Kho Ping Hoo, Dua Presiden, dan Draf Biografi yang Hilang...
Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Presiden Joko Widodo, dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sempat suka membaca cerita silat Kho Ping Hoo. Banyak hal ingin diketahui pembaca soal sosok sang penulis cerita silat itu....
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
Para penggemar ”pendekar” Kho Ping Hoo yang ingin mengetahui kehidupan sosok penulis cerita silat ini tampaknya masih harus bersabar lama. Biografi pencipta Bu Kek Sian Su yang menulis 148 cerita silat yang terkenal pada era 1970 hingga 1980-an ini sempat ditulis anaknya, Tina Asmaraman. Namun, file berisi draf biografi 100 halaman tersebut hilang.
”Ada di file di komputer. Komputernya diganti yang baru. Enggak tahu sekarang filenya ada di mana,” kata Tina yang hadir dalam diskusi daring tentang Kho Ping Hoo yang diadakan Roemah Bhinneka Surabaya, Senin pekan lalu.
Padahal, banyak yang ingin diceritakan Tina. Sebaliknya, banyak yang ingin diketahui penggemar Kho Ping Hoo tentang pengarang yang meninggal dunia pada 22 Juli 1994 ini. Salah satunya tentang nama Kho Ping Hoo, Asmaraman Sukowati.
Tina bercerita, nama Asmara itu memang diambil karena Kho Ping Hoo adalah orang yang memuja cinta. Menurut dia, cinta ada di atas segala perbedaan, suku, etnis, kesenjangan ekonomi, agama, dan lainnya. Orang harus menikah karena cinta dan cinta yang akan membuat semuanya jadi indah. Sementara akhiran ”man” di belakang kata asmara tidak diketahui alasannya. Bisa jadi karena dipengaruhi cerita-cerita Barat atau ada sebab yang lain.
Kho Ping Hoo, kendati kerap menulis dengan nuansa Tionghoa, cerita-ceritanya lebih dekat ke konteks Indonesia. Kho Ping Hoo sering mengangkat tema kisah cinta lintas ras.
Profesor di National University of Singapore (NUS) Leo Suryadinata menyebut Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden Joko Widodo, dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga sempat suka membaca Kho Ping Hoo.
Presiden Joko Widodo pada suatu kesempatan di Istana Kepresidenan Jakarta dalam rangka peringatan Hari Buku Nasional 2017 sempat bercerita di hadapan siswa-siswi SD dan SMP bahwa ia dahulu sering didongengi oleh kakeknya. Selain itu, ia juga kerap membaca buku tentang cerita rakyat ataupun cerita ”Gundala Putra Petir”, ”Kho Ping Hoo”, dan kisah pewayangan (Kompas.com, 17/5/2017).
Menulis ulang
Tina, yang merupakan anak keempat dari 15 bersaudara, juga mengoreksi beberapa fakta yang beredar di publik. Ia mengoreksi tulisan yang pernah menyebutkan kakeknya pernah jadi pengemis. Realitanya, kakeknya memang tidak bisa bekerja karena stres. Kho Ping Hoo lalu keluar dari sekolah dan kerja untuk membantu orangtuanya.
”Tapi, kakek saya itu tidak pernah jadi pengemis,” kata Tina.
Sayangnya, Tina khawatir ia tidak bisa menuliskan ulang biografi Kho Ping Hoo. Narasumber untuk diwawancara, seperti tante dan saudara-saudara yang mengenal ayahnya, telah tiada. Terpaksa ia harus mengandalkan ingatan saja. Karena itu, ia akan berusaha mencari lagi file yang ada di hardisk yang lama.
”Yang tahu itu suami saya filenya ada di mana. Tapi, dia sudah meninggal. Nanti saya minta anak saya cari. Aneh juga tuh, ya,” katanya.
Tina khawatir, kalau ia hanya mengandalkan ingatannya dan ingatan saudara-saudara yang masih ada, buku itu tidak akan banyak isinya. Dulu, walau sudah menulis sekitar 100 halaman, Tina mengatakan ia ragu karena melihat di biografi tokoh-tokoh biasanya sampai ratusan halaman.
”Saya baca ada yang 500 halaman, saya cuman bisa tulis 100,” katanya.
Dosen National University of Singapore, Leo Suryadinata, mendorong Tina menuliskan biografi Kho Ping Hoo. Sampai sekarang belum ada yang menulis buku tersebut. Rencana pendirian Museum Kho Ping Hoo juga masih sebatas wacana. Leo mengatakan, menurut catatannya, Kho Ping Hoo menulis cerita silat sejak 1959. Ada 118 cerita silat yang berlatar Tiongkok dan 30 yang berlatar Jawa dengan tokoh orang Tionghoa. Selain itu, juga ada satu terjemahan.
Selain Leo, Tina mengatakan, peneliti sastra Myra Sidartha juga pernah menganjurkannya menulis buku biografi Kho Ping Hoo. Dalam salah satu tulisannya yang bersumber dari wawancara Kho Ping Hoo, Myra pernah menyebutkan, awal dari Kho Ping Hoo menulis cerita silat adalah kebetulan.
Sebelumnya, sejak 1952, ia sering menulis cerpen. Namun, tahun 1959, tengah naik tren cerita silat. Kho Ping Hoo yang tidak bisa berbahasa Mandarin meminta salah seorang penerjemah untuk menerjemahkan cerita silat berbahasa Mandarin untuk majalahnya. Namun, sang penerjemah sibuk. Terpaksa Kho Ping Hoo mengarang sendiri cerita silat demi majalahnya laku.
Belakangan, ia sengaja mencetak ulang cerita-cerita silat dari majalahnya dalam bentuk buku saku. Tujuannya agar semakin banyak orang bisa membeli. Siapa mengira, cerita silat Kho Ping Hoo memiliki tinta emas dalam sejarah hidup jutaan orang di Indonesia, termasuk dua Presiden RI, Gus Dur dan Joko Widodo.