Cerita silat Kho Ping Hoo banyak mengandung pesan yang berguna bagi warga bangsa seperti cinta yang mengatasi perbedaan ras dan suku bangsa. Kisah-kisah yang diangkat bersumber dari pengalaman hidupnya yang kaya
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Kho Ping Hoo sebenarnya tidak tahu, tanggal berapa persisnya ia lahir. Apalagi, berasal dari keluarga yang pas-pasan, ia tidak pernah merayakan ulang tahunnya. Ketika telah dewasa dan ingin membuat surat kenal lahir, yang diingat pria yang lahir di Sragen tahun 1926 ini adalah ia lahir di bulan Agustus.
“Ayah saya lalu memilih tanggal 17 Agustus biar sama dengan hari lahir Indonesia,” kata Tina Asmaraman, anak keempat dari lima belas bersaudara. Tina hadir dalam diskusi daring yang diadakan Roemah Bhinneka Surabaya, Senin (15/3/2021) lalu. Setelah sakit hati bertubi-tubi, cinta Kho Ping Hoo pada Indonesia tidak pernah surut sampai akhir hidupnya. Cinta itu bahkan bisa terasa pada sedikitnya 450 jilid bukunya (Kompas, 26/7/1994).
Gambaran cinta Kho Ping Hoo pada Indonesia bisa dibayangkan mirip cintanya pada Bengawan Solo yang menjadi tokoh utama “Geger Solo” yang menceritakan banjir bandang 16 Maret 1966. Walau Bengawan Solo telah meluluh lantakan kehidupan banyak warganya, ia tetap dicintai
Gambaran cinta Kho Ping Hoo pada Indonesia bisa dibayangkan mirip cintanya pada Bengawan Solo yang menjadi tokoh utama “Geger Solo” yang menceritakan banjir bandang 16 Maret 1966. Walau Bengawan Solo telah meluluh lantakan kehidupan banyak warganya, ia tetap dicintai. Di awal buku setebal 92 halaman ini, Kho Ping Hoo menggambarkan, kotamadya Surakarta diamuk banjir yang datang menyerbu secara liar dan tiba-tiba.
“Whhrrr… krasak.. krasak… whrrrrwhrrr…!” suara air bah yang datang bergulung-gulung, air merah kekuningan yang mengerikan, datang menyerbu kota Solo bagaikan barisan maut yang ganas menyeramkan.
Tapi menjelang akhir novel, ketika banjir telah surut, ia menulis : Betapa mungkin mendendam pada Bengawan Solo ? Tidak. Bengawan Solo merupakan kebanggaan orang Solo. Bengawan Solo yang beriwayat, yang termashur… Di musim kering begitu lemah lembut sehingga kanak-kanak dan domba-domba dapat bermain di atas dasarnya.
Identitas ke-Indonesia-an Kho Ping Hoo sempat melewati naik-turun kelembutan dan kekerasan seiring dengan perjalanan hidupnya secara pribadi maupun gejolak di Indonesia termasuk kerusuhan rasial. Myra Sidharta, ahli literatur Tionghoa-Melayu pernah menulis di jurnal Archipel tahun 1994 tentang sosok Kho Ping Hoo. Berdasarkan wawancara dengan Kho Ping Hoo langsung, Myra menulis bahwa saat ada perjanjian dwikewarganegaraan antara Indonesia dan China tahun 1955, Kho Ping Hoo memilih menjadi warga negara China.
Saat itu, Kho Ping Hoo telah tinggal di Tasikmalaya dan banyak bergaul dengan komunitas Tionghoa. Di sini, ia mulai belajar bahasa Mandarin. Sebelumnya, Kho Ping Hoo yang berasal dari keluarga peranakan lebih lancar bahasa Belanda karena sekolahnya di HIS dan bahasa Jawa. Ia juga pernah belajar bahasa Inggris dan memiliki sertifikat dari British Council. Lewat korespondensinya dengan sinolog Leo Suryadinata yang juga menjadi pembicara dalam diskusi daring tersebut, Kho Ping Hoo bercerita kalau ia tidak lancar berbahasa Mandarin sehingga hanya satu bukunya yang merupakan terjemahan, itu pun dari bahasa Inggris.
Kho Ping Hoo dua kali menjadi korban kerusuhan rasial di Indonesia. Yang pertama saat ia tinggal di Tasikmalaya tahun 1963. Kedua, pasca 30 September 1965, peristiwa PKI berimbas pada serangan-serangan terhadap etnis China di Solo.
Kho Ping Hoo dua kali menjadi korban kerusuhan rasial di Indonesia. Yang pertama saat ia tinggal di Tasikmalaya tahun 1963. Myra mencatat, rumah dan segala isinya, termasuk vespa dan sepeda anaknya luluh jadi abu. Alat percetakan yang dipakainya untuk membuat majalah juga dihancurkan. Patah hati, Kho Ping Hoo pindah ke Solo. Ternyata, sama saja. Pasca 30 September 1965, peristiwa PKI berimbas pada serangan-serangan terhadap etnis China di Solo.
“Saya tuh salah apa, “ kata Tina menirukan kata-kata ayahnya saat itu. Usai kerusuhan di Tasikmalaya, sudah ada keinginan Kho Ping Hoo untuk pindah ke China. Akan tetapi, perjalanan dengan kapal laut sangat jauh dan lama sementara anak-anaknya masih kecil-kecil. Makanya ia pindah ke Solo. Rasa ingin pindah ke China kembali hadir di hatinya karena ia sakit hati diperlakukan tidak adil tahun 1965.
Sakit hati dan kemarahan ia tuangkan lewat karya. Bukan tanpa sebab ia memilih nama pena Asmaraman. Tina bercerita kalau Kho Ping Hoo sangat memuja cinta. Bagi ayahnya ini, cinta ada di atas segala perbedaan. Dalam menulis, ia tidak sekedar menulis untuk mendapatkan uang atau menyajikan cerita-cerita misterius, intrik, silat, dan petualangan.
Ada pesan yang hendak ia sampaikan. Apalagi ia tahu, karya-karyanya dibaca berbagai kalangan dari atas hingga bawah. Ia ingin menyajikan karakter-karakter Tionghoa yang membantah stigma saat itu bahwa orang Tionghoa semuanya mata duitan, licik dan akan kembali ke China daratan. Sebaliknya, ia juga ingin menunjukkan bahwa kebudayaan Jawa bersifat adiluhung atau sangat tinggi mutunya.
Menurut Leo Suryadinata yang juga profesor di National University of Singapore (NUS) ini, cerita-cerita silat Kho Ping Hoo bersumber dari pengalaman hidupnya yang kaya. Umur 14 tahun ia telah bekerja. Namun, hobinya membaca dan belajar terus dilakukan. Tahun 1952 ia telah menulis cerpen, tetapi mulai terkenal sejak tahun 1959 ia menulis cerita silat sendiri. Ini berbeda dengan penulis-penulis cerita silat sebelumnya yang menerjemahkan dari bahas Mandarin.
Cerita silat Kho Ping Hoo walau penuh dengan nuansa Tionghoa lebih dekat ke konteks Indonesia
Tidak heran, cerita silat Kho Ping Hoo walau penuh dengan nuansa Tionghoa lebih dekat ke konteks Indonesia. Leo menyoroti, cerita-cerita Kho Ping Hoo sering mengangkat tema kisah cinta lintas ras. Pembacanya juga beragam. “Seperti Gus Dur, wapres Maruf Amin dan Presiden Jokowi juga sempat suka membaca Kho Ping Hoo,” kata Leo.
Penulis dan wartawan Seno Gumira Ajidarma menyoroti bahasa Indonesia Kho Ping Hoo yang sangat bagus. Kho Ping Hoo menggunakan bahasa Indonesia dengan luwes dalam menciptakan alur cerita dan karakter yang kuat. Peristiwa-peristiwa pahit yang ia alami menjadi energi kreatif yang ia tumpahkan di karyanya karena rentetan ketidakadilan karena ras itu membuat Kho Ping Hoo menjadi sangat peka. Ia juga menyajikan realita di mana hidup bukan saja soal baik versus jahat. Ketika menulis tentang penguasa, Seno menunjukkan bagaimana Kho Ping Hoo menggambarkan orang-orang di sekitar kekuasaan itu korup dan ingin memanfaatkan kekuasaannya.
“Ini pengalaman pribadi yang tidak jadi dendam, tapi ia manfaatkan untuk alur yang seru dalam cerita-ceritanya dari dendam ke dendam,” kata Seno.
Dan dalam kehidupan sehari-hari, Kho Ping Hoo melaksanakan cinta yang menggerakkan manusia di atas segala perbedaaan. Keluarga besarnya adalah wujud dari Indonesia kecil yang berbeda-beda tetapi satu juga. Anak-anaknya menikah dengan berbagai suku bangsa. Tina bercerita, kalau mereka berjalan-jalan ke luar negeri, Kho Ping Hoo kerap berkata, “Tuh luar negeri kayak gini, bagusan Indonesia ya.”