Pengaturan Ulang Tindak Pidana UU ITE ke RKUHP Dinilai Memakan Waktu
Rencana pemerintah memasukkan semua tindak pidana di UU ITE ke RKUHP didukung berbagai kalangan. Namun, hal itu bisa dilakukan secara bertahap dengan merevisi UU ITE terlebih dulu, Menunggu revisi KUHP bisa sangat lama.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI / NIKOLAUS HARBOWO/EDNA C PATTISINA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana untuk memasukkan ketentuan pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinilai akan memakan waktu yang lama di DPR. Sementara itu, revisi UU ITE dinilai lebih mudah dan cepat karena hanya menyasar setidaknya tiga sampai sembilan pasal karet.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Omar Sharif Hiariej mengatakan, revisi pasal-pasal yang multitafsir dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan keniscayaan. Namun, jalannya dengan mengesahkan Rancangan KUHP (RKUHP). Sebab, dalam RKUHP itu, seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE dimasukkan di dalamnya. Ketentuan pun dibuat lebih jelas dan diyakininya tidak lagi menimbulkan multitafsir (Kompas, 12/3/2021).
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu saat dihubungi, Jumat (12/3/2021), mengatakan, secara konsep hukum, pihaknya menyambut baik wacana yang disampaikan Wakil Menkumham. Sebab, hal itu sejalan dengan konsep kodifikasi atau pengaturan ulang tindak pidana konvensional.
Revisi UU ITE dinilai lebih mudah dan cepat dibandingkan RKUHP karena hanya menyasar setidaknya tiga sampai sembilan pasal karet.
Menurut Erasmus, tindak pidana yang sifatnya konvensional dalam UU ITE memang seharusnya cukup diatur dalam KUHP. Dalam sejarahnya, revisi UU ITE juga pernah dibahas bersamaan dengan RKUHP pada tahun 2016. Namun, saat itu, masukan dari masyarakat sipil untuk melakukan kodifikasi hukum tidak diakomodasi. Revisi UU ITE tetap dilakukan dengan memuat ketentuan pidana pada tindak pidana konvensional, seperti penghinaan dan pencemaran nama baik.
”Namun, persoalan revisi UU ITE ini tidak hanya soal konsep, tetapi juga bicara soal mana yang lebih mudah. Revisi UU ITE hanya menyasar tiga hingga sembilan pasal bermasalah, sedangkan RKUHP akan membahas ribuan pasal. Apakah orang kemudian akan fokus pada delik ITE?” kata Erasmus.
Erasmus pesimistis RKUHP akan dibahas cepat di DPR. Sebab, materi RKUHP begitu luas dan tidak hanya terkait dengan informasi dan transaksi elektronik. Tak kurang dari 24 isu masih terus dikaji ulang dalam RKUHP. Ini jelas akan memakan waktu lama dalam proses pembahasan di DPR.
Sementara itu, korban yang jatuh akibat UU ITE sudah begitu banyak. Catatan koalisi masyarakat sipil, sejak 2016 hingga Februari 2020, kasus yang berkaitan dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan, penghukuman mencapai 96,8 persen atau sebanyak 744 perkara. Adapun tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88 persen atau 676 perkara. Kelompok paling rentan dijerat UU ITE adalah jurnalis, aktivis, dan warga yang bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Catatan koalisi masyarakat sipil, sejak 2016 hingga Februari 2020, kasus yang berkaitan dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan, penghukuman mencapai 96,8 persen atau sebanyak 744 perkara.
Oleh karena itu, masyarakat sipil mengusulkan agar pemerintah dan DPR melakukan revisi UU ITE terlebih dahulu. Hal itu bisa dilakukan dengan memasukkan revisi UU ITE dalam perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada Juni nanti. Kemudian, pengaturan tindak pidana konvensional melalui RKUHP bisa dilakukan setelahnya. Delik-delik yang ada dalam UU ITE setelah direvisi masih bisa dipindahkan dan diatur sesuai RKUHP. Hal ini dinilai lebih mudah dan tidak mengorbankan urgensi revisi UU ITE.
”Korban UU ITE sudah banyak berjatuhan dan sudah ada kehendak atau janji politik dari Presiden Joko Widodo untuk merevisi UU ITE tersebut. Ini adalah janji kepada publik yang harus ditepati,” ucap Erasmus.
Di sisi lain, Erasmus mengatakan, masyarakat sipil mengapresiasi langkah pemerintah yang telah membentuk tim kajian revisi UU ITE. Tim kajian revisi UU ITE juga telah mengadakan dialog inklusif yang menghadirkan korban, pelapor, hingga masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada isu kebebasan berekspresi di dunia digital. Namun, sampai saat ini, tim belum menyelesaikan kajiannya. Seharusnya langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah mengacu pada hasil kajian dan rekomendasi tim yang sudah dibuat.
”Pemerintah sudah membuat tim kajian UU ITE yang mendengar masukan dari berbagai elemen masyarakat. Menurut kami, itu salah satu langkah yang bagus dan pengawasan publiknya pun lebih mudah. Kami berharap UU ITE tetap direvisi dan akan lebih baik jika dilakukan bersamaan dengan RKUHP,” katanya.
Tim kajian revisi UU ITE juga telah mengadakan dialog inklusif yang menghadirkan korban, pelapor, hingga masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada isu kebebasan berekspresi di dunia digital.
Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo menolak berkomentar saat dimintai tanggapan soal rencana memasukkan ketentuan pidana UU ITE ke RKUHP. Menurut dia, tim kajian UU ITE, yang terdiri dari tim penyusun pedoman teknis UU ITE dan kajian revisi UU ITE masih bekerja secara intensif.
Tim juga telah menampung aspirasi dari berbagai kelompok, seperti korban, pelapor, dan aliansi masyarakat sipil. Tim akan menyelesaikan hasil kajian dan rekomendasinya sesuai tenggat dua bulan sejak tim dibentuk. Menurut rencana, rekomendasi dan kajian itu akan selesai pada 22 Mei 2021 nanti.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate tidak menjawab dengan tegas setuju atau tidak dengan rencana Wakil Menkumham. Namun, pada prinsipnya, menurut dia, yang terpenting adalah substansi payung hukum yang dihasilkam nanti bisa lebih jelas dan bermanfaat bagi masyarakat.
”Sejauh mungkin perlu diperhatikan agar tidak terjadi kekosongan payung hukum dalam ruang digital,” ujar Johnny.
Rencana untuk memasukkan ketentuan pidana UU ITE ke dalam RKUHP bukanlah persoalan. Lagi pula, RKUHP merupakan salah satu RUU luncuran (carry over) 2020 yang menjadi fokus DPR untuk segera diselesaikan.
Mendukung
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, rencana untuk memasukkan ketentuan pidana UU ITE ke dalam RKUHP bukanlah persoalan. Lagi pula, RKUHP merupakan salah satu RUU luncuran (carry over) 2020 yang menjadi fokus DPR untuk segera diselesaikan.
”Itu tergantung pemerintah. Kalau dirasa bahwa itu boleh dimasukkan di dalam (RKUHP), enggak ada masalah. DPR mesti terima. Dan DPR, kan, berkeyakinan seharusnya RKUHP segera disahkan,” ujar Supratman.
Salah satu alasan RKUHP harus segera disahkan, menurut dia, adalah KUHP yang dimiliki saat ini merupakan warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda. ”Jadi, kita belum punya satu kodifikasi hukum pidana yang betul-betul murni itu karya kita. Ini, kan, seharusnya sudah bisa mengantisipasi perkembangan kejahatan di pidana,” katanya.
Supratman berpandangan, jika nanti ketentuan pidana dalam UU ITE tercakup di RKUHP, revisi UU ITE menjadi tidak relevan lagi. ”Sehingga nanti (di UU ITE) tinggal dicantumkan saja bahwa pasal-pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi,” katanya.
Ia menjelaskan, ke depan, semua ketentuan pidana seharusnya diatur dalam satu kitab, yakni KUHP. Jika nanti ada pengaturan pidana dalam undang-undang sektoral, hal itu harus merujuk pada KUHP sepanjang sudah diatur. Jika belum diatur dalam KUHP, tidak boleh asal memasukkan ketentuan pidana dalam undang-undang sektoral. Namun, ia mengusulkan, lebih baik KUHP diamendemen.
”Kan, boleh amendemen satu pasal, misalnya. Jadi, bukan (direvisi) undang-undang sektoralnya. Coba lihat yang terjadi sekarang, semua undang-undang ada sanksi pidananya. Patokannya tidak jelas, kedudukannya dari mana, suka-suka pembuat undang-undang. Padahal, kalau kita mau efisien, seharusnya ketentuan pidana itu cukup satu pedoman saja, KUHP,” pungkasnya.