Dua rekanan pengadaan paket bansos Covid-19 didakwa dengan dakwaan alternatif memberi suap atau gratifikasi kepada sejumlah petinggi Kementerian Sosial.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah petinggi Kementerian Sosial diduga mengevaluasi setoran fee atau komisi dari perusahaan rekanan yang terlibat pengadaan paket bantuan sosial penanganan dampak Covid-19. Karena ada perusahaan yang tidak membayarkan komitmen fee di pengadaan bansos tahap pertama, untuk tahap selanjutnya diatur pembagian alokasi kuota dan perusahaan calon pelaksana pengadaan bansos.
Adapun pagu anggaran pengadaan bansos Covid-19 di wilayah Jabodetabek pada Kementerian Sosial tahun anggaran 2020 mencapai Rp 6,8 triliun. Pengadaan itu dibagi dalam 12 tahap dari April hingga November 2020 dengan jumlah tiap tahapan 1,9 juta paket. Adapun total seluruh tahapan mencapai 22,8 juta paket.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi mengutarakan hal-hal tersebut dalam sidang dakwaan terhadap terdakwa Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatja di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (24/2/2021). Keduanya ialah rekanan yang diduga memberi suap atau gratifikasi kepada mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara dan pejabat Kemensos terkait penunjukan proyek pengadaan paket bansos Covid-19. Sidang itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dengan hakim anggota Yusuf Pranowo dan Joko Subagyo.
”Setelah pembayaran tahap pertama dilakukan, Juliari Batubara melakukan evaluasi atas laporan Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso terkait perusahaan-perusahaan yang menyetorkan uang dan yang tidak menyetorkan,” kata jaksa penuntut M Nur Azis.
Sebelumnya, Juliari mengarahkan Adi dan Joko untuk mengumpulkan uang komitmen fee Rp 10.000 per paket dan juga uang fee operasional dari penyedia bantuan sosial sembako. Adapun Adi merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Barang/Jasa Sembako Penanganan Covid-19 (bulan Oktober-Desember 2020). Sementara Joko ialah PPK pengadaan sembako penanganan Covid-19 (April-Oktober).
”Atas pekerjaan tahap pertama, tidak seluruh penyedia bansos sembako Jabodetabek memberi uang komitmen fee sehingga untuk tahap selanjutnya diatur pembagian alokasi kuota dan perusahaan calon pelaksana pengadaan bansos sembako melalui persetujuan Juliari,” kata jaksa penuntut.
Setelah itu, Kukuh Ary Wibowo, salah seorang pejabat di Kemensos, dan Adi Wahyono membawa kertas berisi daftar vendor kepada Joko Santoso. Perusahaan-perusahaan itu lalu berkoordinasi dengan Joko untuk teknis pengadaan bantuan sosial sembako.
Dakwaan alternatif
Dalam persidangan kemarin, jaksa penuntut umum mendakwa Harry dan Ardian dengan dakwaan alternatif. Dakwaan pertama, terdakwa dijerat Pasal 5 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengatur tentang pemberi dan penerima gratifikasi. Adapun dakwaan kedua menggunakan Pasal 13 UU Tipikor. Kedua terdakwa tak mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan.
Harry disebut jaksa memberikan uang fee operasional dengan jumlah total Rp 1,28 miliar kepada pejabat Kemensos. Sementara Ardian diduga memberi uang dengan nilai total Rp 1,95 miliar.
Adapun Harry pada awal April 2020 memperoleh informasi terkait rencana pengadaan bansos sembako untuk penanganan dampak Covid-19 di Kemensos. Ia menemui Dirjen Perlindungan Jaminan Sosial Kemensos Pepen Nazaruddin dan Sekretaris Ditjen Perlindungan Jaminan Sosial Kemensos M Royani untuk menanyakan proyek itu.
Berdasarkan arahan pejabat Kemensos, Harry mengajukan PT Mandala Hamonangan Sude untuk menjadi penyedia paket bansos. Namun, PT Mandala Hamonangan Sude tak memenuhi kualifikasi. Selanjutnya, Harry melobi Direktur Operasional PT Pertani (Persero) Lalan Sukmaya yang telah ditunjuk sebagai salah satu penyedia barang dalam pengadaan bansos sembako untuk jadi pemasok barang.
Pada 16 April, Lalan menyetujui permintaan Harry sebagai pemasok PT Pertani dengan kesepakatan biaya operasional dalam hal apa pun dengan pihak luar akan jadi tanggung jawab Harry.
”Setelah itu, terdakwa bertemu Joko untuk pengurusan administrasi pengadaan barang untuk PT Pertani. Terdakwa kemudian dikenalkan dengan Agustri Yogasmara sebagai pemilik kuota paket bansos. Agustri lalu meminta jatah (fee) kepada terdakwa, yang disanggupi oleh terdakwa,” kata jaksa Azis.
Sementara itu, Ardian yang merupakan Direktur PT Tigapilar Agro Utama disebut jaksa menanyakan kesempatan pengadaan bansos sembako kepada Helmi Rivai dan Nuzulia Hamzah Nasution. Helmi dan Nuzulia adalah perantara yang terafiliasi dengan Pepen Nazaruddin.
Nuzulia mengatakan dapat membantu Agustri agar perusahaannya ditunjuk sebagai penyedia bansos. Nuzulia juga menyampaikan syarat komitmen fee agar PT Tigapilar Agro Utama ditunjuk sebagai penyedia pengadaan bansos. Ardian menyanggupinya. Tak lama kemudian, dia mendapatkan informasi dari Nuzulia bahwa PT Tigapilar Agro Utama ditunjuk sebagai penyedia bansos. Pada September, Ardian mendapatkan jatah pengadaan bansos tahap sembilan sebanyak 20.000 paket.
”Pada saat mulai pelaksanaan tahap sembilan, Nuzulia Hamzah Nasution meminta terdakwa menyiapkan uang komitmen fee sebesar Rp 30.000 per paket,” kata jaksa.
Setelah itu, perusahaan Ardian juga ditunjuk terlibat dalam pengadaan di sejumlah tahapan lain.
Sementara itu, Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat, menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 200 juta kepada Wali Kota Tasikmalaya nonaktif Budi Budiman. Budi dinyatakan terbukti menyuap pegawai Kementerian Keuangan untuk mengurus dana insentif daerah 2017 dan dana alokasi khusus Tasikmalaya 2018.
Vonis itu lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa KPK yang meminta majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 250 juta.