Pencegahan dan Mitigasi Bencana Dinilai Paling Utama
Presiden Jokowi dalam rakor penanggulangan bencana mengingatkan agar bencana diantisipasi dengan rencana detail. Harapannya, upaya tidak dilakukan hanya saat tanggap darurat. Kepekaan kepala daerah juga diperlukan.
JAKARTA, KOMPAS — Pengurangan risiko bencana semestinya dititikberatkan pada upaya pencegahan dan mitigasi bencana. Namun, untuk itu, diperlukan kepekaan kepala daerah dan pemangku kepentingan untuk menuangkannya dalam kebijakan di daerah. Tak hanya itu, implementasi di lapangan juga menjadi kunci.
Presiden Joko Widodo mengingatkan supaya bencana diantisipasi dengan rencana yang detail. Harapannya, upaya tidak dilakukan hanya saat tanggap darurat saja.
”Kebijakan nasional dan daerah harus sensitif terhadap kerawanan bencana. Jangan ada bencana, baru kita pontang-panting, ribut, apalagi saling menyalahkan,” ujarnya saat meresmikan pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana di Istana Negara, Jakarta, Rabu (3/3/2021). Acara ini berlangsung secara luring dan daring.
Baca juga : Menghindari Dampak Kerugian Bencana Alam
Di Istana Negara, Presiden Jokowi didampingi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Adapun peserta rakornas lainnya adalah para kepala daerah, akademisi, organisasi masyarakat, sukarelawan, dan media.
Kebijakan nasional dan daerah harus sensitif terhadap kerawanan bencana. Jangan ada bencana, baru kita pontang-panting, ribut, apalagi saling menyalahkan.
Indonesia, dalam catatan Bank Dunia, termasuk 35 negara dengan risiko bencana tertinggi. Sepanjang Februari 2020 sampai akhir Februari 2021, BNPB juga mendapati 3.253 kejadian bencana di Indonesia. Ini berarti dalam sehari terjadi sekitar sembilan bencana di Indonesia.
Doni Monardo juga mengutip perhitungan kerugian akibat bencana yang dilakukan Kementerian Keuangan yang mencapai Rp 22,8 triliun per tahun. Korban jiwa akibat bencana dalam sepuluh tahun terakhir ini mencapai 1.183 orang.
Karena itu, menurut Presiden, semestinya Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2020-2024 yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 bisa dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan dan perencanaan tata ruang. Penataan tata ruang, misalnya, harus memperhatikan kerawanan bencana yang ada.
Audit kebijakan tata ruang juga harus berjalan di lapangan, bukan hanya di atas kertas. Dicontohkan, di wilayah rawan gempa, semestinya standar bangunan, seperti fasilitas umum dan fasilitas sosial, harus tahan gempa. Untuk itu, pemeriksaan lapangan harus dilakukan. Dengan demikian, bangunan yang tak tahan gempa bisa dikoreksi.
Presiden Jokowi juga meminta kebijakan untuk mengurangi risiko bencana harus terintegrasi. Langkah yang dilakukan di hulu, tengah, dan hilir harus saling mendukung. Karena itu, tidak boleh ada ego sektoral, ego daerah, apalagi ada yang merasa ini bukan urusannya.
Selain itu, manajemen tanggap darurat serta kemampuan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi harus terus dibenahi. Harapannya, langkah yang dikerjakan pascabencana bisa dilakukan secara cepat. ”Jangan (sampai) sudah lebih dari satu tahun belum nongol apa yang sudah kita janjikan,” kata Presiden.
Sistem peringatan dini juga harus dicek supaya berfungsi baik. Semua rencana kontingensi dan rencana operasi saat tanggap darurat harus dapat diimplementasikan dengan cepat. ”Kecepatan adalah kunci untuk menyelamatkan dan mengurangi jatuhnya korban,” ujar Presiden.
Kecepatan adalah kunci untuk menyelamatkan dan mengurangi jatuhnya korban.
Edukasi kepada masyarakat supaya sadar bencana juga perlu dilanjutkan. Apabila edukasi dan simulasi rutin dilakukan di daerah-daerah rawan bencana, diharap risiko korban jiwa bisa dikurangi.
Arahan Presiden supaya semua instansi pemerintah, TNI/Polri, dan pemerintah daerah bersinergi untuk mencegah, memitigasi, serta merencanakan pembangunan dengan prinsip pengurangan risiko bencana terus dilakukan. Pelibatan pakar, penguatan sistem peringatan dini, penyusunan rencana kontingensi, dan edukasi pelatihan kebencanaan dilakukan dengan pendekatan pentaheliks. Semua dikerjakan melibatkan para pakar, dunia usaha, sukarelawan, dan media. Harapannya, kesiapsiagaan baik individu, keluarga, maupun masyarakat terbangun.
Tak paham
Secara terpisah, peneliti senior Pusat Studi Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Amien Widodo, menilai, saat ini banyak kepala daerah yang belum paham mengenai mitigasi. Karena itu, kendati Presiden berulang kali mengingatkan hal sama, korban akibat bencana tetap banyak.
”Mereka tidak tahu mitigasi, yang mereka tahu menyiapkan segala sesuatu kalau bencana itu terjadi,” ucapnya kepada harian Kompas, Rabu (3/3/2021).
Mitigasi semestinya adalah upaya-upaya untuk mengurangi risiko bencana. Dengan demikian, bisa diusahakan supaya tak ada korban jiwa. Semua hal itu bisa dimitigasi sebab umumnya kejadian sama terjadi hampir setiap tahun.
Menyalahkan hujan tidak mendidik generasi yang akan datang, lebih banyak menyesatkan dan menjerumuskan generasi yang akan datang untuk kebanjiran dan terkena longsor secara menerus.
Amien mencontohkan, saat ada bencana banjir dan longsor, para pejabat negara serempak mengatakan hal tersebut akibat hujan ekstrem, pengaruh La Nina, dan sebagainya.
Baca juga : Sebagian Besar Bencana Alam Terjadi akibat Ulah Manusia
”Menyalahkan hujan tidak mendidik generasi yang akan datang, lebih banyak menyesatkan dan menjerumuskan generasi yang akan datang untuk kebanjiran dan terkena longsor secara menerus,” kata Amien yang juga pengajar Teknik Geofisika Fakultas Teknik Sipil Perencanaan dan Kebumian ITS.
Risiko longsor di Nganjuk, menurut dia, juga sudah disampaikan dalam kajian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PMVBG) Badan Geologi yang turun ke lokasi. Namun, berbagai faktor risiko tersebut diabaikan.
Semestinya, kata Amien, para kepala daerah, menteri, dan kepala badan ditantang untuk mendeklarasikan tidak ada lagi korban saat bencana. Dengan demikian, disiapkan prosedur standar operasi (SOP) nol korban bencana. SOP ini harus dibuat secara jelas sehingga apabila terjadi kesalahan bisa mudah diperbaiki. Daerah yang memiliki SOP dan hasilnya sesuai bisa mendapat penghargaan dari negara.