Aktivisme nir-kekerasan seharusnya menjadi jalan untuk mengawal demokrasi. Terlebih di tengah pandemi Covid-19. Namun, tak mudah untuk membuatnya efektif. Sejumlah syarat mesti terpenuhi. Setumpuk tantangan menghadang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Aktivisme nir-kekerasan seharusnya menjadi jalan untuk mengawal demokrasi daripada unjuk rasa yang kerap berujung kekerasan, seperti terlihat beberapa tahun terakhir. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, cara itu meminimalisasi risiko tertular Covid-19. Namun, tak mudah untuk membuatnya efektif. Sejumlah syarat mesti terpenuhi. Setumpuk tantangan menghadang.
Kajian terbaru dari Pusat Kajian Internasional (Institute of International Studies/IIS) Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada mungkin bisa menjadi alternatif model aktivisme nir-kekerasan. Melalui proyek pangkalan data ”Damai Pangkal Damai (DPD)” yang diluncurkan Senin (22/2/2021), IIS UGM mencoba mengampanyekan aksi nir-kekerasan. Ada beberapa contoh aksi nir-kekerasan di Indonesia dan dunia selama masa pandemi yang bisa menjadi inspirasi.
Salah satunya unjuk rasa oleh The Body Shop Indonesia bersama Yayasan Pulih dan Magdalene saat peringatan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di depan Gedung DPR, Jakarta, 25 November 2020.
Saat itu, peserta aksi menyampaikan tuntutannya, yaitu pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dengan menggelar sekitar 500 sepatu perempuan. Aksi unik itu pun menuai apresiasi dan dukungan luas karena tuntutan disampaikan tanpa menghadirkan kerumunan yang berisiko memperparah penularan Covid-19.
Contoh lain saat unjuk rasa besar-besaran menolak pengesahan UU Cipta Kerja terjadi, September-Oktober 2020. Di tengah unjuk rasa di sejumlah daerah, penggemar K-pop atau K-popers menyuarakan penolakan terhadap UU itu di media sosial. Sejumlah tagar penolakan UU yang dikampanyekan K-popers tersebut bahkan menjadi topik populer internasional.
Secara singkat, aksi nir-kekerasan adalah metode aktivisme atau pergerakan yang didasarkan pada prinsip tidak menggunakan kekerasan fisik. Metode nir-kekerasan yang dirujuk oleh DPD adalah gagasan dari tokoh Thomas Weber dan Robert. Adapun menurut tokoh lain, Gene Sharp, ada 198 jenis aksi nir-kekerasan. Aksi nir-kekerasan itu dapat dikelompokkan dalam tiga kategori besar, yaitu protes dan persuasi, nonkooperasi, serta intervensi.
Peneliti IIS sekaligus inisiator DPD UGM, Diah Kusumaningrum, mengatakan, metode aktivisme nir-kekerasan sangat relevan digunakan di masa pandemi.
”Di tengah risiko kesehatan yang tinggi, warga di berbagai belahan dunia tidak mengendurkan pembelaan mereka terhadap demokrasi dan hak sipil. Dalam beberapa kasus, pandemi ini justru memunculkan ancaman baru terhadap demokrasi dan hak sipil sehingga urgensi melawan dengan jalan nir-kekerasan meningkat,” katanya.
Pangkalan data DPD mencatat aksi-aksi nir-kekerasan (nonviolence) yang terjadi di Indonesia sepanjang 1999 sampai sekarang. Obyek penelitian menggunakan arsip pemberitaan dari harian Kompas. Penelitian oleh DPD tersebut dilakukan sejak 2016. Di pangkalan data tersebut, terekam 14.023 aksi nir-kekerasan sejak 1999-2021.
Khusus untuk tahun 2020, DPD merekam 346 aksi nir-kekerasan di Indonesia. Sebagian besar dari aksi ini terpusat pada penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (113 aksi). Tidak sedikit pula yang mengusung isu hak asasi manusia (47 aksi), penanganan Covid-19 (23 aksi), dan penolakan kekerasan seksual (23 aksi). Sebagian besar aksi ini masuk dalam kategori protes dan persuasi. Adapun 1,73 persen aksi masuk kategori nonkooperasi dan 2,02 persen masuk kategori intervensi.
”Sebenarnya aksi nir-kekerasan secara umum telah konsisten dilakukan di Indonesia sejak 1999. Sejak 1999, aksi nir-kekerasan mencapai 88,56 persen dan mayoritas memanfaatkan metode-metode protes dan persuasi,” kata Diah.
Menurut dia, di tengah tren penurunan kualitas demokrasi dunia ditambah situasi pandemi menjadi relevan bagi warga untuk membekali diri dengan keterampilan dan disiplin nir-kekerasan.
Efektivitas gerakan
Namun, terkait efektivitas aksi nir-kekerasan akan sangat tergantung dari kemampuan pelaku menempatkan dilema aksi kepada lawan. Lawan perlu dibuat berhitung mengenai ongkos moral dan ongkos politik dari perbuatannya.
Jika tidak menuntaskan kekerasan HAM masa lalu, tidak menerapkan kebijakan iklim progresif, tidak meloloskan RUU PKS, misalnya, apa dampaknya bagi keterpilihan seorang pejabat? Apakah pilihan itu akan berdampak pada reputasi seorang pejabat, pendapatan, dan posisinya?
Selain itu, dilema aksi perlu diikuti dengan intensitas aksi nir-kekerasan. Penggunaan metode protes dan persuasi perlu ditingkatkan ke metode nonkooperasi dan intervensi. Ini dinilai lebih mampu menghadirkan ongkos moral dan politik yang lebih tinggi.
Sejumlah aksi yang masuk dalam kategori nonkooperasi adalah pengucilan, pemogokan pelajar, pembangkangan sosial, hingga aksi protes dengan menetap di rumah. Adapun untuk aksi yang masuk dalam kategori intervensi seperti ikut bicara dan pemogokan dengan bertahan di tempat kerja.
Contoh gerakan nonkooperasi dan intervensi di Indonesia adalah saat petani Kendeng, Jawa Tengah, melakukan aksi menyemen kaki di depan istana untuk menutup pembangunan pabrik semen. Aksi nir-kekerasan Kartini Kendeng itu juga dinilai memiliki efek kejut yang tinggi. Pemerintah dipaksa berhitung bahwa ongkos moral dan politik yang harus ditanggung besar jika memilih abai pada para Kartini Kendeng.
Selain itu, aksi nir-kekerasan perlu dilakukan dengan pengorganisasian yang baik. Perlu ada disiplin terkait teknis pembekalan bagi aktivis, memperkuat daya gabung kelompok, dan mengisolasi dari gerakan kekerasan.
Tantangan
Mantan wartawan, aktivis, yang kini menjadi peneliti Accenture Malaysia, Puri Kencana Putri, mengatakan, selama pandemi, aktivisme memang bisa beralih ke dunia maya. Namun, tantangannya tidaklah mudah.
Salah satunya karena gerakan sosial di dunia maya diserang dengan badai misinformasi, ujaran kebencian, fenomena ruang gema yang memicu polarisasi. Selain itu, di dunia digital kerap terjadi praktik buruk lainnya berupa spionase digital hingga pengintaian warga (surveillance). Dengan demikian, sebenarnya, wadah dunia digital belum sepenuhnya ideal untuk memindahkan seluruh gerakan perubahan.
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina Ihsan Ali Fauzi berpendapat, dalam berbagai kesempatan, aksi nir-kekerasan lebih efektif daripada gerakan kekerasan. Misalnya, gerakan sosial di Tunisia yang bersifat nir-kekerasan lebih berhasil daripada gerakan sosial dengan kekerasan di Libya.
”Namun, masih ada yang menganggap bahwa definisi nir-kekerasan dan kekerasan itu sangat subyektif. Kapan metode itu bisa dilakukan dan dalam situasi apa itu tidak bisa dilakukan?” kata Ihsan.
Ihsan juga mengingatkan tentang relasi kuasa yang timpang antara negara dan masyarakat sipil. Ketika menuntut perubahan, masyarakat sipil berhadapan dengan negara yang memiliki sumber daya luar biasa besar. Apakah gerakan nir-kekerasan itu bisa efektif memberikan efek kejut dan daya tawar?
Tantangan lain, menurut Diah, adalah respons dari negara. Meskipun sudah dirancang dan dijalankan secara nir-kekerasan, banyak gerakan justru mendapatkan respons kekerasan dari negara. Contohnya, pemidanaan yang tak proporsional ataupun penanganan demonstrasi menggunakan meriam air dan gas air mata. Di dunia maya juga ada praktik peretasan dan doxing.