Kasus Lama Selain RJ Lino Masih Menanti Dituntaskan
KPK menahan mantan Dirut PT Pelindo II RJ Lino. Terkait hal ini, KPK diingatkan untuk menuntaskan kasus-kasus lama lainnya
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Setalah lima tahun terkatung-katung berstatus tersangka, mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (26/3/2021) atas kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane di Pelindo II pada tahun 2010. Tindakan KPK ini diharapkan juga menyasar kasus-kasus lama yang lain.
Lino sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 18 Desember 2015. Sejak itu pula, KPK tak kunjung melakukan penahanan dan hanya melakukan beberapa pemeriksaan kepada Lino. Akhirnya, untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan tersangka selama 20 hari terhitung sejak 26 Maret 2021 sampai dengan 13 April 2021 di Rutan Rumah Tahanan Negara Klas I Cabang KPK
Menemui kendala dalam menetapkan kerugian negara. Sebab Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa melakukan penghitungan kerugian negara akibat tidak ada dokumen harga yang akan dijadikan data pembanding.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat konferensi pers mengatakan, KPK menemui kendala dalam menetapkan kerugian negara. Sebab Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa melakukan penghitungan kerugian negara akibat tidak ada dokumen harga yang akan dijadikan data pembanding.
Upaya penelusuran harga quay container crane yang dibeli oleh Lino dari HuaDong Heavy Machinery, sebuah perusahaan dari China, pernah diupayakan melalui Kedutaan Besar China, namun gagal. Saat Inspektorat China berkunjung ke KPK, KPK menanyakan harga quay container crane yang dijual oleh perusahaan dari China tersebut.
Bahkan pada 2018, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif dan Agus Rahardjo, pergi ke China dan dijanjikan bertemu dengan Jaksa Agung China. Sayangnya, pertemuan itu dibatalkan.
“Jadi kendala yang dihadapi (pimpinan) periode ke-4 selama empat tahun yakni di satu sisi BPK menuntut tetap ada dokumen atau data pembanding yang dibutuhkan dalam menghitung kerugian negara. Di sisi lain, penyidik kesulitan mendapatkan harga quay container crane atau setidaknya harga pembanding,” kata Alex.
Berdasarkan harga kontrak pengadaan tiga quay container crane diketahui sebesar 15.554.000 dollar AS, terdiri dari 5.344.000 untuk pengadaan di Pelabuhan Panjang, 4.920.000 dollar AS untuk pengadaan di Pelabuhan Palembang, dan 5.290.000 untuk quay container crane di Pelabuhan Pontianak.
Nilai kontrak tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan penghitungan harga yang dilakukan oleh ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah dihitung, diketahui bahwa harga pokok produksi ketiganya adalah 9.667.385 dollar AS, terdiri dari 3.356.742 dollas AS untuk quay container crane di Pelabuhan Panjang, 2.996.123 dollas AS untuk quay container crane di Pelabuhan Palembang, dan 3.314.520 dollar AS untuk quay container crane di Pelabuhan Pontianak.
Dengan demikian, ada selisih harga sebesar 5.872.615 dollar AS dari harga kontrak dengan harga pokok produksi yang dihitung oleh ahli. “Mungkin termasuk ongkos angkut ke sini (Indonesia) secara total 10 juta dollar AS. Jadi ada perbedaan sekitar 5 juta dollar AS,” ujar Alex.
Selain kerugian dari segi pengadaan, lanjutnya, KPK menemukan kerugian dalam pemeliharaan tiga unit quay container crane sebesar 22.828,94 dollar AS. Sedangkan untuk pembangunan dan pengiriman barang tiga unit quay container crane tersebut, BPK tidak menghitung nilai kerugian negara karena tidak diperoleh bukti pengeluaran atas pembangunan dan pengiriman tiga unit quay container crane tersebut.
Selama proses penyelidikan yang berlangsung di tiga masa kepemimpinan KPK, kata Alex, penyidik telah mengumpulkan berbagai alat bukti, di antaranya keterangan 74 orang saksi dan penyitaan barang bukti dokumen.
Dalam kasus ini, KPK menjerat Lino dengan Pasal 2 Ayat (1 )dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Lino diduga telah menyalahgunakan wewenangnya dengan cara melakukan pengadaan tiga unit quay container crane di Pelindo II dengan menunjuk langsung perusahaan dari China sebagai penyedia barang.
Dengan penahanan ini, Lino mengaku senang karena telah lima tahun menunggu kejelasan. Selama lebih dari lima tahun itu, ia mengungkapkan hanya diperiksa tiga kali oleh penyidik.
Lino pun membantah ada kerugian negara dari pembelian tiga unit quay container crane di Pelindo II. Sebab dua tahun setelah penunjukan langsung dalam pengadaan alat itu, Pelindo II Kembali mengadakan lelang alat yang sama.
Saat itu, ada 10 peserta lelang yang ikut dan dua di antaranya menawarkan barang yang sama persis saat pembelian di tahun 2010. Namun, harga akhir justru berselisih 500.000 dollar AS lebih mahal dibandingkan saat penunjukan langsung. “Saat penyelidikan pun saya kasih tahu mereka, saya tunjuk langsung ada prosesnya,” ujarnya.
Mengenai hitung-hitungan kerugian negara, Lino menyebut ahli yang digunakan oleh KPK tidak memiliki kualifikasi menghitung harga quay container crane. Ahli tersebut merupakan ahli kelautan dan gelombang. “Dia (ahli dari ITB) baru pertama kali melihat crane saat di Pontianak. Tidak punya kualifikasi untuk menghitung kerugian negara,” tuturnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana mengingatkan, masih ada kasus-kasus lama yang lain belum dituntaskan oleh KPK. Selain kasus yang menjerat RJ Lino, KPK masih belum menuntaskan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan dugaan korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Ia menilai, penanganan perkara tidak berkembang signifikan.
“Di lain hal, masih ada tunggakan perkara yang menyisakan tersangka-tersangka yang belum ditahan atau bahkan belum ditangkap KPK. Jadi alih-alih untuk ditahan, dideteksi aja tidak maksimal,” katanya.
Oleh sebab itu, ICW mengingatkan agar KPK tidak hanya berhenti pada kasus yang menyeret Lino. Perkara-perkara lama yang lain juga harus segera dituntaskan karena kasusnya sudah mulai dibongkar.
Meskipun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada batasan waktu penyidikan, penetapan tersangka yang tidak segera diikuti penahanan menjadi tindakan yang kurang baik. Sebab ketika KPK menaikkan status perkara pada penyidikan dan penetapan tersangka, seharusnya tindakan hukum lanjutan seperti penahanan bisa segera dilakukan.
Ia khawatir jika lambatnya penanganan kasus kembali terulang di masa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, akan ada potensi tersangka yang sudah ditetapkan namun belum ditahan berakhir pada surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Sebab ada Batasan waktu selama dua tahun untuk penyidikan, berbeda dengan UU KPK lama yang tidak boleh ada penghentian kasus.
“Kebiasaan KPK sekarang bukan lagi menetapkan tersangka tanpa ditahan, bahkan penyidikan kasus tetapi belum ada tersangkanya, seperti kasus suap pegawai pajak Kementerian Keuangan,” ucap Kurnia.