Elite Politik Sebaiknya Siapkan Regenerasi Kepemimpinan Nasional 2024
Daripada memunculkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, yang oleh Presiden Jokowi berulang kali ditolak dan dibantah wacana itu, elite politik sebaiknya mempersiapkan regenerasi kepemimpinan nasional.
Oleh
RINI KUSTIASIH DAn NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elite dan partai politik sebaiknya menyiapkan regenerasi kepemimpinan nasional melalui kader-kadernya dalam Pemilu 2024 daripada sibuk mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Isu itu pun telah ditampik oleh Presiden Joko Widodo sehingga tidak relevan lagi untuk diwacanakan.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, bisa jadi ada agenda setting di balik terus munculnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Padahal, Presiden Jokowi telah berulang kali menolak untuk menjadi presiden tiga periode. Seharusnya dengan pernyataan yang lantang itu, wacana presiden tiga periode tidak perlu lagi dibahas dan terus diembuskan.
”Bisa jadi ada agenda setting untuk hal ini. Sebab, ketika sudah dibantah oleh Presiden, mestinya diskursus itu berhenti di sini lantaran lokusnya ada di Presiden. Jika tetap ada elite-elite politik yang terus-menerus menggoreng isu ini, mungkin saja ingin mempertahankan status quo atau tidak menginginkan adanya perubahan,” kata Arya saat dihubungi, Selasa (16/3/2021), dari Jakarta.
Bisa jadi ada agenda setting untuk hal ini. Sebab, ketika sudah dibantah oleh Presiden, mestinya diskursus itu berhenti di sini lantaran lokusnya ada di Presiden. Jika tetap ada elite-elite politik yang terus-menerus menggoreng isu ini, mungkin saja ingin mempertahankan status quo atau tidak menginginkan adanya perubahan.
Usulan itu pun sangat kontraproduktif karena ada banyak calon dan nama yang muncul dalam bursa kandidasi Pemilu 2024. Upaya mewacanakan presiden tiga periode hanya menghambat terjadinya regenerasi kepemimpinan nasional. ”Kita punya banyak sekali nama calon yang sudah beredar, mulai dari kepala daerah, menteri, sampai ketua umum parpol. Jadi, kalau isu ini diembuskan terus, ada dugaan memang sengaja untuk mempertahankan status quo. Padahal, nama-nama yang muncul itu sangat mungkin untuk menjadi jalan terjadinya regenerasi kepemimpinan nasional,” tutur Arya.
Sebelumnya, isu mengenai adanya upaya untuk memperpanjang masa jabatan presiden diungkapkan mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais melalui kanal media sosialnya, Sabtu akhir pekan lalu. Amien menyebut upaya itu berusaha dilakukan dengan mengadakan Sidang Istimewa (MPR) dan mengubah sejumlah pasal guna meloloskan perpanjangan masa jabatan presiden selama tiga periode.
Soal ini, Presiden Jokowi telah membantahnya. Dalam pernyataan pers yang disiarkan secara daring, Presiden menyebut tidak berminat untuk menjadi presiden tiga periode. ”Janganlah membuat kegaduhan baru. Kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi,” kata Presiden dalam keterangan pers yang disampaikan dari beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta, secara daring, Senin (15/3/2021) sore.
Saat mulai muncul kembali isu mengenai amendemen UUD 1945 untuk menambahkan masa jabatan presiden, Presiden Joko Widodo menegaskan sikapnya tidak berubah. ”Bolak-balik ya sikap saya enggak berubah. Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama,” tutur Presiden.
Pimpinan MPR pun membantah hal tersebut. Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan tidak ada pembahasan apa pun di internal MPR untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Presiden Joko Widodo juga sudah sejak jauh hari menegaskan tidak ada niatan dari dirinya pribadi maupun dari unsur kalangan pemerintah untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Bambang menambahkan, masyarakat harus mewaspadai isu perpanjangan masa jabatan kepresidenan menjadi tiga periode. Jangan sampai isu tersebut digoreng menjadi bahan pertikaian dan perpecahan bangsa. Stabilitas politik yang sudah terjaga dan merupakan kunci keberhasilan pembangunan jangan sampai terganggu karena adanya propaganda dan agitasi perpanjangan masa jabatan kepresidenan (Kompas, 16/3/2021).
Kendati demikian, suara berbeda disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Wakil Ketua Umum PKB itu mengatakan, idealnya masa jabatan presiden juga terpulang pada kehendak rakyat. Aturan yang ada sekarang ialah dua periode. Namun, pembatasan masa jabatan bisa saja berubah sesuai kehendak dan dinamika rakyat.
”Idealnya, presiden mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bukan pada batasan periode jabatan saja. Hemat saya pribadi, kalau dasarnya konstitusi bergantung pada bunyi konstitusinya. Dan konstitusi dapat diubah melalui amendemen. Jika ukurannya etika, satu periode sudah cukup,” katanya.
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, agenda penting yang perlu selalu dibicarakan oleh publik tentu adalah komitmen regenerasi kepemimpinan nasional dari semua elite politik. Isu itu jauh lebih penting daripada wacana memperpanjang masa jabatan presiden selama tiga periode.
Regenerasi kepemimpinan di sebuah negara demokrasi inilah sebenarnya landasan kenapa pembatasan kekuasaan penting terus disampaikan. Artinya, kita telah memiliki komitmen tersebut dan harus tetap kita jaga bersama bahwa periode seorang presiden memang dibatasi dan kesepakatan politik di konstitusi memang hanya mengatur dua kali masa jabatan.
”Regenerasi kepemimpinan di sebuah negara demokrasi inilah sebenarnya landasan kenapa pembatasan kekuasaan penting terus disampaikan. Artinya, kita telah memiliki komitmen tersebut dan harus tetap kita jaga bersama bahwa periode seorang presiden memang dibatasi dan kesepakatan politik di konstitusi memang hanya mengatur dua kali masa jabatan,” katanya.
Oleh karena itu, Pilpres 2024 seharusnya dipandang oleh seluruh partai politik dan elite bangsa ini sebagai upaya untuk terus menjaga regenerasi kepemimpinan, bukan lagi memperdebatkan masa jabatan seorang presiden. Menurut Aditya, regenerasi kepemimpinan nasional saat ini sangat penting karena dua hal. Pertama, agenda itu untuk menjaga hakikat konstitusi yang sudah menetapkan pembatasan kekuasaan presiden. Kedua, mendorong para calon terbaik dari kepemimpinan nasional dan daerah untuk meramaikan kontestasi Pilpres 2024 sebagai usaha mengedukasi publik akan pentingnya regenerasi politik.
”Parpol harus menyiapkan energinya dan mulai dari sekarang mempersiapkan diri dalam menghadirkan calon-calon terbaiknya, bukan memperdebatkan hal yang sensitif dalam konstitusi kita, yaitu masa jabatan presiden dua periode,” katanya.