Sejumlah lembaga pemantau parlemen menilai kinerja DPR dalam pengawasan penanganan pandemi Covid-19 masih lemah. Di sisi lain, DPR menilai sudah ada kebijakan positif terkait Covid-19 yang lahir dari fungsi pengawasan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran pengawasan yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat dinilai belum optimal dan cenderung mengandalkan rapat-rapat kerja dengan pemerintah, khususnya ketika mengawasi program kerja pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Pengawasan yang cenderung formal ini dikhawatirkan tidak mampu memotret kendala sebenarnya dalam menangani pandemi Covid-19.
Indonesian Parliamentary Center (IPC) mencatat, DPR RI dalam melakukan fungsi pengawasan juga menindaklanjuti temuan rapat kerja terkait Covid-19 berupa pembentukan Panitia Kerja Pengawasan. Dari 32 panja yang dibentuk DPR RI di tahun 2020, lima panja berkaitan dengan Covid-19.
Lima panja itu ialah Panja Ketahanan Nasional untuk Mengatasi Dampak Virus Corona, Panja Pengawasan terhadap Informasi dan ICT di Masa Pandemi Covid-19. Selain itu juga ada Panja Perlindungan WNI dan Kinerja Perwakilan di Luar Negeri terkait Pandemi Covid-19, Panja Pemulihan Pariwisata, dan Panja Pembelajaran Jarak Jauh.
Menurut Koordinator Divisi Reformasi Parlemen IPC Muhamad Ichsan, pengawasan yang dilakukan berbagai panja itu belum optimal untuk mengawal kinerja pemerintah dalam mengatasi pandemi dan dampaknya. Secara kuantitas ada peningkatan kegiatan pengawasan, termasuk rapat kerja yang dilakukan komisi terkait di DPR.
”Namun, pilihan-pilihan kelembagaan yang dilakukan DPR itu belum mampu mengimbangi pemerintah dalam melakukan check and balances kekuasaan. Artinya, pembentukan panja dan tim pengawas (timwas) belum cukup efekif,” katanya saat dihubungi, Minggu (28/3/2021).
Dari catatan IPC, kerja pengawasan yang dilakukan melalui raker dan kunjungan kerja kepada mitra itu cenderung lebih banyak mendengarkan, tetapi tidak mampu menggali lebih dalam kinerja dan persoalan yang dihadapi pemerintah. ”Padahal, banyak persoalan dalam penanganan dampak pandemi ini, seperti bantuan sosial (bansos) tidak tepat sasaran, dan belum meluasnya pemberian vaksin. Secara kelembagaan, DPR mestinya dapat melakukan pengawasan lebih ketat dengan memanfaatkan kewenangan penyelidikan mereka,” katanya.
Secara terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus mengatakan, lembaganya juga secara umum melihat masih lemahnya peran pengawasan DPR dalam penanganan pandemi Covid-19. Dari sekian banyak tim pengawas bentukan DPR, Formappi menilai tim yang paling kelihatan kerjanya ialah tim penanganan bencana.
”Timwas dan tim pemantau, ataupun tim-tim yang lain, termasuk Timwas Penanganan Pandemi Covid-19, tidak ditemukan kegiatannya. Karena itu, sebaiknya Timwas dan Tim Pemantau yang tidak jelas hasil kerjanya sebaiknya dievaluasi atau dibubarkan saja,” ujarnya.
Terkait dengan belum optimalnya peran pengawasan DPR, Ichsan menuturkan, hal ini dapat pula dikaitkan dengan pengurangan anggaran pengawasan DPR di masa pandemi. Sebagian dana dialokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19. Hal lain yang disinyalir memicu lemahnya pemantauan dan pengawasan DPR ialah adanya aturan kerja-kerja pengawasan baru dapat dilakukan setelah ada hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hal itu merupakan implikasi dari terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, Komisi IX selama ini berupaya optimal melakukan pengawasan terhadap mitra kerja dari pemerintah. Dalam beberapa raker terpaksa dilakukan sampai dini hari karena ingin memastikan pemerintah melakukan kerja penanganan pandemi Covid-19 dengan baik. Beberapa kebijakan pemerintah juga dinilai sebagai hasil diskusi panjang dalam rangka pengawasan yang dilakukan Komisi IX DPR. Salah satunya ialah program vaksinasi gratis oleh negara.
”Sebelumnya, kan, pemerintah mengusulkan ada program vaksin gratis dan vaksin mandiri. Kami lalu memberikan masukan karena seluruh warga itu berhak untuk terbebas dari Covid-19, kami mendorong agar vaksin diberikan secara gratis kepada seluruh warga. Hal itu pun diikuti oleh pemerintah. Artinya, dalam hal ini kerja-kerja pengawasan oleh DPR efektif,” tuturnya.
Kebijakan lain, menurut dia, rencana penurunan tunjangan bagi tenaga kesehatan. Kebijakan itu dikritisi DPR, dan direkomendasikan untuk tidak dilakukan. Sebab, para tenaga kesehatan itulah yang berjibaku di medan terdepan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Rekomendasi dan dorongan DPR itu, menurut Melki, didengarkan pemerintah sehingga rencana penurunan tunjangan kepada tenaga kesehatan tidak jadi dilakukan.
Dalam kebijakan pelacakan warga, misalnya, sejak mula Komisi IX mendorong agar diadakan alat pengetesan yang lebih mudah diakses. Sebelumnya pengecekan dilakukan melalui swab (tes usap) PCR, dan kini sudah mulai banyak dipakai tes swab antigen untuk deteksi cepat. Bahkan, kini sudah ada GeNose buatan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang efektivitasnya juga tinggi.
Dalam pembuatan vaksin, dan program vaksinasi, menurut Melkiades, Komisi IX terus mendorong Kemenkes bersama-sama pihak terkait, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), untuk juga aktif mengawal akselerasi pengembangan vaksin buatan anak negeri.
”Kalau ada yang menilai kerja pengawasan DPR masih lemah, mungkin karena melihat prioritas kami yang berbeda dengan pihak yang menilai. Tujuan kami adalah agar pemerintah dapat secepatnya bekerja menangani pandemi Covid-19, mulai dari pencegahan hingga pengecekan dan perawatan, serta penyediaan vaksin. Kami optimalkan semua kewenangan kami untuk mendorong hal itu,” tutur Melkiades.