Komitmen politik pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih ditunggu keluarga korban. Mereka menanti meski jalan menuju penyelesaian kasus seperti lorong tanpa ujung
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
Maria Catarina Sumarsih kecewa dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta yang membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait perkara gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Sebelumnya, PTUN Jakarta memutus pernyataan Jaksa Agung mengenai Tragedi Semanggi I dan II sebagai perbuatan melawan hukum.
Sumarsih adalah ibu dari almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban penembakan Semanggi I tahun 1998. Sumarsih bersama Ho Kim Ngo, ibu dari almarhum Yap Yun Hap, menggugat pernyataan Jaksa Agung saat rapat dengan Komisi III DPR, 16 Januari 2020, yang menyatakan Semanggi I dan Semanggi II bukan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Namun, di tingkat banding, gugatannya kalah.
"Sakit saya kalau mau bilang itu," kata Sumarsih, kepada Kompas, Jumat (26/3/2021).
Dalam kasus gugatan itu, tampak Jaksa Agung yang adalah aparat penegak hukum justru gigih melawan keluarga korban dari kasus pelanggaran HAM berat.
Bagi Sumarsih, dalam kasus gugatan itu tampak Jaksa Agung yang adalah aparat penegak hukum justru gigih melawan keluarga korban dari kasus pelanggaran HAM berat. Padahal Presiden Joko Widodo mengatakan, Kejaksaan adalah aktor kunci penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dengan kenyataan itu, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masih akan menemui jalan panjang.
"Jaksa Agung harusnya malu, Presiden harusnya malu. Presiden sudah mengatakan Kejaksaan adalah aktor kunci penuntasan kasus HAM di masa lalu. Tapi Jaksa Agung justru melawan rakyat kecil, yang sudah tua, yang rambutnya sudah putih. Kan harusnya malu," sambung Sumarsih.
Pada Desember 2020 lalu Presiden Joko Widodo meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut Presiden, harus segera ada langkah konret yang dilakukan Kejaksaan. Jaksa Agung pun kemudian membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat.
Bagi Sumarsih dan para keluarga korban, pembentukan tim semacam itu bukanlah yang pertama kali meski tetap memantik harapan. Sebab, hingga saat ini, berkas 12 kasus pelanggaran HAM berat masih mondar-mandir di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejagung.
Kasus tersebut antara lain Peristiwa 65-66; Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001, Peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003, hingga yang paling akhir adalah Peristiwa Paniai 2014. Namun, proses hukumnya mandeg di tingkat penyelidikan.
Kejaksaan menilai berkas perkara belum lengkap sehingga dikembalikan ke Komnas HAM untuk dilengkapi. Sementara Komnas HAM menilai, permintaan untuk melengkapi berkas tersebut sudah merupakan wewenang penyidik, bukan penyelidik.
"Laporan dari Komnas HAM telah cukup memberikan petunjukterjadinya pelanggaran HAM berat. Jaksa Agung dengan otoritasnya seharusnya menindaklanjutinya," kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab.
Tim atau satuan tugas untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat hanya akan membuat proses menjadi berbelit-belit. Sementara, yang diperlukan adalah penegakan hukum untuk mengadili para pelaku di meja hijau
Kemauan Politik
Sumarsih mengatakan, dirinya menolak ketika pemerintah membentuk Dewan Kerukunan Nasional yang kemudian dilanjutkan dengan Tim Terpadu beberapa waktu lalu. Dia pun juga akan menolak Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa HAM yang Berat melalui mekanisme Nonyudisial (UKP-PPHB) yang kini tengah disusun pemerintah.
Menurutnya, tim atau satuan tugas semacam itu hanya akan membuat proses menjadi berbelit-belit. Sementara, yang diperlukan adalah penegakan hukum untuk mengadili para pelaku di meja hijau. Selama dua dasawarsa terakhir, sejak Undang-Undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan, penegakan hukum sebagaimana diharapkan seolah menjadi lorong tak berujung.
Isu mengenai penuntasan pelanggaran HAM berat selama ini hanya menjadi komoditas lima tahunan, hanya diingat ketika ajang pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Politisi datang silih berganti menjanjikan dukungan penyelesaian, namun tak ada kelanjutan.
"Pelanggaran HAM berat bukan permasalahan hukum, tetapi masalah kemauan politik. Sementara para politisi hanya bersuara dan datang kepada kami lima tahun sekali, kalau pas mau pemilihan," ujar Sumarsih.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin. Menurut Zaenal, bolak-baliknya berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat terjadi karena tidak ada kesungguhan niat dari para pemegang kekuasaan untuk menyelesaikannya.
Penyelesaian secara yudisial sengaja dihindari dengan cara menunda-nunda penyelesaian. Sementara, akhir-akhir ini pemerintah dinilai lebih menyuarakan penyelesaian nonyudisial. Terlebih saat ini disusun Raperpres UKP-PPHB.
"Jadi memang tidak ada kemauan politik untukmenyelesaikan dengan jalur yudisial. Dan sejak akhir tahun lalu jalur nonyudisial yang sering disuarakan," kata Zaenal.
Menurut Zaenal, terkadang muncul rasa gamang di antara keluarga korban. Perjuangan panjang seolah tidak memberikan hasil sebagaimana diharapkan. Pengadilan HAM ad hoc yang telah digelar, justru tidak mampu menemukan pelaku, meskipun terdapat korban di sana. "Seperti korban tabrak lari," kata Zaenal
Sementara, lanjut Zaenal, hingga sekarang keluarga korban masih menerima stigma dan diskriminasi. Meski sudah berkurang, namun stigma dan diskriminasi tak akan hilang selama pengungkapan kebenaran tidak dilakukan. Di sisi lain, keluarga korban menyaksikan orang-orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat duduk di pemerintahan maupun legislatif.
Selama orang atau pelaku pelanggaran HAM masih berada di pemerintahan, maka sulit bagi pemerintahan Presiden Jokowi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti, selama orang atau pelaku pelanggaran HAM masih berada di pemerintahan, maka sulit bagi pemerintahan Presiden Jokowi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Selain karena tidak ada kemauan politik, tidak ada jaminan bahwa negara akan menyeret para pelaku tersebut.
"Faktor paling mendasar adalah tidak adanya vetting mechanism yang dapat mencegah aktor pelanggar HAM untuk masuk ke dalam pemerintahan," kata Fatia.
Tetap berjuang
Bagi Sumarsih, meski terkadang tampak buntu, namun perjuangan harus terus dia lakukan. Seperti pernah diceritakan mendiang Wawan kepadanya, bahwa ada ada rekan yang mundur dan memilih berhenti di tengah jalan, namun dia tetap memilih untuk terus berjuang.
"Wawan sudah pergi, maka ini menjadi tugas saya untuk melanjutkan perjuangan Wawan," kata Sumarsih.Kini, Sumarsih akan mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta. Baginya, selama masihada pintu yang bisa dilewati untuk mewartakan keadilan dan kebenaran, maka menjadi tugasnya untuk mencoba menjalani. Melalui Aksi Kamisan, kritik dan perjuangan untuk keadilan akan terus disuarakan.
Demikian pula Zaenal meyakini, dukungan banyak pihak, terutama orang-orang muda, menjadi bahan bakar bagi keluarga korban untuk terus menyuarakan penuntasan kasus pelanggaran HAM. Meski penanganan kasus tidak ada kemajuan, namun instrumen perlindungan HAM secara bertahap dapat diratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia.
Perjuangan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu mungkin masih panjang. Namun, selama masih ada harapan, akan selalu ada ujung dari sebuah jalan. Semoga..