Sebagian Besar Bencana Alam Terjadi Akibat Ulah Manusia
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar bencana hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia, seperti banjir dan tanah longsor, disebabkan oleh ulah manusia. Ulah manusia juga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi pada puncak musim kemarau.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, lebih dari 98 persen bencana alam di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi. Pada bulan Maret, bencana kebakaran hutan dan lahan gambut juga banyak terjadi di Riau dan beberapa wilayah lain di Pulau Sumatera.
Adapun jumlah bencana alam yang terjadi pada periode bulan Januari hingga Maret 2019 meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, jumlah bencana yang terjadi pada 2019 meningkat 32,4 persen dibandingkan tahun 2018.
Pada 2019 telah terjadi 1.107 bencana. Sedangkan, pada 2018 terjadi 836 bencana. Hingga 28 Maret 2019, bencana tersebut telah menyebabkan 375 orang meninggal dan hilang, 1.340 luka-luka, 850.772 orang mengungsi, serta 17.521 rumah rusak.
“Kami memperkirakan kerugian secara ekonomi telah mencapai triliunan rupiah,” ujar Sutopo dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (29/3/2019).
Sebagian besar bencana alam terjadi di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Hal tersebut terjadi karena penduduk paling banyak berada di Pulau Jawa dan banyak dari mereka tinggal di daerah rawan bencana. Selain itu, kesiapsiagaan dari masyarakat kurang.
Bencana yang paling banyak menyebabkan korban jiwa pada bulan Maret yakni banjir dan tanah longsor di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, yakni sebanyak 112 orang meninggal dunia dan 82 orang belum ditemukan. Bencana di wilayah ini diakibatkan oleh faktor alam dan topografi. Pada Sabtu (16/3/2019) terjadi curah hujan ekstrem yang mencapai 248,5 milimeter selama 7 jam.
Sementara itu, topografi di bagian hulu agak curam dan pada bagian hilir datar. Di wilayah timur Sentani terdapat tanah longsor karena proses alami dan membentuk bendungan secara alami. Bendungan tersebut jebol ketika terjadi hujan ekstrem.
Selain itu, kerusakan hutan juga terjadi akibat ulah manusia. Sejak 2003, telah terjadi perambahan cagar alam di Pegunungan Cycloop oleh 43.030 orang. Mereka menggunakannya sebagai lahan permukiman dan pertanian. Penebangan pohon juga dilakukan masyarakat sekitar untuk pembukaan lahan, perumahan, kebutuhan kayu, dan tambang.
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Bernardus Wisnu Widjaja menjelaskan, hujan yang lebat menyebabkan terjadinya beberapa titik longsoran di pegunungan Cycloop. Batuan di pegunungan ini merupakan batuan lepas yang mudah longsor.
Kemiringan pegunungan Cycloop yang curam menyebabkan aliran deras yang diikuti dengan material yang banyak. Air dan material tersebut tidak mengikuti bentuk aliran sungai, tetapi arahnya lurus dan menghantam permukiman warga.
BNPB mencatat, kerugian akibat bencana di Sentani mencapai Rp 454 miliar. Pemerintah akan mencarikan lahan kepada korban untuk relokasi. Mereka juga akan memulihkan pegunungan Cycloop dan normalisasi sungai.
Kebakaran hutan
Sutopo mengatakan, hutan dan lahan gambut yang terbakar di Riau pada Januari hingga Maret telah mencapai 2.840 hektar di 12 kabupaten. Kabupaten Bengkalis menjadi daerah terluas yang mengalami kebakaran lahan yakni 1.271 (Kompas, 27/3/2019).
BNPB bersama dengan pihak terkait telah berusaha menangani melalui jalur darat dan udara dengan menggunakan 12 helikopter. Namun, mereka terkendala oleh sulitnya mendapatkan sumber air. “Perlu hujan deras untuk memadamkan api,” kata Sutopo.
Wisnu mengatakan, Indonesia akan memasuki puncak musim kemarau sehingga masyarakat perlu mewaspadai terjadinya bencana kebakaran. “Hampir semua kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan karena ada yang membakar,” tuturnya.
Karena itu, pemerintah telah mengerahkan tenaga untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat diimbau untuk tidak melakukan tindakan yang berpotensi pada kebakaran hutan dan lahan, seperti membuka lahan dengan cara membakar. Masyarakat juga harus memahami potensi bencana yang dapat terjadi dan mengetahui titik mana saja yang rawan bencana.
Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indra Gustari mengatakan, fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur atau El Nino dengan status lemah hingga moderat diprediksi akan berlangsung sampai akhir 2019.
El Nino akan menyebabkan puncak musim kemarau. Diperkirakan, kemarau akan mulai terjadi pada bulan April. Adapun puncak musim kemarau, sebagian besar akan terjadi pada bulan Agustus.
“Puncak musim kemarau berpotensi menyebabkan terbakarnya hutan dan lahan,” kata Indra. Secara umum, hingga 27 Maret kondisi sebagian besar wilayah Indonesia masih aman dari bencana kebakaran hutan dan lahan, kecuali di Sumatera bagian utara seperti di Aceh dan Riau, serta daerah lain seperti di Sulawesi dan Halmahera Utara.
Meskipun demikian, peluang curah hujan tinggi masih akan terjadi hingga bulan April seperti di Pantai Barat Sumatera, Sulawesi Tengah, sebagian Papua Barat, dan Papua. Selama periode April-Mei, potensi cuaca ekstrem seperti hujan lebat, puting beliung, dan hujan es akan terjadi di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua.