisasian
Jaringan JI dahulu bertangggung jawab atas peristiwa Bom Bali I pada 2002, Bom Hotel JW Marriott Jakarta pada 2003, serta Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta 2004. Sementara itu, JAD menjadi "pemain teror" baru setelah deklarasi Negara Islam Iraq dan Suriah pada 2014.
Noor Huda Ismail, peneliti terorisme di Tanah Air, dalam artikelnya "Menerka Metamorfosis Jamaah Islamiyah" di Kompas (11/1/2021)menuturkan, salah satu ciri utama anggota JAD adalah mereka ber-”sumbu pendek”.
Jika sudah di penjara, anggota JAD dengan mudah mengafirkan petugas keamanan, psikolog, dan pekerja sosial yang ingin menderadikalisasi mereka. Mereka kluster yang sangat berbeda dengan kluster JI yang diisi individu terdidik, santun, dan terkesan menghargai para petugas.
Sementara itu, secara organisasi, JI dinilai lebih rapi ketimbang JAD. JI juga lebih selektif dalam memilih anggota atau kader, sedangkan JAD terkesan sembarangan. Bahkan, orang-orang yang tidak punya pemahaman keagamaan kerap kali dengan mudah direkrut menjadi anggota JAD. Hal ini pula yang membedakan pola serangan dan perencanaan aksi para pelaku teror dari kedua jaringan tersebut.
Chief Advisor International Association for Counterterrorism and Security Professionals Indonesia Haryoko R Wirjosoetomo mengatakan, salah satu perbedaan kedua kelompok tersebut adalah JI memiliki struktur organisasi yang rapi, sedangkan JAD tidak. Anggota JI direkrut dan dilatih, sementara JAD tidak. Ini karena JAD bukanlah sebuah organisasi, melainkan jaringan teror yang berkembang secara sporadis karena adanya teknologi internet. Dengan demikian, satu pihak dengan yang lain tidak saling mengenal.
Dari sisi kemampuan, secara personal anggota JI memiliki kemampuan bertahan cukup tinggi. Hal ini terbukti dari Zulkarnaen ataupun Upik Lawanga yang dapat menghindari kejaran aparat keamanan selama belasan tahun. Demikian pula beberapa anggota JI punya keterampilan membuat bom berdaya ledak tinggi, seperti bom mobil, dan kemampuan militer lainnya. Mereka juga memiliki langkah yang lebih sistematis dalam melakukan rekrutmen dan pelatihan (Kompas.id, 3 Maret 2021).
Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib mengatakan, pada masa Pandemi Covid-19 kelompok teroris sejatinya mengalami penurunan dari segi logistik, kemampuan, dana, dan perekrutan, karena mereka tidak bisa berkumpul. Namun, aksi teror tetap bisa dilakukan, bahkan jika ada keputusasaan, kelompok teror bisa mempercepat serangan dari yang direncanakan.
Oleh karena itu, kewaspadaan aparat penegak hukum dan masyarakat tetap harus dijaga. (REN/NAD)