Gerindra Tunggu Kesediaan Prabowo Maju Kembali di Pilpres 2024
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menyebutkan, internal Gerindra bulat menginginkan Prabowo maju kembali sebagai capres di Pilpres 2024. Pengumuman terkait hal ini menunggu saat yang tepat sambil menunggu kesediaan Prabowo.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Segenap jajaran pengurus dan kader Partai Gerindra disebut menginginkan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto untuk kembali maju sebagai calon presiden di Pemilu Presiden 2024. Meski demikian, partai masih menunggu saat yang tepat untuk mengumumkannya sembari menanti kesediaan Prabowo untuk dicalonkan kembali.
Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani menyebutkan, internal Gerindra secara bulat menginginkan dan mendukung Prabowo maju dalam perhelatan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Ia mengklaim, hasil berkeliling dan mendengar seluruh aspirasi kader Gerindra dari tingkat ranting, Pimpinan Anak Cabang, Dewan Pimpinan Cabang, hingga Dewan Pimpinan Daerah tidak ada nama lain yang dijagokan selain Prabowo Subianto.
”Internal Gerindra secara bulat dalam Rapat Pimpinan Nasional, dalam Kongres Luar Biasa Dewan Pimpinan Cabang, bahkan saya kalau keliling dari ranting ke kecamatan se-Indonesia, pengurus DPD se-Indonesia, dan kita semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI, tetap ingin beliau (Prabowo) maju karena data yang kami miliki potensial sekali,” kata Muzani dikutip dari akun Twitter Partai Gerindra @Gerindra, Rabu (24/3/2021).
Meskipun keinginan para kader sudah bulat, lanjut Muzani, partai akan menunggu saat yang tepat untuk mengumumkan perihal tersebut serta menunggu kesediaan Prabowo untuk dicalonkan kembali menjadi calon presiden pada tahun 2024. Sebab saat ini, Prabowo masih fokus menyelesaikan tugasnya sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
”Saya berpesan agar seluruh kader Gerindra bekerja keras mewujudkan Prabowo sebagai Presiden ke-8 RI dan Gerindra menjadi partai pemenang pada Pemilu 2024 dengan terus bergerak, turun ke tengah masyarakat melakukan aksi nyata, serta memfasilitasi setiap keluhan, aspirasi, dan suara rakyat,” tutur Muzani.
Menurut dia, Prabowo layak kembali dicalonkan sebagai capres 2024 karena mampu memimpin partai dengan baik. ”Pertimbangan lain mengapa kader Gerindra masih menginginkan Pak Prabowo dicalonkan menjadi presiden adalah karena kinerja beliau sebagai Menteri Pertahanan selama ini dinilai cukup memuaskan,” tutur Muzani.
Beberapa capaian yang dimaksud, antara lain, membawa Kementerian Pertahanan meraih penghargaan keterbukaan informasi publik, meningkatkan kerja sama pertahanan RI dengan sejumlah negara, melengkapi alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan memanfaatkan produk dalam negeri, serta mampu menghemat uang negara Rp 50 triliun.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati saat dihubungi, Rabu, mengatakan, kader Gerindra siap jika ada perintah dan arahan untuk menyukseskan Prabowo seandainya diusung sebagai calon presiden 2024-2029. ”Jika pimpinan partai memutuskan untuk tetap maju di Pemilu 2024, kami pasti siap mendukung dan menyukseskan,” katanya.
Rekonsiliasi nasional
Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan dalam pidato kebangsaan, Rabu, mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali memikirkan format terbaik yang bisa dipakai untuk menyelenggarakan politik domestik, terutama dalam hal politik elektoral.
”Kita sudah beberapa kali melaksanakan pilpres, menang-menang sangat liberal. Ongkos yang begitu tinggi, banyak yang dipenjara, meninggal, serta terjadi kerusuhan dalam pileg (pemilu legislatif), pilkada (pemilihan kepala daerah), dan pilpres (pemilu presiden). Tetapi akhirnya yang kalah dan menang bersatu kembali, masyarakat masih bermusuhan, cebong-kampret masih berlanjut,” ujarnya.
Menurut dia, Pilkada 2017, 2018, 2020, serta Pileg dan Pilpres 2019 menunjukkan karakter demokrasi yang culas dan hanya berpikir menang-menangan. Politik elektoral berubah sedemikian rupa menjadi ajang untuk memperebutkan kekuasaan. Berebut lobi dan pengaruh dengan agenda yang berbeda-beda, tidak peduli masyarakat terpolarisasi secara hebat. Bahkan muncul benih-benih permusuhan dan kebencian yang ongkos sosial budayanya sangat tinggi.
”Munculnya karakter dukungan politik yang kuat dibarengi dengan mencuatnya perbedaan ideologi adalah konsekuensi dari tarik-menarik akibat polarisasi ini. Semangat nasionalisme jadi dipandang begitu sempit sekaligus berlebihan. Tajam mengatakan ’Aku Pancasila’ sambil mengatakan yang lain anti-Pancasila,” tutur Zulkifli.
Di sisi lain, lajut dia, politisasi agama juga dilakukan secara brutal serta menghasilkan islamisme yang sempit dan simbolik belaka. Selain itu, memungkinkan masuknya paham-paham ekstrem dan radikal, bahkan yang mengandaikan format negara agama dengan penerapan syariat Islam sebagai hukum formal.
Polarisasi politik yang menimbulkan permusuhan bahkan kebencian, cebong vs kampret, buzzer vs kadrun bisa terus tereskalasi menjadi pikiran ”us vs them”, kami melawan mereka, yang sangat membahayakan keutuhan kita berbangsa dan bernegara.
Pesta demokrasi yang mahal sekali ongkosnya bagi parpol maupun peserta pemilu menghasilkan pola-pola yang sifatnya transaksional, merugikan, dan membodohkan masyarakat. Sementara tensi politiknya tidak dikelola dengan baik, penyelenggaraan pemilu yang amburadul mengakibatkan jatuhnya ribuan korban anggota KPPS yang meninggal dunia.
Oleh sebab itu, menurut Zulkifli, perlu ada rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan keutuhan dalam berbangsa dan bernegara. Para elite harus meminta maaf kepada masyarakat dan berjanji tidak lagi menggunakan politik identitas, politik agama, politik SARA, untuk menyelenggarakan suksesi kekuasaan. ”Ongkos sosialnya besar sekali yang harus kita tanggung,” katanya.