Kumpulan Kepentingan yang Harus Terbiasa Bersama Berseberangan…
Sejarah kepartaian di Indonesia menggambarkan terjadinya konflik yang berulang kali. Mulai dari PNI pada 1965, PDI di era berikutnya, lalu partai lain, seperti PKB, Golkar. Kini, giliran Partai Demokrat tengah bergolak.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·5 menit baca
I don’t like either political party. One should not belong to them, one should be an individual, standing in the middle. Anyone that belongs to a party stops thinking. (Ray Douglas Bradbury (1920-2012), Sastrawan Amerika Serikat)
Ketika bersepakat mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi UU Nomor 2 Tahun 2011, pemerintah dan DPR, yang beranggotakan wakil dari partai, bersepakat pentingnya penguatan parpol. Pada awak konsideran menimbang UU Parpol itu dituliskan, penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran parpol adalah bagian dari proses menguatkan pelaksanaan demokrasi di negeri ini.
Tentu saja penguatan partai dan pembenahan sistem kepartaian yang efektif, sesuai UU itu, sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Peran parpol disebutkan jelas pada Pasal 22E Ayat (3) Konstitusi, yang berbunyi peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol. Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berasal dari perseorangan. Parpol menjadi satu-satunya jalan bagi pencalonan presiden/wakil presiden (Pasal 6A). Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 28 dan perubahannya, memberikan hak kepada warga negara untuk memilih, terlibat, dan membentuk partai di Indonesia.
Pemilu yang digelar demokratis di negeri ini, pertama kali, tahun 1955 diikuti 172 partai, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan perseorangan. Namun, hanya 34 nama yang memasukkan wakilnya di Konstituante. Setelah Orde Baru berkuasa mulai tahun 1966, Pemilu 1971 diikuti 10 partai dan organisasi sosial politik (orsospol).
Golongan Karya (Golkar) yang ikut pada Pemilu 1971 belum menyatakan diri sebagai partai, tetapi orsospol karya dan kekaryaan. Pemilu 1971 menjadi yang terakhir era multipartai. Presiden Soeharto memaksa partai yang mengikuti pemilu sebelumnya untuk berfusi, melebur. Pada masa berikutnya hanya ada tiga peserta pemilu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai hasil fusi partai berbasiskan keislaman, Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang adalah hasil peleburan partai berasaskan nonkeislaman. Golkar selalu memenangi lima pemilu, sejak 1977, pada era Orba.
Filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM), menyebutkan, manusia adalah political animal, binatang yang berpolitik. Berpolitik sebagai upaya meraih kekuasaan untuk kesejahteraan diri dan orang lain. Kesejahteraan rakyat. Manusia dengan kepentingannya, untuk meraih kekuasaan, berhimpun dalam parpol. Demokrasi memerlukan partai.
Gerakan Reformasi tahun 1998 melahirkan kembali era multipartai di negeri ini. Pemilu 1999, yang saat itu hanya memilih anggota DPR dan DPRD, diikuti oleh 48 partai. Minat warga membentuk partai sangatlah tinggi, tetapi peserta pemilu pada era Reformasi cenderung menurun sebab tak banyak yang lolos seleksi.
Sejak Pemilu 2009 diterapkan aturan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) agar fungsi partai di lembaga legislatif efektif. Jumlah partai yang bisa menempatkan wakilnya di DPR atau DPRD cenderung menurun karena ambang batas itu juga cenderung dinaikkan.
Ilmuwan politik asal Amerika Serikat, Harold Laswell (1902-1978), memaknai politik sebagai siapa mendapatkan apa dan bagaimana mendapatkannya. Prinsip, nilai, moral, dan etika bukan variabel yang dipertimbangkan untuk meraih kekuasaan.
Biasa berbeda
Pasal 1 UU Parpol yang kini berlaku menyebutkan, partai adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ilmuwan politik asal Amerika Serikat, Harold Laswell (1902-1978), memaknai politik sebagai siapa mendapatkan apa dan bagaimana mendapatkannya. Prinsip, nilai, moral, dan etika bukan variabel yang dipertimbangkan untuk meraih kekuasaan. Mantan Perdana Menteri Inggris Henry John Temple Palmerston (1784-1865) mengingatkan, dalam politik tiada teman atau musuh abadi. Kepentinganlah yang abadi.
Sastrawan AS Ray D Bradbury, yang tak suka politik, secara sinis mengatakan, seseseorang yang masuk partai akan berhenti berfikir karena dia dikuasai oleh parpol. Hal ini sejalan dengan kritik dari sastrawan asal Inggris, Alexander Pope (1688-1744), yang mengatakan, ”Party is the madness of many for the gain of a few.” (Parpol itu kegilaan sejumlah orang untuk kepentingan segelintir orang).
Sebagai kumpulan manusia yang memiliki pemikiran dan kepentingan masing-masing, apalagi dalam kerangka demokrasi memiliki kedudukan yang setara, potensi konflik dalam partai amatlah tinggi. Sejarah kepartaian di Indonesia menggambarkan terjadinya konflik yang berulang kali. Tahun 1965, misalnya, Partai Nasional Indonesia (PNI) pun pecah menjadi dua kepemimpinan, yaitu PNI yang dipimpin Ali Sastroamidjojo serta PNI yang dipimpin Oesep Soerachman dan Osa Maliki. Tahun 1929, PNI yang didirikan Soekarno pada 1926 juga pernah pecah menjadi Partai Indonesia (Partindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) baru. Konflik dan perpecahan partai berlangsung hingga hari ini di Indonesia.
Sejarah kepartaian di Indonesia menggambarkan terjadinya konflik yang berulang kali.
Minggu ini, Partai Demokrat yang turut dibidani Presiden (2004-2014) Susilo Bambang Yudhoyono tengah bergolak. Sejumlah kader dan pendirinya menggelar kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, dan mengangkat Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjadi ketua umum, Jumat (5/3/2021). Kali ini, mantan Ketua DPR Marzuki Alie adalah salah seorang yang memotori perlawanan terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, yang terpilih secara aklamasi dalam kongres di Jakarta tahun 2020. Padahal, Marzuki adalah sosok yang melawan saat sejumlah pendiri Partai Demokrat, yang dipimpin Ventje Rumangkang tahun 2015, menggelar silaturahmi nasional, yang dinilai untuk melawan Yudhoyono.
Tidak hanya Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pun lahir dari konflik di tubuh PDI, yang melibatkan campur tangan pemerintah. PDI-P juga tak lepas dari konflik, yang melahirkan partai baru. Konflik, perpecahan, dan juga bersama menemukan jalan keluar juga dialami Partai Golkar, PPP, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan sejumlah partai yang terlahir di era Reformasi.
UU No 2/2011 menunjukkan partai di negeri ini memang belum sepenuhnya mandiri. Masih ada dana dari negara yang diberikan kepada partai sehingga ini bisa menjadi pintu masuk campur tangan pemerintah. Namun, tak selalu konflik partai terjadi karena adanya keterlibatan pemerintah. Juga tak selalu penyelesaian konflik partai itu melibatkan campur tangan pemerintah. Tidak sedikit partai yang bisa merampungkan perbedaan di antara kader, pengurus, dan pendirinya, antara lain dengan kesepahaman untuk melahirkan partai baru.
Selama partai masih kumpulan orang dengan kepentingan masing-masing, konflik bisa saja terjadi kapan saja. Namun, juga bisa kapan saja konflik itu terselesaikan bersama. Jika tak lagi mau bersama, tak perlu dipaksakan.